Lagu Lama Kaset Baru : Meneropong Pertarungan Tahta Jawa Timur 2018

oleh -93 Dilihat
oleh

Oleh : Afan Ari Kartika*

Prolog

Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) di Jawa Timur akan dilaksanakan serentak pada 27 Juni 2018, dengan melibatkan 18 kota dan kabupaten untuk memilih walikota/bupati, dan satu Pilkada untuk memilih kepala daerah provinsi (gubernur). Sehingga sangat wajar kalau saat ini suhu politik Jawa Timur mulai memanas menjelang pemilihan gubernur 2018.

Mulai dari beberapa nama tokoh yang bermunculan sebagai kandidat, hingga persaingan keras dan ketat telah terjadi. Bahkan Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf (Gus Ipul) sudah lama mengambil ancang-ancang untuk maju sebagai bakal calon gubernur Jatim, dan bisa dikatakan sebagai front-runner (pelari terdepan) saat calon-calon yang lain masih belum secara resmi muncul atau dimunculkan.

Kemudian beredar beberapa nama tokoh di media, seperti Khofifah Indar Parawansa (KIP) Menteri Sosial RI, Tri Rismaharini (Walikota Surabaya), Masfuk (Mantan Bupati Lamongan 2 periode, sekarang Ketua DPW-PAN Jatim), Kusnadi (Ketua DPD PDIP Jatim), Budi ‘’Kanang’’ Sulistyo (Bupati Ngawi), Suyoto (Bupati Bojonegoro), Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi), Lanyalla Mattaliti dan beberapa nama lainnya.

Munculnya banyak nama-nama tokoh yang ikut mewarnai dinamika dalam kontestasi politik di Jawa Timur sangatlah wajar. Hal ini dikarenakan Jawa Timur merupakan provinsi terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Barat dengan jumlah penduduk mencapai 42 juta orang.

Sehingga sangat lazim kalau provinisi ini selalu disebut sebagai barometer politik nasional yang selalu memegang peran sangat penting dalam mempengaruhi peta politik nasional.

Namun demikian, kendati bermunculan berbagai nama tokoh-tokoh dalam Pilkada Jatim 2018, terrnyata persaingannya tak jauh beda dari dua Pilkada sebelumnya, melibatkan dua kandidat yang pada Pilkada 2008 dan 2013 juga menjadi “musuh” di pesta demokrasi lima tahunan di Jatim tersebut.

Sosok tersebut adalah Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Khofifah Indar Parawansa. Hal demikian bisa diibaratkan sebagai pertarungan klasik dan serial yang menempatkan Gus Ipul dan Khofifah Indar Parawansa kembali berhadap-hadapan.

Gus Ipul pada Pilkada Jatim 2008 mendampingi Soekarwo, sedangkan Khofifah menggandeng Brigjen TNI (Purn) Mudjiono. Berikutnya pada Pilkada 2013, Gus Ipul tetap mendampingi Soekarwo sekaligus masuk periode kedua, sedangkan Khofifah memilih menggandeng mantan Kapolda Jatim Irjen Pol (Purn) Herman S Sumawiredja.

Pada dua kali Pilkada tersebut, Gus Ipul menang dan menjadi Wakil Gubernur Jatim dua periode, sedangkan Khofifah walaupun kalah pada Pilgub Jatim 2013, akhirnya dipercaya Presiden RI Joko Widodo sebagai Menteri Sosial sejak 2014.

Kini, Gus Ipul yang sudah tidak boleh menjadi calon Wakil Gubernur “naik pangkat” menjadi calon Gubernur, dan Khofifah tetap sebagai calon Gubernur untuk kali ketiga secara beruntun.

Dalam Pilkada Jatim 2018 ini, diawal pencalonannya Gus Ipul berpasangan dengan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, sedangkan Khofifah diduetkan dengan Bupati Trenggalek Emil Elistianto Dardak. Namun, sepekan jelang pendaftaran resmi dibuka oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim, peta politik Pilkada Jatim berubah.

Abdullah Azwar Anas yang dalam berbagai survei memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi sebagai calon orang nomor dua di Jatim diterpa isu sosial hingga membuatnya mengundurkan diri sebagai peserta Pilkada.

Foto bergambar mirip dirinya bersama seorang wanita tersebar luas dan membuat banyak pihak bertanya-tanya, termasuk muncul berbagai opini publik.

Mendengar kabar tersebut, Anas yang 15 Oktober 2017 namanya ditetapkan PDI Perjuangan mendampingi Gus Ipul mengembalikan surat mandat kepada ketua umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri.

Lagu Lama Kaset Baru : Pertarungan Klasik Gus Ipul vs Khofifah

Gus Ipul-Puti

Petinggi PDI Perjuangan pada hari terakhir pendaftaran pasangan calon ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur, 10 Januari 2018 telah membuat keputusan menggantikan Abdullah Azwar Anas dengan Puti Guntur Soekarno dengan alasan bahwa selama ini cucu Presiden RI pertama, Bung Karno, itu dikenal sebagai kader PDI Perjuangan sekaligus anggota DPR RI mewakili Daerah Pemilihan X Jawa Barat.

Bersamaan dengan dipilihnya nama Puti, bertambah dua partai politik yang mengusung nama Gus Ipul-Puti di Pilkada Jatim, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Pasangan ini diusung gabungan empat partai politik dengan total 58 kursi, yakni PKB (20 kursi), PDI Perjuangan (19 kursi), PKS (6 kursi) serta Partai Gerindra (13 kursi).

Khofifah-Emil

Pasangan Khofifah Indar Parawansa – Emil Dardak diusung gabungan enam partai politik  dengan total 42 kursi, yakni Partai Demokrat (13 kursi), Partai Golkar (11 kursi), PPP (5 kursi), PAN (7 kursi), Partai NasDem (4 kursi) dan Partai Hanura (2 kursi), ditambah dukungan PKPI (non-parlemen).

Khofifah pada sejumlah kesempatan menyatakan program-program yang ditawarkan dalam visi misinya akan melalui berbagai proses yang tidak akan pernah mencapai final.

Saat ini Khofifah yang berpasangan dengan Bakal Calon Wakil Gubernur Emil Elestianto Dardak, sedang menajamkan “breakdown” program visi misi, yang disebutnya sebagai navigasi program. Karena itulah ia menggandeng berbagai pakar atau ahli di masing-masing bidang untuk menavigasi berbagai programnya.

Kondisi dan Tipologi Masyarakat Jawa Timur

Kondisi masyarakat Jawa Timur sebagian besar bisa dibilang rural-based (berbasis masyarakat pedesaan) yang bersifat paguyuban (gemeinschaft), sehingga posisi para pemimpin tradisional dan informal (kiai, ulama, ustadz/ustadzah, kepala suku, kepala desa, dll) sangatlah penting dalam menentukan pilihan politik. Sehingga potensi munculnya politik aliran sangatlah besar di Jawa Timur, karena besarnya peran para pemimpin tradisional dan informal itu.

Secara historis, politik aliran ini lahir di Jawa Timur pasca penelitian seorang antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz, yang melakukan penelitian di Jawa Timur pada 1950-an di kota yang secara imajiner disebut sebagai Mojokuto (diyakini oleh para ahli sebagai Pare, Kediri). Hasilnya tertuang dalam buku klasik master piece ‘’The Religion of Jawa’’ (Agama Jawa), yang membagi masyarakat menjadi kategori santri, abangan, dan priyayi.

Santri adalah masyarakat beragama Islam yang taat menjalankan syariah dan tinggal di daerah perniagaan di perkotaan dan pesisir. Abangan adalah pemeluk Islam nominal yang hanya menjadi identitas di KTP, tetapi tidak menjalankan syariah agama, dan Priyayi adalah kelompok kelas menengah kota yang terdiri dari pegawai negeri dan pamong praja yang beragama Islam tetapi sangat dipengaruhi oleh sinkretisme kejawen.

Berdasarkan tiga kategori ini preferensi politik terbagi kepada tiga aliran politik besar, kalangan abangan berafiliasi kepada partai-partai nasionalis dan berbasis di daerah mataraman, kalangan santri berafiliasi kepada partai-partai religius yang berbasis di daerah tapal kuda, dan kalangan priyayi berafiliasi kepada partai-partai modern.

Pertarungan Politik (Elite) NU dan Perebutan Suara Warga Nahdhiyyin

Pilkada Jatim tahun ini bisa dikatakan sebagai panggung duel politik elite NU, karena calon gubernur yang akan berebut kepemimpinan di Jatim merupakan kader NU.

Gus Ipul merupakan mantan Ketua Umum GP Ansor, sedangkan kompetitornya, Khofifah Indar Prawansa sejak tahun 2016 hingga sekarang tercatat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU.

Dengan demikian dapat dipastikan perebutan suara akan berlangsung ketat. Hal ini berbanding lurus dengan terbelahnya dukungan tokoh-tokoh NU, khususnya dari kalangan kiai. Gus Ipul yang diprediksi kuat di daerah Tapal Kuda, Probolinggo, dan sekitarnya, dipastikan akan mendapat perlawanan cukup sengit. Karena Khofifah sendiri juga memiliki basis dukungan cukup besar, terutama dari kalangan nahdhiyyin Madura seperti pesantren, santri, nyai, dan kiai setempat.

Kalau kita mengacu data survei terakhir, posisi Khofifah memang sedikit lebih unggul. Misalnya hasil Survei Surabaya Survei Center (SSC) yang dilakukan antara 25 November-8 Desember 2017. Angka elektabilitas Khofifah 81.2 persen, sementara Gus Ipul 80.9. Dari segi popularitas, Khofifah 96.8 persen, sedangkan Gus Ipul sebesar 94 persen (Jawapos, 13/12/2017).

Itu artinya selisih jarak antarkeduanya sangatlah tipis, mutlak akan mengalami perubahan mengingat proses rolling class politik Jatim masih terus berjalan. Dalam batasan-batasan inilah, keberpihakan sikap politik (elite) NU dalam menentukan pilihan politiknya, meski secara struktural tidak ada penegasan, akan dapat mempengaruhi jalannya sirkulasi politik Jatim ke depan.

Selama ini, kelompok nahdhiyyin (sebutan masyarakat pengikut NU) dikenal sebagai masyarakat yang memiliki tipologi khas kearifan lokal. Tipologi  tersebut terekam jelas dari kedekatan mereka dengan tradisi dan kebudayaan lokal (local wisdome), serta sikap penghormatan dan ketundukan terhadap simbol-simbol kultural keislaman (misalnya kiyai dan pesantren).

Di kebanyakan daerah Tapal Kuda-Madura, kiai dan pesantren memiliki peran dan posisi strategis. Clifford Geertz (1989) menyebut peran tersebut sebagai cultural broker, bahwa kiai dalam tradisi NU bukan saja sebagai tokoh keagamaan, namun juga sebagai rujukan hidup. Menjalankan proses transformasi sehingga bisa mengubah sikap, membentuk perilaku dan cara pandang masyarakat, termasuk dalam hal politik.

Atas kenyataan ini, kuat dugaan mobilisasi religio-kekuasaan NU dalam proses sirkulasi kepemimpinan Jatim tidak akan berhenti sekadar memanfaatkan nama besar organisasi. Lebih dari itu, akan ada mobilisasi jaringan kekuasaan yang berpusat pada figuritas kiai dan popularitas pesantren.

Dalam konteks ini, pada perhelatan Pilkada Jatim nanti, sosok kiai dan pesantren dalam bahasa Michel Foucault, merupakan relasi-relasi kekuasaan strategis yang akan diperebutkan oleh masing-masing pasangan calon.

Mereka tahu dan paham betul bahwa kiai dan pesantren merupakan elite struktural NU. Representasi kehadiran agama yang dapat memainkan peran dan fungsi sentral memproduksi dan mereproduksi kekuasaan yang dahsyat untuk bisa menghasilkan ketaatan dari para pemeluknya.

Namun demikian, terlepas dari aksi perebutan pengaruh elite NU di atas, publik tetap berharap besar jalan sirkulasi politik tetap berjalan demokratis. Dengan begitu, nuansa Pilkada Jatim sebagai pesta lima tahunan rakyat dapat dinikmati oleh publik secara damai, sejuk, dan menyenangkan.

Selain itu, siapapun yang akan menjadi pemegang tahta Jatim berikutnya, ia harus mementingkan persoalan masyarakat luas, bukan kepentingan kelompok (politis). Dengan kata lain, ketika sudah terpilih sebagai pemimpin Jawa Timur, maka harus memunculkan karakter negarawan, bukan politikus.#

*Penulis adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPP PERMAHI)/Pengamat Hukum Tata Negara

No More Posts Available.

No more pages to load.