Lawan PT Gudang Garam, Terdakwa Ajukan 9 Poin Keberatan

oleh -82 Dilihat
oleh
Kuasa Hukum Terdakwa saat menunjukkan bukti.

Buntut Sengketa Lahan 14 Hektar

KEDIRI, PETISI.CO – Sidang kasus sewa menyewa lahan seluas 141.902,94 atau sekitar 14 hektar milik PT Gudang Garam Tbk Kediri terus berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Kediri. Terdakwa atas Dadang Heri Susanto, warga Kuwak Utara No 8 Kelurahan Ngadirejo, Kota Kediri terus memberikan perlawanan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dalam agenda eksepsi, terdakwa yang diwakili kuasa hukumnya yakni Agustinus Jehandu mengajukan 9 poin keberatan atas dakwaan JPU dalam sidang sebelumnya.

Poin keberatan langsung dibacakan oleh kuasa hukum terdakwa dihadapan majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua, Ula.

“Surat dakwaan JPU dalam perkara ini sifat perdatanya sangat terang. Maka proses pemeriksaan perkara bukan wewenang majelis sidang pidana, melainkan majelis sidang Perdata,” kata Agustinus, Rabu (31/5/2017) usai sidang agenda eksepsi.

Dijelaskan Agustinus, kasus hukum yang menjerat kliennya berawal dari perjanjian sewa menyewa tanah antara PT Gudang Garam Tbk dengan terdakwa Dadang. Tertuang dalam Surat Perjanjian sewa Nomor 0083/GG-14/PER/VI-6 tanggal 27 Juni 2016 dengan jangka waktu sewa satu tahun terhitung sejak tanggal 1 Agustus 2016 berakhir 31 Juli 2017.

Tanah yang menjadi obyek perjanjian sewa menyewa adalah 53 bidang tanah dengan luas 141.902,94 meter persegi atau 10.137,21 ru. Tanah tersebut terletak di tiga tempat yaitu, Desa Karangrejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, Desa Gampengrejo, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, dan Desa Kwadungan, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri.

“Tentang sewa menyewa ini diatur dalam UU Hukum Perdata. Sewa tanah diatur dalam pasal 1588 – 1600 KUH Perdata. Pelanggaran terdakwa Dadang Herry Susanto adalah pelanggaran terhadap isi perjanjian sewa menyewa. Tidak melakukan kejahatan stelionaat melanggar pasal 385 ayat 4 KUHP, melainkan wanprestasi terhadap sewa. Sehingga dalam masalah ini merupakan masalah perdata, bukan pidana.  Pasal 385 ayat 4 KUHP tidak dapat mengesampingkan perjanjian sewa menyewa. Pasal ini baru bisa diterapkan jika ada hubungan hukum keperdataan yang mendahuluinya. Dan ini merupaka keberatan kedua kami,” beber pengacara asal Flores ini.

Keberatan ketiga, Agustinus menambahkan, jika dalam kasus tersebut dakwaan JPU sangat kliru. Pasalnya, kasus yang menjerat Dadang bukanlah perkara penggelapan sebagaimana diatur dalam pasal 372 KUHP, melainkan wanprestasi terhadap perjanjian sewa. Sebab, unsur pokok utama dalam pasal 372 KUHP yaitu, barang yang digelapkan adalah barang bergerak dan berwujud. Sementara dalam perkara ini, 53 bidang tanah yang disewa terdakwa tidak bergerak atau benda tetap, tidak ada satu kekuatan pun yang dapat memindahkan 53 bidang tanah tersebut dari satu tempat ke tempat lain.

“53 bidang tanah tersebut sejak dunia dijadikan, sampai kapanpun tetap disitu dan tidak dapat digelapkan ke tempat lain. Yang aneh menurut saya itu, kenapa tiba-tiba ada pasal tambahan yakni pasal 372 KUHP dari JPU. padahal dari SPDP sudah jelas hanya ada pasal 385 KUHP,” tandasnya.

Keberataan keempat, perkara yang dihadapi Dadang mengandung perselisihan atau pertentangan pra-yudusial. Terdakwa mengajukan dua gugatan perdata ke PN Kota Kediri. Yaitu, perkara perdata No: 09/Pdt.G/2017/PN.Kdr. Sekarang perkara perdata tersebut masih dalam proses pemeriksaan pada tingkat banding, sedangkan perkara perdata kedua No 17.Pdt.G/2017/PN.Kdr masih dalam proses pemeriksaan di PN Kota Kediri.

“Kedua perkara perdata tersebut belum diputus dengan putusan yang mempunyai  kekuatan hukum tetap. Pada pihak dan obyek sengketa dalam dua perkara perdata tersebut adalah sama,” beber Agustinus.

Menurutnya, perselisihan pra-yudusial ini diatur dalam pasal 81 KUHP jika terjadi juga dalam perselisihan atau pertentangan antara perkara pidana dengan perkara perdata, maka dalam perkara pidana harus mengalami penundaan penuntutan pidana.

Ia menjelaskan, di dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1965 tanggal 18 Maret 1956 tentang pemeriksaan, bahwa mulai berlaku pada 23 Mei 1956, apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputus hal adanya suatu hal perdata diatas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua  pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu putusan pengadilan perkara perdata.

“Berdasarkan Perma itu maka perkara pidana terdakwa seharusnya pemeriksaanya dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan dua perkara perdata,” jelasnya.

Dalam surat eksepsinya, keberatan keenam, terdakwa Dadang juga menyinggung tentang domisili perjanjian sewa menyewa yang tertuang dalam pasal 10 perjanjian. Dimana, apabila ada persoalan yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian, para pihak memilih domisi yang tetap dan seumumnya yaitu di PN Kota Kediri, bukan di PN Kabupaten Kediri, sebagaimana kasus ini diadili.

Masih kata Agustinus, dalam keberatan ketujuh, surat dakwaan JPU justru tegas dan jelas menguraikan tentang hubungan keperdataan antara pabrik rokok terbesar PT Gudang Garam dengan terdakwa tidak menguraikan bukti kepemilikan maupun batas batas 53 bidang tanah dan obyek perjanjian sewa menyewa. Maka, dakwaan seperti itu tidak layak untuk diproses dalam peradilan.

Sementara untuk keberatan kedelapan, Agustinus Jehandu menegaskan pada masalah pasal tambahan yang diberikan JPU. Sebab, mulai dari surat panggilan kepolisian yaitu, Polres Kediri Surat Pangilan polisi nomor S.Pgl/145/III/2017/Satreskrim, surat pemberitahuan dimulainya penyidikan Nomor B/59/III/2017/Satreskrim, dan surat panggilan Nomor Sp.Pgl/158/III/2017 hingga surat pemeriksaan tersangka, tidak tercantum pasal 372 KUHP, melainkan hanya pasal 385 ayat 4 KUHP.

“Penambahan pasal 372 KUHP tidak sesuai dengan ketentuan pasal 110 KUHAP. Seharusnya JPU tidak boleh menambahkan pasal tanpa memberikan petunjuk tambahan terlebih dahulu. Disini terdakwa tidak pernah dipangil oleh penyidik untuk penyidikan tambahan. Semestinya penambahan pasal yang disangkakan kepada terdakwa mekanismenya harus sesuai dengan  ketentuan undang-undang yang berlaku,” tambahnya.

Yang lebih fatal, menurut Agustinus Jehandu, keberatan kesembilan ini yakni JPU menguraikan bunyi pasal 385 ayat 4 KUHP yang tidak sesuai dengan sebenarnya. JPU merubah bunyi pasal tersebut dalam dakwaan bertuliskan “yang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menggadaikan atau menyewakan sebidang tanah yang diatasnya orang sedang mempergunakan suatu hak atas tanah bangsa Indonesia yang ia ketahui bahwa orang lain mempunyai hak atau turut mempunyai hak atas tanah tersebut”.

Padahal sebenarnya bunyi pasal tersebut yakni, Barang siapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat, padahal diketahui bahwa orang lain yang mempunyai  atau turut  mempunyai hak atas tanah itu.

“Ada kalimat yaitu pada sebidang tanah yang diatasnya orang sedang mempergunakan suatu hak atas tanah bangsa Indonesia, kalimat ini yang setahu saya tidak terdapat dalam pasal 385 ke 4 KUHP,” jelasnya.

Setelah pembacaan eksepsi oleh kuasa hukum terdakwa, majelis hakim kemudian memberikan kesempatan kepada JPU untuk menanggapi eksepsi pada sidang minggu mendatang, Senin (5/6/2017).(dun)