Oleh : Devia Yusna Mufindasari*
Dari tahun ke tahun, jumlah perokok di Indonesia meningkat pesat. Bahkan, di era milenial ini rokok sudah menjelma sebagai simbol pergaulan antar manusia, baik antar gender hingga antar usia.
IAKMI mencatat, kenaikan jumlah perokok pada tahun 2001 hingga 2010, berdasarkan data itu diperoleh jumlah perokok muda usia 10-14 tahun tercatat 1,9 juta orang. Sembilan tahun kemudian jumlahnya mencapai 3,9 juta orang.
Riset menunjukkan, hampir dari 88,6% perokok mulai untuk menghisap rokok pada usia di bawah 13 tahun. Padahal, Kementerian Kesehatan menargetkan adanya penurunan pravelensi perokok anak usia di bawah 18 tahun sebesar 1% setiap tahunnya. Para generasi milenial menganggap bahwa dengan merokok mereka dianggap “gaul” oleh kalangannya.
Saya tidak akan membahas masalah bahaya rokok bagi kesehatan, karena saya yakin seorang perokok pun telah sering membacanya, baik dari sekian banyaknya literasi yang ada hingga dari peringatan yang ada pada bungkus rokok itu sendiri.
Saya juga tidak akan membahas masalah penilaian karakter seseorang dari batang rokok yang mereka pegang, karena saya yakin penilaian itu tidak adil. Bagi para perokok, merokok di anggap sebagai suatu kebiasaan yang lumrah dan sulit dihentikan.
Bagi negara, rokok menjadi suatu sumber devisa negara yang menjanjikan. Dan bagi non-perokok, rokok dapat menjadi hal yang sangat mengganggu dan harus dimusnahkan, sebab dapat merugikan kesehatan mereka.
Disini saya akan membahas tentang ajakan untuk kita semua dalam perang melawan rokok dengan konsumen di bawah umur, dimana yang saya yakini mereka belum paham betul arti sebenarnya tentang rokok.
Mungkin bagi mereka yang berseragam putih abu-abu dan putih biru beranggapan, bahwa merokok meningkatkan kepercayaan diri dan tempat pelarian saat mereka merasa beban hidup yang seakan tiada akhir, namun saat si berseragam merah putih mengganggap sebatang rokok, apa alasan mereka?
Untuk mengetahui sedikit alasan mereka, saya memutuskan untuk bertanya kepada segerombol anak berseragam merah putih yang sering saya jumpai ketika jam sepulang sekolah. Yang mana saya sering melihat mereka merokok sambil bercanda bersama kawan-kawannya.
Ketika saya menghampiri mereka dan bertanya, “Apa alasan kalian merokok?” kemudian salah seorang dari mereka menjawab, biar keren dan terlihat seperti anak yang sudah besar, sembari menghisap rokok yang Ia pegang.
Lalu, saya bertanya lagi, “Darimana kalian mendapat uang untuk membelinya?” “Dari uang saku,” jawab mereka dengan kompak.
Miris memang, tidak dipungkiri uang saku yang diberikan untuk anak berseragam merah putih mungkin tidak akan sebanyak itu, namun cukup untuk membeli sebatang rokok yang dijual secara ecer.
Menurut saya, disini ada beberapa faktor yang mempengaruhi anak-anak menjadi perokok:
Faktor pertama, yaitu berasal dari keluarga. Keluarga menjadi peran penting tentang perilaku dan kepribadian anak. Jika dari kecil mereka dikelilingi oleh orang-orang yang merokok, maka besar kemungkinan mereka akan meniru hal itu.
Kedua, yaitu faktor lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan atau sekolah juga sangat penting untuk mensosialisasikan dampak merokok bagi perokok aktif dan perokok pasif.
Ketiga, yaitu faktor lingkungan. Di keseharian saya banyak menjumpai para pelajar yang berangkat sekolah dengan membawa rokok di tangannya, hal itu sangat disayangkan dan menjadi salah satu pemicu anak-anak untuk melakukan perilaku yang tidak baik tersebut.
Mereka menganggap perilaku tersebut keren. Di lingkungan, kita juga banyak menjumpai warung-warung yang menjual rokok eceran dengan bebas, dan harganya pun murah. Tentu hal tersebut menjadi pemicu bahwa bukan hanya usia tua saja yang membeli rokok, usia muda pun mampu membelinya.
Ketua Tobacco Control Support Center, Dr. Santi Martini, dr., M.Kes mengakui, bahwa harga rokok yang dibanderol di Indonesia memang terlalu murah. Hal ini menunjukkan bahwa harga rokok yang relatif murah juga mendukung peningkatan drastis terhadap jumlah konsumen rokok di bawah umur.
Menurut survey, hampir semua koresponden baik yang non-konsumen rokok atau perokok setuju jika harga rokok dinaikkan. Sebenarnya pemerintha sudah mengkaji permasalahan ini.
Beberapa waktu belakangan, pemerintah sedang mengkaji tentang kebijakan kenaikan harga rokok yang akan dibanderol dengan harga yang cukup tinggi. Namun, karena akan berdampak pada kelangsungan hidup industri, hingga saat ini pemerintah belum mengeluarkan kebijakan yang pasti.
Entah berapa lama lagi pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan tentang kenaikan harga rokok, yang pastinya sedikit banyak akan mengurangi jumlah konsumen rokok, terutama anak di bawah umur.
Disisi lain, sembari menunggu kebijakan dari pemerintah tentang kenaikan harga rokok, sebenarnya masyarakat dapat membantu pengurangan jumlah perokok usia dini. Seperti penjual tidak menjual rokok kepada anak usia dibawah umur, tidak menjual rokok secara eceran, dan syarat membeli rokok harus menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP), serta masyarakat aware terhadap perokok di bawah umur, dengan tidak segan menegur sambil memberi sosialisasi bahaya merokok.
Cara-cara tersebut memang belum tentu efektif, tapi setidaknya sembari menunggu kebijakan dari pemerintah, bukankah akan lebih baik hasilnya jika masyarakat turut berperan aktif dalam membantu menjaga anak-anak generasi penerus bangsa?(#)
*(penulis adalah mahasiswa S1 Jurusan Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhamadiyah Malang