Pemilu Serentak 2019, DPR Wajib Taat Putusan Mahkamah Konstitusi

oleh -57 Dilihat
oleh

Oleh :  Zuhri Saifudin, SH, MH*

Pada tanggal 23 Januari 2014 terdapat putusan MK No. 14/PUU-IX/2013 yang telah memberikan legitimasi terkait “Pemilu Serentak Tahun 2019”.

Kontroversi dalam putusan tersebut diawali salah satunya adalah dengan adanya Rapat Pemusyawaratan Hakim (RPH), dalam amar putusan hanya tercantum tanggal 26 Maret 2014. Persoalan ini menimbulkan tentang legalitas akan putusan MK tersebut.

Apa pun itu persoalan dalam wilayah administrasi atau internal MK, hal terpenting adalah putusan MK final dan mengikat, telah dibacakan. Putusan MK wajib dikatakan benar dan mengikat semua belah pihak untuk dijalankan.

 Presidential threshold adalah ambang batas persyaratan dalam mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk mengikuti Pemilu. Jika mengacu pada putusan MK, bahwa Pemilu dilaksanakan serentak pada tahun 2019, maka secara otomatis presidential threshold tidak ada dan tidak digunakan lagi.

Jika mengacu dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, maka usulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.

Klausula kata “sebelum” ini dapat dimaknai tidak dapat dijalankan secara serentak, karena dapat dilakukan dalam waktu yang terpisah. Celah hukum ini pemaknaan yang dilakukan oleh DPR, sehingga melahirkan norma hukum dengan adanya ambang batas terkait presidential threshold melalui sebuah UU.

Adanya putusan MK tersebut secara otomatis ambang batasnya adalah  0% tidak ada lagi. Sudah tentunya terhapus. Idealnya memang tidak dapat diberlakukan lagi.

Jika kita bedah original intent dari Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak menghendaki adanya adanya ambang batas.

Berkaitan dengan fakta tersebut dan adanya konstelasi partai politik yang makin kompetitif, timbul wacana dari DPR untuk melakukan revisi UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Bahkan masih diperdebatkan tentang pemaknaan presidential threshold dengan angka-angka tertentu sesuai argumentasi dari masing-masing partai politik. Argumentasi ini nantinya dikhawatirkan akan menimbulkan potensi konflik baru, apalagi jika justru akan terjadi tarik ulur antar partai di dalam dan diluar pemerintah.

Partai politik memiliki ideologi dan cara pandang sendiri. Kepentingan masing-masing internal partai politik jelas akan diutamakan melalui fraksi-fraksinya.

Lalu timbul pertanyaan, apakah DPR sebagai positif legislator daripada MK atau karena MK memang hanya negatif legislator?. Dalam kajian teoritis, benar demikian karena DPR adalah pembuat UU dan MK hanya memberikan tafsir.

Apapun terserah DPR untuk mengikuti MK atau tidak atau bahkan membuat norma baru dalam UU. Akan tetapi perlu diketahui bahwa dalam sistem ketatanegaraan dengan check and balances, MK sebagai lembaga satu-satunya dengan sifat putusan final dan mengikat wajib diikuti oleh semua pihak, termasuk DPR.

Demokrasi dalam ketatanegaraan dibangun dengan adanya sistem hubungan yang baik antar lembaga negara. Jika antara satu sama lain tidak saling menjaga tujuan bernegara dalam demokrasi, akan mengacaukan sistem yang ada.

Timbul pertanyaan lagi, apakah open legal policy dari putusan MK, sehingga DPR memiliki pendapat lain dan bahkan ingin merevisi UU tersebut?

Hal ini lagi-lagi jika mengacu DPR memang sebagai positif legislator dan berhak memberikan norma baru dalam sebuah UU.

Biasanya dalam penjelasan UU ada lampiran putusan MK, lalu apakah sekedar dilampirkan untuk memperkuat atau lampiran itu sebagai rujukan boleh dimaknai lagi oleh DPR?atau hanya sekedar untuk menghormati saja bahwa telah ada putusan MK?sejak kapan dan dalam UU apa DPR melampirkan putusan MK?apakah cuma dalam UU pemilukada saja?

Dalam pandangan saya, putusan MK terkait Pemilukada dijadikan lampiran dan dijadikan sebagai pedoman bahwa DPR mengikuti putusan MK tanpa membuat norma baru yang mempengaruhi norma hukum asli dari putusan MK tersebut.

Fakta ini sangat baik dan membangun sistem yang konstruktif dalam kaitannya dengan pola check and balances antara lembaga negara. Hal ini harus dipertahankan jika masih ingin membangun sistem ketatanegaraan yang baik demi tujuan bernegara yang demokratis. Sekali lagi, DPR wajib taat putusan MK.(#)

*)penulis adalah Advokat dan Pengurus DPP PERMAHI