Alami Pembengkakan Biaya Tanam
PONOROGO, PETISI.CO – Sebagian wilayah Kabupaten Ponorogo sempat diguyur hujan beberapa kali di awal pertengahan November 2018 lalu. Saat itu, langit yang biasanya terik karena kemarau kerap diselimuti mendung, terutama pada sore hari. Hujan yang turun rata-rata berintensitas ringan.
Sebagian masyarakat mencurigai fenomena itu sebagai penanda awal musim penghujan.
Begitu pula dengan sebagian petani di wilayah Ponorogo selatan yang sebagaian besar lahan pertaniannya tadah hujan.
Terlebih, hujan sempat turun cukup deras seperti menandai awal penghujan. Hujan itu cukup membuat lahan kering kerontang menjadi basah. Tak pelak, usai hujan lebat itu, sejumlah petani mantab bercocok tanam di lahan yang mulai teraliri air hujan tersebut.
Begitu pula dengan Tukijan petani muda asal Dukuh Penanggungan, Desa Koripan Kecamatan Bungkal ini menanam benih padi (membuat persemaian) di lahannya selepas hujan turun di pertengahan November lalu itu.
“Seperti tahun -tahun kemarin mas, setiap ada turun hujan saya dan warga petani sini langsung melakukan garap lahan dan juga tebar benih tapi kenyataannya lain dari prediksi kami habis hujan beberapa kali ini sekarang hujan sudah beehenti dan lahan kami kering kerontang dan persemaian sudah usia tanam, tapi tidak ada hujan padahal lahan daerah sini sebagian besar tadah hujan,” ungkapnya.
“Lek ketok e ora gagal mas, tapi yo ragat akeh, tuku banyu, gek undang mesin traktor. Jelas – jelas tambah biaya lebih iki, sebab usia benih rata- rata sudah 35 hari, haruse wes kudu tandur. Kondisi persemaian saat ini lek ra diairi yo enek sing mulai menguning dan mati jadi hasil pertumbuhan kurang maksimal karena benih ketuaan atau terlalu lama di persemaian kan idealnya tanam saat dipersemaian berusia 25 sampai 30 hari tapi kenyataannya tidak ada air karena tidak ada hujan akhirnya kita harus rogoh kocek untuk beli air dari pompa diesel yang perjam harganya Rp 15 ribu dan perkotak habis waktu 7 sampai 8 jam perkotaknya,” imbuh Bejan sapaan akrab Tukijan.
Begitu juga Jono warga Dusun Sumberjo, Desa Munggu yang juga mengeluh karena persemaiannya banyak mati serta untuk tanaman jagung banyak layu karena tidak ada hujan lagi.
“Alah iki mboh mas wong tani sekarang itu banyak biaya, jadi ibaratnya tani sekarang ini hanya untuk awetkan pangan, kalau untung nanti dulu karena semua biaya,” jujur Jono. (mal)