Pilkada Bondowoso : Dominasi dan Corak Politik Kultur

oleh -122 Dilihat
oleh

Oleh : Moh, Fajri*

Tahun 2018, beberapa daerah di Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 171 daerah, termasuk di Kabupaten Bondowoso.

Perhelatan Pilkada Bondowoso yang akan dilaksanakan pada 27 Juni 2018 sebentar lagi, membuat tensi politik meningkat, mengingat hanya diikuti oleh dua Pasangan Calon (Paslon), yaitu nomor urut 1 Drs. KH. Salwa Arifin-Irwan Bachtiar, M.Si dan nomor urut 2 H. Ahmad Dhafir yang berpasangan dengan Drs. Hidayat, M.Si.

Kedua Paslon tersebut sering menyampaikan visi dan misinya kepada masyarakat. Baik melalui media sosial (medsos), pamflet, stiker maupun ketika kampanye.

Ketatnya persaingan antara keduanya dapat kita lihat dari aktifitas yang dilakukan belakangan ini. Keduanya berlomba-lomba mempromosikan kebijakan dan langkah-langkah yang akan dilakukan jika terpilih.

Janji-janji politik yang terkadang dianggap usang oleh masyarakat, ternyata masih tetap menjadi salah satu senjata, guna menarik hati pemilih. Apapun itu, selagi tidak keluar dari prinsip-prinsip berdemokrasi adalah boleh dilakukan.

Terlihat animo masyarakat Bondowoso cukup besar untuk suksesi Pilkada ini, lebih-lebih para pendukung untuk memenangkan Paslon dukungannya.

Sengitnya persaingan ini sudah sangat terasa sejak sebelum Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bondowoso menetapkan dan mengumumkan nama-nama Paslon pada tanggal 12 Pebruari 2018.

Berbagai elemen masyarakat, baik tokoh maupun organisasi semakin hari semakin banyak yang mendeklarasikan diri mendukung salah satu dari kedua Paslon tersebut. Inilah yang menyebabkan tensi konstelasi politik di Bondowoso semakin meningkat.

Dinamika Elektoral Parpol di Kabupaten Bondowoso

Dukungan partai terhadap Paslon 1 (Salwa-Irwan/ SABAR jauh tertinggal oleh Paslon 2 (Dafir-Dayat). Pasangan SABAR hanya didukung oleh tiga Parpol, yaitu PPP dan PDIP sebagai partai pengusung, serta HANURA sebagai pendukung. Secara perhitungan (jumlah) kursi suara di DPRD Bondowoso SABAR hanya memiliki 13 kursi (PPP 5 kursi dan PDIP 8 kursi), sedangkan HANURA, PKPI dan Partai Garuda yang menyusul mendukungnya tidak memiliki kursi di DPRD.

Dilain pihak, koalisi Dafir-Dayat jauh lebih gemuk. Koalisi antar semua PARPOL tersisa ialah PKB 12 kursi, GOLKAR 5 kursi, PKS 5 kursi, GERINDRA 3, PAN 1, NASDEM 3, DEMOKRAT 3.

Jika hanya terpaku pada dukungan Parpol, maka peluang kemenangan Dafir-Dayat jauh lebih besar. Gemuknya Parpol pengusung dan pendukung dengan kalkulasi total suara 32 kursi, gampangnya, setiap Parpol hanya tinggal menginstruksikan ribuan keder dan pendukungnya untuk memilih Paslon no 2, maka selesailah perkara.

Namun persoalan rakyat memilih tidak segampang itu, barangkali kita masih ingat dengan pemilihan Presiden tahun 2014 antara Jokowi dan Prabowo. Bagaimana parpol pendukung Jokowi jauh lebih ramping, namun Jokowi keluar sebagai pemenangnya. Lagi-lagi bukan ansih masalah parpol pendukung saja, tetapi pilihan rakyat.

Pasangan Sabar merupakan akumulasi dari dua tokoh yang berbasis massa. Antara Salwa Arifin dan Irwan Bahtiar merupakan ikon dari parpol masing-masing pengusung. Nama besar Salwa Arifin belum tergantikan di PPP.

Di tataran akar rumput pun demikian, selain dikenal sebagai wakil Bupati, beliau dikenal sebagai seorang kiai putera dari almarhur KH. Togo Ambarsari yang cukup dikenal dan dihormati masyarakat Bondowoso. Sedang Irwan Bahtiar adalah Ketua PDIP,  pasangan yang berbasis massa.

Kebalikan dari Paslon 1, Ahmad Dhafir merupakan politisi yang 5 kali menjabat sebagai anggota DPRD dan 3 kali diantaranya sebagai ketua. Beliau adalah salah satu politisi senior dan cukup dikenal oleh masyarakat.

Sedang wakilnya, Drs. Hidayat bukanlah seorang politisi, namun seorang birokrat (Sekretaris Daerah). Beliau dikenal hanya bagi kalangan birokrasi daerah.

Selain elektabilitas dan popularitas figur serta peran partai politik, kekuatan yang paling efektif dalam mendulang perolehan suara ialah Pondok Pesantren (Ponpes). Pengaruh Ponpes adalah salahsatu penentu kemana arah pilihan masyarakat Bondowoso.

Mayarakat terdidik di Bondowoso yang notabane alumni Ponpes, selain kesederhanaan dan religiusitas yang kental, sikap tawaduk terhadap guru/kiai benar-benar dijunjung tinggi. Mengingat kiai/guru yang sudah membimbing sedari kecil tanpa memungut biaya (ikhlas).

Sikap ketawaduan santri dan masyarakat terhadap kiai ini sangat disadari betul oleh setiap politisi. Dalam momentum Pilkada ini masing-masing Paslon dan Tim Suksesnya (Timses) berlomba-lomba untuk merapat dan mencari dukungan dari para kiai. Ibarat  jaring ikan, kiai adalah tali. Ditarik satu tali maka ikutlah seluruh isi didalamnya.

Selain itu para politisi yang didukung sosok kiai juga rajin turun kepada masyarakat melewati pendekatan-pendekatan kultur dan tradisi yang ada di masyarakat, semisal pengajian, sholawatan dll. Politik kultur adalah cara yang sangat efektif untuk mengambil hati masyarakat.

Eskalasi politik Bondowoso masih ditentukan oleh arah dukungan tokoh-tokoh Pondok Pesantren, khusunya di luar Kabupaten Bondowoso. Yaitu Pondok Pesantren Nurul Jadid (Probolinggo), Wali Songo dan Salafiyah Syafiiyah (Situbondo) yang ribuan santri dan alumninya merupakan masyarakat Bondowoso.

Sisanya ialah pondok pesantren yang kuantitas dan pengaruhnya lebih kecil dibandingkan Pondok Pesantren tersebut diatas. Sebagai contoh Al-Maliki (Koncer), Al-Falah (Cremee), Al-Islah (Dadapan) dan lain-lain.

Artinya, secara kemandirian politik Bondowoso masih tergantung dari dukungan luar kabupaten.

Pesan untuk Stakeholder

Dengan hanya diikuti oleh dua Paslon, ada potensi konflik di tataran akar rumput (grassroot). Dukungan masyarakat sama-sama besar terhadap keduanya, khususnya masyarakat Nahdliyin. Dengan tidak adanya paslon pemecah suara maka potensi timbulnya ketidakpuasan terhadap hasil pemilu sangat tinggi.

Hal ini dapat berujung terhadap besarnya tuntutan yang memancing keributan antar pendukung. Walaupun itu sebatas hanya spekulasi penulis saja, namun kita sebagai masyarakat Bondowoso tidak megharapkan demikian.

Dalam hal ini, kedewasaan masyarakat dan peran stakeholder adalah kunci kekondusifan serta kesuksesan pelaksanaan Pilkada Bondowoso. Pilkada ini bukan lagi berbicara siapa yang lebih hebat dan lebih kuat antar keduanya.

Siapapun yang menang, itu merupakan kemenangan masyarakat Bondowoso juga. Beliau berdua bukan sekedar kader terbaik NU Bondowoso, bukan sekedar sosok kiai maupun didukung kiai, melainkan putera daerah yang sama-sama ingin mengabdikan diri untuk memperbaiki Bondowoso.

Satu kalimat sebagai kata kunci untuk Bondowoso lebih baik, yaitu Yakin Usaha Sampai.(#)

*penulis adalah Ketua Umum HMI Cabang (P) Bondowoso-Situbondo

 

No More Posts Available.

No more pages to load.