Tarik Ulur Jabatan Hakim dan Dialektika Ketatanegaraan Indonesia

oleh -60 Dilihat
oleh

Zuhri Saifudin, S.H.,M.H*

 Hakim dalam arti umum memang sulit untuk didefinisikan karena memiliki banyak perspektif. Posisi hakim sendiri masih tersebar dalam berbagai aturan.

Hakim adalah bagian dari penegak hukum dalam sistem peradilan. Polisi, jaksa dan advokat masing-masing sudah memiliki aturan sendiri dalam bentuk UU. Aturannya pun jelas.

Makna “hakim” tidak dapat dipastikan hakim dalam domain mana? apakah di tingkat MA ataukah di MK?. Mengingat kekuasaan kehakiman di Indonesia bermuara pada dua tingkat MA dan MK (Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945). Apakah justru yang menjadi domain dari KY?. KY dalam hal ini adalah bagian penyeimbang dari keduanya.

Konstitualisme KY ini dapat dilihat dari tugas dan wewenangnya (Pasal 24B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945). Keduanya mengikuti sistem distribution of power dan bukan separation of power. Inilah cirri khas kelembagaan negara kita.

Seiring waktu, jabatan hakim pun dipertanyakan legalitas dalam domain sistem peradilan Indonesia. Peradilan yang terindikasi banyak mafia peradilan dan belum mampu memberikan keadilan bagi pencari keadilan dipertanyakan peran hakim selama ini ada dimana?

Banyaknya persoalan, maka ada RUU Hakim atas inisiatif DPR dan telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak tahun 2016. Sebagai tindak lanjut, Panitia Kerja (Panja) DPR pun dibentuk. Komisi III DPR adalah bagian dari komisi yang akan fokus terhadap upaya adanya RUU ini.

Perlu diketahui juga berkaitan dengan hakim dapat dikaji dari UU No.4 Tahun 2004 jo UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di sisi lain juga ada UU No.5 Tahun 2004 jo UU No.3 Tahun 2009 tentang MA. Berkaitan dengan MK ada UU No.24 Tahun 2003 jo UU No.8 Tahun 2011 tentang MK. Ada juga UU No.22 Tahun 2004 jo UU No.18 Tahun 2011 tentang KY.

Jabatan hakim dalam tulisan ini tentunya akan merujuk pada domain MA. Semua jenjang hakim yang ada di bawah MA baik di tingkat pertama dan banding semua aturan bermuara pada MA. Pada posisi inilah KY akan diberikan ruang khusus dalam sistem peradilan, apakah efektif?ini masih dalam perdebatan dalam menentukan norma-norma hukum dalam RUU Hakim.

Bertolak dari Pasal 25 UUD NRI Tahun 1945 sebagai atribusi dan sekaligus delegasi agar dibentuk UU khusus. Kata “hakim” dari pasal tersebut masih sangat tidak jelas, hakim dalam domain mana?

Apakah di semua jenjang ataukah yang lainnya. Jika merujuk dari original intent tersebut, maka jabatan hakim harus memiliki aturan khusus sebagai payung hukumnya. Jika suatu saat RUU itu disahkan, maka UU yang berkaitan dengan profesi hakim perlu ditinjau ulang atau harus dinyatakan tidak berlaku, kecuali norma hukum yang tidak bertentangan.

Putusan MK No. 43 Tahun 2015 apa saja amar putusan yang penting?apakah melarang atau tidak? MA yang berhak melakukan proses seleksi bukan KY. Jika tidak ada open legal policy, maka hanya MA sajalah yang memiliki kewenangan dalam proses seleksi hakim. Akan tetapi dalam ini masih menjadi perdebatan akademis. DPR masih saja dianggap boleh memiliki tafsir sendiri sesuai kebutuhan.

Perdebatan lain pun muncul, makna shared responsibility system merupakan pembagian tugas antara MA dan KY agar jangan sampai ada tumpang tindih terkait kewenangan kedua lembaga. Semua harus memiliki tugas dan wewenang yang jelas. Jika keduanya ada kewenangan dalam proses seleksi hakim, tidak boleh ada berat sebelah. Tidak boleh ada diskriminasi lembaga.

Norma hukum yang perlu dikaji lebih detail dan mendalam adalah tentang posisi atau kedudukan hakim. Dalam hal ini harus jelas, apakah benar sebagai “pejabat negara”?

Jika sebagai pejabat negara, berarti berbeda dengan PNS. Hal ini berimplikasi terhadap pola seleksinya tidak boleh sama dengan PNS. Selain itu perlu dipertimbangkan dan didiskusikan terkait konsep ideal seleksinya, pembagian hakim karir dan non karir, hak dan kewajiban, batas pensiun, periodesasi dan pola pengawasan yang tepat.

Dalam hal ini baik MA dan KY memiliki pandangan sendiri-sendiri. Belum lagi pihak pemerintah. Bagi kalangan hakim yang khusus tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) telah menyatakan menolak adanya RUU tersebut. Hal ini telah disahkan dalam acara Munas pada November 2016 di NTB.

Secara umum menolak dengan alasan berkaitan dengan masa pensiun hakim, periodesasi hakim agung dan tidak inginnya intervensi dari DPR terhadap independensi hakim dalam bekerja. Demikian juga kritikan dan masukan dari berbagai kalangan khususnya dari para akademisi masih menjadi perdebatan.

Sinergisitas kelembagaan negara adalah idealnya KY melakukan pengawasan, MA melakukan seleksi atau rekruitment, pemberhentian dan penanganan perkara. Lalu apa saja yang menjadi tarik ulur dalam merumuskan norma dan RUU tersebut?. Semua pihak wajib menyamakan persepsi dengan basis argumentasi yang konstruktif dan objektif agar tidak terjadi tumpang tindih antar lembaga negara.

Norma hukumnya harus dirumusakan dengan baik agar tidak banyak multitafsir dan ambigu makna. Apa pun perbedaan yang ada, dalam pandangan saya semua bertujuan baik untuk melakukan reformasi sistem peradilan Indonesia agar menjadi lebih baik lagi. Hakim adalah benteng terakhir dari keadilan. Jika keadilan ingin ditegakkan, maka posisi hakim wajib diberikan tempat bermartabat dan terhormat.

*penulis adalah Pengamat Hukum Tata Negara, Advokat dan Presidium DPP PERMAHI