Terorisme, Dalam Konstruksi Hukum Internasional

oleh -87 Dilihat
oleh

Oleh : Willy Innocenti*

Kehilangan nyawa, raga hingga harta benda merupakan implikasi dari dahsyatnya kejahatan terorisme. Kerugian baik materil maupun imateril akan selalu melekat sejalan aksi ini dilakukan.

Tak berhenti disini, dampak psikis yang begitu hebat juga selalu menghantui para korban, masyarakat, hingga ke dunia Internasional. Kejahatan sistemik ini membuat banyak negara tergerak untuk melawannya.

Konsepsi terorisme hingga kini masih belum menemui titik spesifikasi yang kongkrit. Abstraknya definisi terorisme membuat hampir segala bentuk tindak kejahatan yang merampas kehidupan manusia dan disertai kekerasan masuk dalam definisi terorisme. Walaupun belum ada konsepsi tunggal dari terorisme, ada beberapa unsur-unsur yang perlu dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dikatagorikan sebagai tindak kejahatan terorisme.

Doktrin para sarjana sebagai sumber hukum menarik berbagai unsur yang terkandung dalam aksi teroisme, yakni; (i) perbuatan merampas hak manusia yang bersifat non-derogable rights, (ii) disertai dengan kekerasan dengan target non-selective,random dan indiscriminate, (iii) dan perbuatan disertai dengan perencanaan yang matang atau terorganisasi, (iv) serta perbuatan menyebabkan munculnya rasa takut yang nyata dan keresahan yang luar biasa di masyarakat.

Pengaturan tindak pidana terorisme dalam hukum nasional juga tidak mendefinisikan terorisme secara spesifik. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme menyatakan bahwa hampir seluruh perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana dapat dikatagorikan sebagai terorisme.

Namun, tindak pidana yang dimaksud hanya sebatas  dalam ketentuan Undang-Undang yang mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme saja. Karena begitu luasnya cakupan dari definsi diatas, memberikan implikasi yuridis yang begitu lemah dalam memberantas tindak pidana terorisme.

Perspektif yurudis kejahatan ini juga diatur dalam tataran global. Setidaknya terdapat 12 Konvensi termasuk protokol utama yang telah diturunkan oleh Perserikatan bangsa-bangsa. Jika dibreakdown konsepsi terorisme juga seperti hukum nasional, bahwa tidak ada aturan yang spesifik mengikat dan mendefinisikan terorisme secara kongkrit.

Hal ini mengingat bahwa kejahatan terorisme dapat berbentuk apapun dan dalam kondisi apapun; seperti pembajakan pesawat (Word Trade Center Tragedy 9/11), penembakan membabi-buta (Paris Tragedy 2015), dan Pengeboman dengan alat peledak yang baru-baru ini terjadi di Surabaya dan sekitarnya dengan berbagai titik yang berbeda.

Jika dikerucutkan semua merujuk pada situasi atau kondisi tertentu yang menyebabkan kerugian baik materil maupun imateril termasuk pada hak-hak asasi manusia yang tak dapat dikurangi dalam waktu dan kondisi apapun. Lebih lanjut, efek domino kajahatan ini juga akan memberikan ancaman pada stabilitas dan keamanan baik nasional maupun internasional.

Pengaturan internasional tentang terorisme agaknya lebih spesifik termaktub dalam pasal 2 ayat 1 International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings. Definisi terorisme dalam pasal tersebut berbunyi “Any person commits an offence within the meaning of this Convention if that person unlawfully and intentionally delivers, places, discharges or detonates an explosive or other lethal device in, into or against a place of public use, a State or government facility, a public transportation system or an infrastructure facility:(a) With the intent to cause death or serious bodily injury; or (b) With the intent to cause extensive destruction of such a place, facility or system, where such destruction results in or is likely to result in major economic loss.

Pengertian yuridis diatas menjabarkan secara spesifik unsur-unsur yang terkandung dalam tindak kejahatan terorisme yakni (i)seseorang atau siapapun juga, (ii)melanggar hukum dan disengaja, (iii)meledakakan alat peladak atau alat yang mematikan lainnya (iv)terhadap tempat umum atau fasilita lainya, (v) dengan maksud menyebabkan kematian atau cidera atau perusakan tempat atau kerugian ekonomi yang begitu hebat.

Semangat negara-negara di dunia dalam melawan terorisme tertuang juga dalam International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999. Setidaknya tertulis ratusan daftar Negara yang menandatangani konvensi tersebut, termasuk Indonesia.

Negara kita juga termasuk dari sekian banyak Negara yang meratifikasi konvensi ini pada tahun 2006. Terbukti lahirnya undang-undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999.

Lahirnya undang-undang tersebut memberikan konsekuensi yuridis bagi Indonesia untuk bekerja sama dengan dunia internasioal dalam mengusut tuntas tindak pidana pendanaan Terorisme sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 hingga 15 konvensi tersebut.

Dasar hukum ini akan memberikan ruang gerak yang lebih sempit bagi para pelaku teror yang marak terdengar dewasa ini, seperti ISIS (Islamic State of Irak and Syria), Taliban, Abu Sayyaf hingga Al-Qaeda. Organisasi berbasi teror tersebut telah mengembangkan sayap keberbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Tak lain adalah paham radikalisme yang dibawahnya menjadi media dalam setiap sepak terjangnya.

Perbedaan waktu dalam ruang lingkup terorisme membuat perbedaan pula maknanya. Terorisme dewasa ini dapat dikatakan menyandang status sebagai kejahatan internasional karena sifatnya yang transnasional, diakui secara universal sebagai tindak kejahatan, dan menjadi enemy of mankind.

Walaupun memang dalam statuta roma tentang international criminal court (ICC) tidak menyebutkan secara eksplisit kewenangan ICC dalam mengadili perkara terorisme, namun karena sifat terorisme yang mengancam stabilitas dan keamanan dunia maka chapter VII United Nations charter harus dilaksanakan sebagai tanggung jawab seluruh Negara dalam menciptakan perdamaian, kemananan dan ketertiban dunia.

Dampak yang sistemik yang dihasilkan karena kejahatan ini membuat PBB mengeluarkan berbagai resolusi, salah satunya Resolusi PBB nomor 1368 tahun 2001 yang Bertekad untuk memerangi dengan segala cara ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional yang disebabkan oleh aksi teroris.

Resolusi tersebut kala itu dilahirkan sebagai respon internasional akan tragedi World Trade Center (9/11). Dasar diatas kiranya perlu bagi negara-negara di dunia untuk mendesak International Criminal Court (ICC) dalam membuat konstruksi baru akan definisi dan penangan kejahatan Terorisme sebagai kejahatan Internasional (International Crime).

Aksi terorisme memang tak akan lepas dari perkembangan peradaban zaman. Perbuatan ini merupakan implikasi dari derasnya perkembangan ideologi dan teknologi, kerena 2 unsur tersebut selalu melekat sepanjang tindak terorisme terjadi. Perlawanan terorisme membutuhkan kerjasama semua elemen masyarakat demi terciptanya stabilitas dan kemanan nasional dan internasional.

Tanggung jawab kolektif merupakan kunci dari keberhasilan deradikalisasi terorisme. Semoga kita mampu menghadirkan kembali dunia yang kondusif dan ramah bagi seluruh umat manusia.(#)

*Penulis adalah aktivis Departemen Advokasi Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Surabaya Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PMHI) Surabaya

No More Posts Available.

No more pages to load.