Usia Pengurus LPD Dibatasi, Bendesa Jadi Ketua Pengawas

oleh -95 Dilihat
oleh
Ketua Pansus Ranperda Revisi Perda LPD, I Nyoman Parta (kemeja Putih) memimpin rapat penyempurnaan Ranperda dengan Tim Ahli dan Biro Hukum Pemprov Bali

DENPASAR, PETISI.CO – Para Bendesa Adat akan dimaksimalkan perannya untuk melakukan pengawasan terhadap Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Desa Pakraman yang dipimpinnya.

Dalam Ranperda tentang Perubahan Ketiga Perda Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Daerah (LPD) yang sedang digodok DPRD Bali, Bendesa Adat diplot sebagai ketua Pengawas LPD.

“Karena Bendesa itu adalah tokoh yang dipercaya oleh krama adat,” jelas Ketua Pansus Ranperda Revisi Perda LPD, I Nyoman Parta, usai menggelar rapat dengan Tim Ahli, Biro Hukum Pemprov Bali di gedung DPRD Bali, Senin (20/2/2017).

Rapat itu digelar untuk menyempurnakan Ranperda Revisi Perda LPD sebelum ditetapkan menjadi Perda awal Maret mendatang. Terlebih sebelumnya, Pansus telah melakukan sosialisasi di 5 kabupaten/kota. Hal lain yang dibahas dalam rapat tersebut adalah terkait usia maksimum pengurus LPD.

Parta mengatakan, usia pengurus LPD dibatasi maksimal 60 tahun yang tertuang dalam Pasal 11 Ayat 5. Selanjutnya, pengganti ketua LPD nantinya harus memiliki sertifikasi kompetensi calon kepala LPD.

“Nanti lembaganya yang mengeluarkan itu, apa LP LPD bekerjasama dengan kampus, atau seperti apa itu masih dirumuskan secara teknis,” katanya.

Selain itu juga diatur terkait audir LPD. Menurut Parta, hampir semua bendesa adat di 5 kabupaten/kota yang sudah disosialisasi mengusulkan adanya audit. Sebab, audit sudah menjadi standar dan menjadi sebuah keharusan bagi lembaga apapun yang melaksanakan kegiatan keuangan dewasa ini. Pihaknya mengatur setiap LPD diaudit sekali setahun.

“Yang melakukan audit itu, pertama adalah pengawas yaitu bendesa. Kedua adalah LP LPD, dan yang ketiga bisa juga memanfaatkan jasa auditor,” ujar Parta.

Lebih lanjut politisi PDIP asal Gianyar yang menjabat ketua Komisi IV DPRD Bali ini mengatakan, terkait LPD yang bangkrut, para bendesa menginginkan agar LPD-nya dibangkitkan kembali. Namun mereka juga membutuhkan dana stimulan. Salah satu yang sangat mungkin dilakukan adalah memberikan dana lewat bantuan keuangan khusus desa adat yang selama ini telah diberikan masing-masing Rp 200 juta.

“Artinya Rp 200 juta yang selama ini sudah dibagi untuk kegiatan pasraman, operasional prajuru dll, kan ada sisa Rp 165 juta. Mungkin tidak Rp 165 juta itu bisa dimanfaatkan berapa untuk modal. Cuma, aturannya memungkinkan atau tidak. Prinsipnya ya nanti eksekutif harus mencari solusinya,” jelas Parta.

Pembentukan LPD baru juga harus dibantu permodalannya. Selama ini, desa adat yang belum membuat LPD rata-rata karena potensinya kecil. Oleh karena itu, desa adat harus bekerjasama dengan LPD lain dan diberikan bantuan modal.

Namun, pihaknya belum menentukan besaran modal yang bisa diberikan kepada LPD baru. Hal lain yang muncul dalam ranperda, menyangkut pula soal lembaga penyangga likuiditas.

“Pertama, menyangkut tentang kelebihan dan kekurangan anggaran. Di satu sisi kelebihan anggaran di LPD A dan kekurangan anggaran di LPD B, ini mereka dimungkinkan untuk membuat kerjasama. Yang kedua tentang penjamin simpanan, jadi karena banyak uang tiba-tiba ada masalah LPD-nya biar tidak merugikan nasabah. Soal penjaminsimpanan, masih dirumuskan siapa yang akan melakukan fungsi itu,” pungkas Parta.(kev)