Warga Gusuran Proyek Frontage Minta Konsinyasi

oleh -57 Dilihat
oleh
Tampak ahli waris Kasipan saat memasang spanduk wujud unjuk rasa didampingi Tito Supriyanto, kuasa hukumnya.

SURABAYA, PETISI.CO – Untuk mensukseskan pembangunan jalur Frontage Road (FR) Ahmad Yani, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya terganjal pembebasan dua bangunan yang saat ini berada di tengah jalan jalur arah Dolog menuju Mapolda Jatim.

Belum dibongkarnya bangunan-bangunan itu, artinya tujuh tahun sejak proyek ini dikerjakan, sejak 2010 lalu, boleh dikata proyek frontage road Pemkot ini belum sepenuhnya selesai secara sempurna.

Ternyata, kendala itu dilatar belakangi polemik yang ada diantara para ahli waris bangunan tersebut.

Kasipan (52), salah satu ahli waris dari Almarhum Siti (pemilik bangunan, red) meminta turun tangan Pemkot untuk bisa secara bijak dapat menyelesaikan polemik yang ada, terkait bangunan yang terletak di jalan Ahmad Yani 138-C Surabaya tersebut, tentunya secara obyektif dan tiak memihak pihak manapun.

“Kita minta Pemkot untuk segera melakukan konsinyasi (penitipan dana ganti rugi pembebasan tanah) ke pengadilan,” ujar Kasipan, Rabu (16/8/2017).

Guna memperjuangkan haknya tersebut, Kasipan bersama ahli waris lainnya menggelar aksi dengan membentangkan spanduk berukuran besar yang bertuliskan “Bu Risma, Kami Minta Kosinyasi Saja. PU Bina Marga Jangan Intervensi, yang Netral dan Lebih Bijak, Tertanda Para Ahli Waris”.

Spanduk berwarna kuning terang tersebut, dipasang tepat didepan bangunan yang belum dibongkar oleh Pemkot. Tak layak, spanduk tersebut menjadi perhatian pengguna jalan yang sedang melintas di jalur padat tersebut.

Upaya ini, dilakukan Kasipan karena ia tidak menginginkan penzoliman terhadap dirinya terjadi kembali atas adanya proyek Frontage Road tersebut.

Ahli waris ini, mengaku juga tidak mendapat bagian dana dari ganti rugi pembebasan lahan sisi bagian selatan bagunan.

“Untuk itu, kami tidak mau kecolongan yang kedua kalinya. Dana sebesar Rp 650 juta yang dibayarkan Pemkot pada 2010 lalu, sepeserpun kita tidak merasakan. Lokasinya di seberang jalan itu. Menurut Pemkot, pada tahun 2010 lalu, perhitungan ganti rugi mencapai Rp 750 juta saat NJOP senilai Rp 5-6 juta rupiah. Namun hingga 2017 ini, kita belum menerima sepeserpun ganti rugi, padahal sudah dijadikan jalan dan NJOP saat ini mencapai Rp 15 juta permeter,” tambah Kasipan.

Kepada wartawan ia menceritakan, asal usul tanah dan bangunan seluas 187 meter persegi tersebut berasal dari neneknya, Mut B Maniah dengan ahli waris antara lain, Marwiyah (alm), Dewi (alm), Ridwan (alm) , Siti (alm), Nasikah dan Musikah.

Namun belakangan pihaknya mengaku kaget terkait terbitnya surat kuasa-hibah yang dibuat oleh bibinya, almarhum Dewi (salah satu ahli waris) yang isinya memberikan hibah atas tanah dan bangunan yang ia tempati kepada Karsono (anak Dewi).

Pasalnya surat hibah tersebut, sebelumnya tidak pernah diketahui oleh Kasipan sebelumnya. “Sejak lahir saya tinggal di sini dan tidak pernah mengetahui adanya surat hibah ini. Saya mempertanyakan keabsahan surat ini dan meminta Pemkot melakukan chek secara detail soal asal usul status bangunan sehingga tidak ada pemilik hak yang terzolimi,” pintanya.

Ia juga menduga surat hibah itu sarat rekayasa. Hal itu diketahui karena adanya beberapa kejanggalan yang ada dalam isi surat.

“Surat hibah ditandatangani pada tahun 1994, namun materainya tahun 1998. Selain itu, saksi yang tertera dalam surat tidak melibatkan seluruh ahli waris yang ada. Hanya ada 4, yaitu Riduwan, Musi’ah, Marwiyah dan Nasikah. Sedangkan ibu saya, Siti tidak dilibatkan,” ungkapnya.

Disamping itu, nama saksi Musi’ah itupun diduga bukan nama sebenarnya. “Tidak ada ahli waris bernama tersebut, yang benar adalah Musikah,” tambah pria penjual bensin eceran ini.

Saat ingin memperjuangkan haknya, oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) I Surabaya malah tanah dan bangunan tersebut dianggap tidak bertuan. “Padahal kita memegang Surat Tanda Hak Milik (STHM) Atas Tanah bernomor Ka./Agr 627/Hm./60,” bebernya.

Adanya nama Dinas Pekerjaan Umum (PU) dan Pematusan Pemkot Surabaya yang dicatut dalam spanduk terpasang tersebut, ahli waris beralasan hal itu sengaja dilakukannya. Menurut ahli waris, Kepala Dinas PU, Erna Purnawati dinilai terlalu intervensi dalam polemik antar keluarga ini.

Masih menurut ahli waris, Erna melalui sambungan telepon mencoba untuk mempengaruhi ahli waris supaya rela menerima ganti rugi hanya sebesar Rp 300 juta per ahli waris. Padahal, apabila secara adil, para ahli waris ini mendapatkan Rp 700 an juta per ahli waris dari total Rp 2,270 miliar dana ganti rugi sesuai yang ditetapkan pemerintah.

“Malah Erna menuding bahwa tanah yang dikuasai Kasipan tersebut merupakan tanah milik negara. Diterima saja, udah untung dapat segitu (300 jutaan),” terang ahli waris menirukan saran Erna.

Tito Supriyanto, kuasa hukum ahli waris, secara tegas mengatakan pihaknya bakal mengajukan gugatan perdata dan penetapan waris. “Bila pihak Pemkot nekat mencairkan dana itu ke salah satu pihak dan tidak mau konsinyasi, gugatan bakal kita layangkan dalam waktu dekat melalui Pengadilan Negeri Surabaya,” ujarnya.

Menurut Tito, hal yang paling bijak yang bisa dilakukan pihak Pemkot Surabaya adalah melakukan konsinyasi hingga permasalahan antar ahli waris ini selesai.

Berita ini belum terkonfrontasi secara lengkap, hingga berita ini dimuat, Erna Purnawati belum berhasil dikonfirmasi. (kur)

No More Posts Available.

No more pages to load.