Antrean Kapal dan Buku Pelaut Dikeluhkan Nahkoda Kapal Rakyat

oleh -258 Dilihat
oleh
Dermaga Kapal Penumpang Pelabuhan Gresik digunakan bongkar muat kapal Pelra tertentu

Operator Pelabuhan Gresik Pilih Kasih

GRESIK, PETISI.CO – Lamanya waktu tambat labuh di Pelabuhan Gresik dan masalah buku pelaut, serta pungutan liar (pungli) mengemuka dalam pertemuan silaturahmi para Nakhoda Kapal Rakyat (Pelra) di Pelabuhan Gresik beberapa hari lalu.  Lamanya antrean kapal di kolam labuh dermaga kapal rakyat dianggap menyusahkan sejumlah pemilik kapal dan nakhoda, serta Anak Buah Kapal (ABK).

“Pelindo Gresik seharusnya tanggap dengan persoalan yang terjadi di lapangan dan jangan hanya terima setoran tambat labuh, sementara kondisi di lapangan amburadul penataannya,” kata salah seorang nakhoda bernada keras.

Selain menyesalkan terjadinya lamanya antrean, mereka juga menyayangkan operator Pelabuhan Gresik pilih kasih dalam penggunaan fasilitas dermaga yang seharusnya hanya diperuntukaan sandar kapal penumpang,  tetapi digunakan kapal-kapal Pelra tertentu bongkar muat di dermnaga khusus itu.

Soal tambat labuh kapal Pelra yang menimbulkan biaya tinggi, pernah disampaikan pula kepada Ketua DPD RI, Lanyala Mattaliti dalam sebuah pertemuan di Graha Kadin Jatim beberapa waktu lalu. Anwar salah satu Pengurus DPD Pelra Jatim & Bali sempat mengadukan hal tersebut.

“Antrean kapal di Pelabuhan Gresik sangat lama, setidaknya sampai lima belas hari, otomatis biayanya membengkak,” jelas Anwar didampingi Sekertaris Abdul Madjid M.

Menurut salah seorang nakhoda, Anwar Hadi, kondisi antrean yang dinilainya parah tersebut sudah berlangsung lama dan tidak ada perhatian dari Operator Pelabuhan (OP) Gresik maupun dari organisasi Pelra Gresik.

“Kapal Kami sudah dihitung taripnya saat memasuki kolam labuh, untuk merapat setidaknya harus antre limas belas hari,” jelasnya. Hal tersebut sangat merugikan nakhoda dan ABK, karena mengurangi pendapatan bagi hasil dari usaha jasa angkut barang.

Ditambahkan Anwar Hadi, dirinya harus mengeluarkan biaya tambat labuh Rp 4  juta untuk kapal berukuran 400 ton. “Jika waktu tambat labuh bisa dipersingkat seperti biasanya hanya lima atau tujuh hari, otomatis biayanya juga berkurang sebagian,” ujarnya.

Ditambahkan oleh Erwin, Nakhoda KLM Mahligai Setia, perlu ada kebijakan dari Operator Pelabuhan, mengingat situasi ekonomi yang serba sulit dan susahnya mendapatkan angkutan logistic saat ini.

“Waktu kapal tiba dan berlabuh sebelum kapal sandar dan melakukan aktivitas bongkar muat taripnya seharusnya diturunkan lima puluh persen,” harapnya. Menurutnya, fasilitas dermaga di Pelabuhan Gresik cukup banyak, tetapi kapal Pelra dianak-tirikan perlakuannya.

Di kolam tambat labuh untuk kapal Pelra hanya dapat menampung sekitar 35 kapal, padahal jumlah kapal yang ada di kolam hampir dua kali lipat. Sementara dengan adanya bangkai kapal di depan dermaga serta kapal pendatang baru dari Jakarta, Semarang, Pontianak yang berukuran besar hingga di 800 ton mempersulit manuver kapal.

Hal lain yang dianggap janggal dan menyalahi aturan adalah diizinkannya kapal-kapal Pelra tertentu melakukan tambat labuh di dermaga khusus untuk penumpang.

“Hal seperti ini menimbulkan kecemburuan dan tanda tanya besar,” ungkap salah satu dari tujuh Nakhoda yang siang itu hadir dalam pertemuan.

Beberapa Nakhoda juga menyayangkan sikap Pelra Gresik yang dianggap tidak peduli dengan permasalahan yang dihadapi anggotanya. Kewajiban sebagai anggota sudah ditaati seperti ketentuan iuran Rp 1000 per Gross Tons maupun pungutan uang antrean Rp 100 ribu per kapal yang dianggap tidak jelas dasar hukumnya.

“Kami seperti kehilangan induk semang,” ungkap salah satu Agen Kapal, Kardianto yang akrab dengan para Nakhoda di Pelabuhan Gresik.

Sebetulnya, menurut Kardianto, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengurai lamanya antrean di Pelabuhan Gresik. Khusus kapal yang mengangkut pupuk dari Petro Kimia bisa dialihkan ke dermaga Petro Kimia, atau jika takut kehilangan pemasukan biaya tambat labuh, di dermaga lainnya di kawasan Pelabuhan Gresik yang dekat dengan Petro Kimia bisa dimanfaatkan.

Dikonfirmasi permasalahan yang diungkap sejumlah Nakhoda, GM Pelabuhan Gresik, Zevy Diargo menjelaskan, selama ini belum pernah ada pengaduan dari pihak pemilik kapal, nakhoda maupun dari DPC Pelra Gresik, mengenai hal tersebut diatas.

Silaturahmi Nakhoda kapal Pelayaran Rakyat di Pelabuhan Gresik

Ditambahkannya, rata-rata kapal tiba sampai sandar kapal Pelra 10 hari dan tidak semua kapal yang tender siap untuk sandar, karena masing nunggu order muatan. Menurutnya, kegiatan bongkar muat kapal Pelra tidak 24 jam terkait dengan kesiapan buruh dan barang yang akan dimuat, sehingga mememerlukan waktu lama.

Terkait bangkai kapal, menurut Zevy Diargo merupakan kewenangan regulator, sedangkan dermaga kapal penumpang yang juga digunakan kapal Pelra tertentu untuk bongkar muat barang, GM Pelindo Gresik tersebut tidak memberikan jawaban sebagaimana diharapkan.

“Dermaga khusus penumpang didesain khusus untuk penumpang,” tulisnya dalam pesan singkat yang diterima  wartawan Petisi.

Sementara itu DPC Pelra Gresik yang dikonfirmasi soal keluhan pemilik kapal dan nakhoda masih diminta menunggu. “Saya tidak dalam kapasitas memberikan statement terkait hal-hal di atas, akan saya konsultasikan dulu dengan ketua, mohon waktu,” kata Wakil Ketua DPC Pelra Gresik, Rozak.

Buku Pelaut Tidak Berlaku

Selain lamanya waktu antrean, mereka juga mengeluh soal tidak jelasnya status buku pelaut berwarna merah yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan. Menurut ketentuan Buku Pelaut Kapal Pelra, pasal 2 ayat 1 Peraturan Dirjen Hubla No HK.103 tentang Tata Cara Penerbitan Buku Pelaut, diantaranya kapal tradisional diberikan untuk awak kapal GT 7 (tujuh Gross Tonnage) sampai dengan kurang dari GT 105 (seratus lima Gross Tonage).

“Kapal yang ukurannya di atas itu kesulitan melaut dan dinyatakan buku pelautnya tidak berlaku terutama untuk kapal-kapal yang berlayar di wilayah timur,” kata Kardianto.

Hal senada pernah terungkap pada Munas ke-13 Pelra Bulan Februari 2022 lalu di Jakarta dan disampaikan langsung kepada Kepala Direktorat Perkapalan dan Kepelautan (Ditkapel) Kementerian Perhubungan yang menjadi nara sumber.

“Kami bingung dan tidak tahu harus bagaimana buku pelaut warna merah dinyatakan tidak berlaku,” kata Ketua DPD Makassar Darwis.

Akan tetapi, tidak diperoleh jawaban yang pasti soal buku pelaut yang sangat esensial bagi seoarang pelaut seperti halnya Surat Ijin Mengemudi (SIM) bagi seorang pengemudi.

Patut disayangkan, soal buku pelaut yang menjadi rekomendasi hasil Munas Pelra tersebut sampai sekarang tidak jelas kelanjutannya.(oki)

No More Posts Available.

No more pages to load.