Dulu Ingin Jual Ginjal, Kini Mandiri Lewat Jahit

oleh -147 Dilihat
oleh
Para pekerja di UKM Benang Emas di Tambak Wedi, Surabaya

Surabaya, petisi.co – Di balik deru mesin jahit yang nyaris tak pernah berhenti di Jalan Tambak Wedi, Surabaya, berdiri sebuah gerakan ekonomi kerakyatan yang pelan tapi pasti mengubah hidup banyak orang. Namanya UKM Benang Emas, unit jahit-menjahit yang bernaung di bawah Koperasi Sumber Barokah (SMB).

Selama empat tahun beroperasi, UKM ini telah menjadi tumpuan hidup bagi 114 anggota, mayoritas warga berpenghasilan rendah (MBR). Tapi Benang Emas bukan sekadar soal omzet. Di balik tumpukan seragam sekolah, seragam dinas pemkot, bahkan pesanan dari pondok pesantren dan jemaat gereja di Papua, tersimpan cerita tentang martabat, mentalitas, dan perubahan nasib.

Ketua Koperasi SMB, Uci Fatimatuzzahro atau yang akrab disapa Ning Uci, menjelaskan bahwa Benang Emas berdiri atas semangat ganda: bisnis dan pemberdayaan sosial.

“Kami ingin menjahit bukan hanya kain, tapi juga harapan dan kemandirian. Menjahit jadi mesin kedua ekonomi keluarga,” ujarnya, Selasa (28/10/2025).

Berkat dukungan kebijakan pro-UMKM dari Pemerintah Kota Surabaya, proyek-proyek seperti pengadaan seragam gratis untuk siswa MBR menjadi penggerak utama roda produksi Benang Emas. Dari pekerjaan sampingan, banyak anggota kini menggantungkan penghasilan utama dari sini.

Peningkatan tidak hanya dalam hal materi. Melalui program Sekolah Tangguh UKM Tangguh Surabaya (Setara), anggota diajarkan disiplin, tanggung jawab, dan budaya kerja profesional. Sistem kerja tanggung renteng diterapkan: jika satu penjahit tertinggal, anggota lain membantu menyelesaikan pesanan.

Program seperti Tabungan Hari Raya (Tahara) juga jadi simbol perubahan. Banyak anggota bisa merayakan Lebaran dari hasil jerih payah sendiri—tanpa bergantung pada THR.

“Pernah ada ibu yang hampir menjual ginjal untuk biaya kuliah anaknya. Sekarang dia mandiri. Itu pencapaian kami,” tutur Ning Uci.

Perubahan besar dirasakan Makruf (46), penyandang disabilitas dari Semampir. Tiga tahun lalu, ia hanya cukup makan dari kerja konveksi. Kini, sebagai penanggung jawab pemotongan kain di Benang Emas, ia memimpin tim kecil dan mengantongi pendapatan bersih Rp10–12 juta per bulan.

“Sekarang saya bisa nyekolahin anak di ponpes, beli motor, dan lunasi cicilan rumah. Dulu nyaris nggak cukup buat makan,” ungkap Makruf.

Cerita serupa datang dari Suliha (45), penjahit ulet asal Tambak Wedi Baru. Dulunya bekerja di konveksi dengan upah kecil, kini ia bisa menjahit 20 baju sehari dan menerima upah dua kali seminggu. Sekali pencairan, ia pernah mendapat hingga Rp2 juta.

“Dulu cuma cukup makan. Sekarang bisa beli motor, perbaiki rumah, dan bantu anak-anak. Alhamdulillah,” katanya. (dvd)