Gaduh Wisata Alam Kawah Ijen, Hormati Prosesnya

oleh -107 Dilihat
oleh
Kawah Ijen yang memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat.

BANYUWANGI, PETISI.CO – Keberadaan Gunung Api Ijen yang lebih dikenal Taman Wisata Alam (TWA) Kawah Ijen, terus menarik untuk disimak oleh kalangan masyarakat.

Khususnya, pasca penandatangan tapal batas dua kabupaten tersebut, yang difasilitasi Kemendagri, Pemprov Jatim dihadiri Plt. Sekdaprov Jatim  dan dihadiri Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani dan Bupati Bondowoso KH Salwa Arifin di Surabaya, kini mulai ramai diperbincangkan.

Walau telah dilakukan penandatanganan yang dilakukan dua pemangku jabatan daerah tersebut,  namun penetapan tapal batas Kawah Ijen, tetap di tangan pejabat pusat yang membantu Presiden RI Joko Widodo, melalui Menteri Dalam Negeri.  Dengan demikian hingga kini batas Ijen belum ditetapkan.

Berita penandatangan dua bupati, Banyuwangi dan Bondowoso telah diberitakan media online regional dan nasional. Namun, tetap saja belum ada Surat Keputusan dari Pemerintah Pusat.

Menurut Moh. Husen, aktivis Pengamat Kebijakan Budaya Banyuwangi, “Menyimak gaduhnya Kawah Ijen, saya merasa ada kekuatan ‘samar’ yang menyeret-nyeret opinion tapal batas dua daerah, Kawah Ijen yang sudah ditandatangani Bupati Ipuk dan Bupati Salwa. Tidak jelas arahnya, dan siapa mereka.”

“Maksudnya bisa jadi akan ada ‘pihak’ yang membuat gaduh masalah yang semestinya pelan-pelan harus dilewati secara normatif dan obyektif. Tapi itulah keunikan Wong Banyuwangi. Sedikit ada bunyi, hebohnya minta ampun. Orang yang gak tahu pasti dan paham masalahnya ucapannya bisa turut ngawur. Sebaiknya hormati proses, apalagi Bupati sudah cabut tandatangan kesepakatannya,” imbuhnya.

Sementara, aktivis dari Yayasan LBH Kawah Ijen yang juga mahasiswa S2 Hukum, Fitrul U’yun Sadewa, SH juga ikut angkat bicara dari kacamata versi hukum.

Pernyataan dikirim via WhatsApp oleh alumni UNIBRAW (Universitas Brawijaya) Fak. Hukum, U’yun menandaskan, “Pertama kita harus memahami fungsi tanda tangan dalam perjanjian, dalam Pasal 1876 KUH Perdata menyatakan bahwa terhadap suatu tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, para pihak yang dihadapkan terhadap tulisan tersebut dapat melakukan dua hal: ‘mengakui atau memungkiri’ kebenaran tulisan atau tanda tangannya.”

Kata U’yun, berdasarkan ketentuan tersebut, maka suatu tanda tangan memiliki fungsi sebagai alat autentikasi dan verifikasi yang pada umumnya memastikan kebenaran terhadap: identitas penandatangan; dan isi dari tulisan tersebut.

Sehingga dapat dipahami bahwa pencantuman tanda tangan dalam suatu perjanjian bukanlah sebagai syarat sahnya perjanjian.

Tanda tangan hanya untuk memberi ciri atau untuk mempersonalisasi sebuah perjanjian.

Sedangkan dalam Pasal 1321 disebutkan, “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

Dalam kasus ini, sebut U’yun, Bupati Ipuk mencabut atau menarik tanda tangan yang dilakukan pada tanggal 3 Juni 2021 karena merasa ditekan adalah wujud dari tanggung jawab terhadap kepentingan rakyat Banyuwangi.

“Mengapa kita sebagai rakyat Banyuwangi tidak mengapresiasi dan berterimakasih ketika berita acara tersebut dicabut, mengapa harus mempermasalahkan penekanan seperti apa yang dialami Bupati,” jelasnya.

“Harusnya kita sebagai warga Banyuwangi bersyukur memiliki Bupati yang peduli terhadap kepentingan rakyatnya tetapi juga menghargai atasannya dan pendahulunya dalam hal ini pihak Pemprov Jawa Timur dan Wakil Bupati Banyuwangi yang sudah menandatangani berita acara tanggal 16 Juli 2019 Nomor: BA 44/BADH/IV/2019,” tambah U’yun lagi.

“Pencabutan berita acara yang dilakukan Bupati Ipuk adalah suatu keberanian yang patut diapresiasi dan tidak semua pemimpin berani ambil resiko demi rakyatnya/hak-hak batas wilayahnya,” pungkasnya.(kip)

No More Posts Available.

No more pages to load.