SURABAYA, PETISI.CO – Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa didesak untuk mencabut izin usaha pertambangan (IUP) sejumlah perusahaan tambang di pesisir selatan Jatim. Pasalnya, keberadaan perusahaan tambang tersebut dianggap berpotensi membawa kerusakan ekologis.
Desakan tersebut, disampaikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur (Jatim) saat melakukan unjukrasa di depan Kantor Gubernur Jatim, jalan Pahlawan, Surabaya, Kamis (1/8/2019). Demo WALHI diikuti puluhan orang, namun mendapat pengawasan dari aparat kepolisian.
Ditemui di sela demo, Direktur WALHI Jatim, Rere Christianto, mengatakan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Jatim, telah menggarisbawahi bahwa, kawasan selatan Jawa, termasuk Jatim adalah kawasan rawan bencana. Mengacu pada kenyataan ini, penataan kawasan di pesisir selatan seharusnya ditujukan untuk meminimalisir dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh bencana.
“Kawasan selatan Jawa selayaknya ditetapkan menjadi kawasan lindung dan konservasi demi mengantisipasi bencana yang mungkin timbul. Pelepasan wilayah yang penting secara ekologis menjadi pertambangan, berpotensi merusak keseimbangan ekosistem kawasan. Tentu hal itu tindakan kontradiktif terhadap usaha menurunkan resiko bencana di Indonesia,” ujarnya.
Menurut catatan WALHI Jatim, dalam mulai 2013-2018, eskalasi bencana ekologis di Jatim terus menerus meningkat. Pada tahun 2013 jumlah bencana ekologis tercatat ada 233 kejadian. Jumlah ini terus meningkat hingga pada tahun 2018 tercatat setidaknya ada 455 kejadian bencana ekologis. Bencana ekologis ini akibat ketidakadilan Iingkungan dan gagalnya sistem pengurusan alam.
Banjir, tanah longsor, abrasi dan kekeringan akibat kerusakan Iingkungan karena aktivitas manusia. Kondisi tersebut mengancam kehidupan manusia. Dalam hal ini, bencana ekologis menunjukkan bahwa pemerintah seringkali gagal mematuhi regulasinya sendiri.
Sehingga menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi ekosistem. “Ancaman perluasan pertambangan di Jatim menjadi salah satu problem nyata yang harus dihadapi oleh masyarakat,” tuturnya.
Berdasarkan Koordinasi-Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (Korsup KPK) untuk Pertambangan Mineral dan Batubara, per 29 Agustus 2016, jumlah IUP di Jatim mengalami penurunan bila dibanding data Kementerian ESDM di tahun 2012. Yaitu dari 378 IUP di tahun 2012 menjadi 347 IUP di tahun 2016.
“Namun secara substansial terdapat peningkatan signifikan terhadap luasan lahan pertambangan. Jika di tahun 2012 luas lahan pertambangan di Jawa Timur hanya sekitar 86.904 hektar, maka pada tahun 2016 tercatat vluasan lahan pertambangan di Jatim mencapai 551.649 hektar,” ungkapnya.
Karena itu, pihaknya mendesak Pemprov Jatim segera mencabut IUP pertambangan dari kawasan pesisir selatan. Pemprov Jatim juga harus menetapkan kawasan Iindung dan konservasi di wilayah selatan Jatim.
“Ini menjadi syarat mutlak untuk pemulihan kawasan dan menjadi bagian dari usaha besar penurunan resiko bencana ekologis. Pada intinya, pemerintah wajib hukumnya melakukan penyelamatan ruang hidup rakyat,” pintanya.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jatim, Diah Susilowati dengan tegas menyatakan bahwa, Pemprov Jatim tidak berharap keberadaan perusahaan tambang justru membuat masyarakat sengsara. Segala macam dampak ekologis dipastikan sudah dipertimbangkan dengan matang.
Pihaknya juga mendorong agar perusahaan tambang memiliki kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Baik dari sisi ekonomi, pendidikan maupun kesehatan. “Tidak semua pembangunan itu merusak dan disalahkan-salahkan. Apa kesalahanya kita uji dan kita kontrol. Kalau tidak betul ya bisa kena sangsi,” paparnya. (bm)