Gubernur Minta Kewenangan Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Dikonkritkan

oleh -31 Dilihat
oleh
Pakde Karwo saat memberi sambtan

SURABAYA, PETISI.COGubernur Jatim Dr. H. Soekarwo meminta kewenangan sebagai wakil pemerintah pusat dikonkritkan, agar koordinasi dengan lembaga-lembaga vertikal bisa dimaksimalkan. Hal ini penting dilakukan karena meski telah diatur dalam Undang Undang/UU No. 23 Tahun 2014, namun detail kewenangan pusat yang diberikan kepada gubernur belum tertuang dengan jelas.

Permintaan tersebut disampaikan Pakde Karwo-sapaan akrab Gubernur Jatim, saat menghadiri acara Focus Group Discussion Alih Fungsi Urusan Pemerintahan Daerah di Hotel Sheraton, Surabaya, Kamis (13/04/2017).

Pakde Karwo menjelaskan terkait  penerapan UU No. 23 tahun 2014 , dalam urusan kepemerintahan oleh pemerintah pusat sebagian telah diserahkan ke provinsi dan kabupaten/kota. Untuk urusan pemerintahan yang bersifat pelayanan maka wewenangnya diserahkan ke kabupaten/kota. Sedangkan yang sifatnya mengatur kebijakan atar kabupaten/kota maka wewenangnya di bawah provinsi.

Selain itu, ada juga wewenang yang bersifat pilihan misalnya keberadaan dinas pertanian di Kota Surabaya tidak terlalu dibutuhkan, namun tidak demikian dengan Kab. Mojokerto. “Secara keseluruhan saya mengusulkan ada 32 urusan pemerintahan yang konkuren,” jelasnya.

Menurutnya, seharusnya gubernur bisa membuat diskresi jika terjadi masalah yang urgensinya harus segera ditangani, dengan syarat bisa dipertanggungjawabkan. Dicontohkan untuk kasus kerusakan jalan yang terjadi di Jatim sebenarnya provinsi memiliki kemampuan dan telah dikomunikasikan dengan Kementrian PUPR, namun tetap belum ditemukan jalan keluar.

“Seharusnya gubernur bisa membuat diskresi kebijakan, wadahnya bisa melalui peraturan daerah,” ungkapnya.

Lebih lanjut disampaikan, Pemprov Jatim juga telah melakukan langkah strategis dalam peralihan kewenangan pemerintah daerah sesuai yang tertuang dalam UU No. 23 tahun 2014. Salah satunya yakni dengan penguatan kecamatan sebagai penyelenggara pelayanan publik.

Dalam rangka penguatan fungsi kecamatan Pemprov telah membuat lima agenda penting. Diantaranya yakni pertama dengan menambah jumlah kecamatan yang melaksanakan Pelayanan Terpadu di Kecamatan (Paten), kedua dengan menyiapkan kebijakan standar pendelegasian wewenang bupati/walikota yang bisa diterima dan dilakukan oleh camat.

“Dengan memperkuat fungsi kecamatan sebagai pelayanan publik, maka harapannya masyarakat bisa terlayani dengan baik dan maksimal,” imbuhnya.

Pakde Karwo menambahkan, secara umum UU No. 23 tahun 2014 cukup komprehensif dan lebih demokratis dibanding UU No. 32 tahun 2004. Apalagi, UU No. 23 tahun 2014 lebih demokratis dan partisipatoris karena masyarakat ikut dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Sehingga jika dulu kunci kesejahteraan hanya pelayanan publik, sekarang ditambah pemberdayaan masyarakat dan partisipatoris.

“Masyarakat saat ini telah menjadi subyek tidak lagi hanya obyek terhadap tiap permasalahan otonomi daerah,” tukasnya.

Ia berharap, peralihan wewenang urusan pemerintahan berdasarkan UU  No. 23 tahun 2014 bisa segera diatur lebih lanjut dan dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan yang  bersifat teknis. Selain itu, pelaksanaan urusan pemerintahan yang beralih ke daerah, seharusnya disertai peralihan personel, pendanaan, sarana, serta dokumen. Terkait moratorium ASN, Pakde Karwo menyarankan agar pemerintah pusat sedikit memberi kelonggaran penerimaan untuk kebutuhan khusus misalnya dokter spesialis kandungan. “Intinya semoga peraturannya segera dilengkapi, namun dalam perumusan sebaiknya baik provinsi dan kabupaten/kota juga dilibatkan dan diajak bicara,” pungkasnya.

Sementara itu, Presiden Institut Otonomi Daerah (I-OTDA) Prof. Dr. H. Djohermansyah Djohan menyampaikan, menurut UU No. 23 tahun 2014 pembagian urusan pemerintahan diatur dalam UU sehingga memberikan status ekonomi yang lebih kuat kepada daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan juga diatur antar tingkatan oleh sebab itu tidak akan terjadi tumpang tindih dan ketidakjelasan wewenang. Sedangkan urusan yang memiliki dampak ekologis yang serius hanya diotonomikan ke provinsi seperti kehutanan dan pertambangan, untuk mempermudah pertanggungjawaban.

“Khusus untuk posisi kepala daerah merupakan kepala pemerintahan daerah yang menjadi wakil pemerintah pusat di daerah dan kepanjangan tangan dari presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan umum. Dengan demikian masyarakat bisa merasakan kehadiran pemerintah dalam kehidupan sehari-hari mereka,” terangnya.(cah/dwi)