Serial Menuju Haji Mabrur (5)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Setiap musim haji, jutaan umat Islam dari berbagai negara berkumpul dalam satu tempat, satu waktu, satu pakaian, dan satu tujuan. Momen ini adalah potret paling konkret dari kesatuan umat dalam konsep dan realitas: ummatan wahidah. Semoga Kesatuan ini tidak hanya berumur pendek, hanya selama prosesi haji berlangsung.
Kesadaran Kolektif: Kesatuan dn Kebersamaan
Dalam teori sosiologi Emile Durkheim, ada konsep dan teori yang relevan untuk dijadikan kajian dalam konteks ini, yaitu konsep “collective consciousness”, sebuah gagasan konsep tentang kesadaran bersama yang hidup dalam masyarakat dan membentuk identitas kolektif.
Dan, Haji adalah manifestasi puncak dari kesadaran ini. Umat Islam dari berbagai ras, bahasa, dan budaya larut dalam satu syiar yang sama: Labbaik Allahumma labbaik.
Sayangnya, kesadaran ini seringkali tidak berlanjut setelah kembali ke negeri masing-masing. Ketika kembali ke rumah, umat Islam pada umumnya kembali tercerai-berai oleh sekat ideologi, politik, ekonomi, bahkan oleh fanatisme kelompok yang sempit. Maka, tugas kita, para Jemaah haji, adalah membawa pulang kesadaran kolektif ini ke dalam kehidupan bermasyarakat.
Persatuan di Tanah Suci, Perpecahan di Tanah Air
Haji menyatukan umat Islam, tetapi dalam realitas umat Islam di lapangan, ada potensi perpecahan dan pencerei-bereikan (?). Ini ironi yang harus dihadapi dengan jujur. Di Makkah, semua orang saling tolong-menolong. Tapi di luar itu, umat Islam sering saling menyalahkan, menjatuhkan, bahkan bermusuhan karena perbedaan kecil. Apakah semangat haji hanya berlaku saat ihram dikenakan?
Jika benar haji itu mabrur, maka efeknya harus berdampak ke dimensi sosial, yaitu mendidik umat untuk hidup rukun, toleran dalam perbedaan, dan fokus pada maslahat bersama. Kesadaran kolektif umat bukan dibangun dengan mimbar-mimbar perpecahan, tapi dengan dialog, empati, dan kerja sama.
Dari Individu Menuju Komunitas Islami
Dalam kajian psikologi sosial, terbentuknya komunitas sehat ditandai oleh tiga hal: (1). Identitas bersama (shared identity); (2). Tanggung jawab kolektif (shared responsibility); (3). Tujuan jangka panjang (collective future goals).
Haji adalah tempat di mana ketiga hal ini ditanamkan secara kuat. Hanya saja PR kita adalah: bagaimana menjaganya tetap hidup setelah Kembali pulang ke negara bahkan ke kampung masing-masing?
Sebagai Ketua ICMI Jawa Timur, saya percaya bahwa momentum haji dapat menjadi titik tolak membangun kesadaran umat, bahwa kita adalah satu tubuh. Satu umat. Jika satu bagian sakit, seluruh tubuh merasa sakit.
Haji Sebagai Momentum Bangkitnya Umat
Begitu penting dan strategisnya Haji dalam pandangan kita umat Islam maupun umat yang lain, dimana haji dipandang bukan sekadar sebagai ritual, bahkan haji dipandang sebagai momen diplomasi spiritual. Di sana, pemimpin-pemimpin umat bisa saling bertemu, saling menyapa, dan membuka jalan kolaborasi lintas negara. Haji bisa menjadi titik lahirnya konsensus global umat Islam tentang perdamaian, pendidikan, ekonomi syariah, hingga teknologi.
Kesadaran kolektif ini harus dijaga, tidak hanya oleh para pemimpin, tetapi oleh seluruh elemen umat. Mulai dari jamaah yang baru pulang haji hingga organisasi-organisasi Islam di tanah air.
Penutup
Kesadaran akan penting dan strategisnya haji ini menyisahkan pesan terselubung, yaitu: jangan biarkan haji hanya menjadi ibadah tahunan tanpa jejak sosial. Mari bawa pulang nilai-nilai kesatuan, kepedulian, dan keadaban yang kita rasakan di Tanah Suci untuk memperkuat peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin. (*)
*penulis adalah: Ulul Albab, Ketua ICMI Jawa Timur, Ketua Litbang DPP Amphuri