Hidup Sebatang Kara, Siswa MAN 1 Lamongan Tetap Ingin Sekolah

oleh -173 Dilihat
oleh
Hafi Drajat Dermawan

LAMONGAN, PETISI.CO – Kisah hidup siswa MAN 1 Lamongan, Hafi Drajat Dermawan sungguh memilukan. Bagaimana tidak, di usianya yang masih belia, anak kelahiran 8 April 2001 ini sudah harus hidup sendiri, tanpa orang tua, tanpa saudara atau family.

Benar-benar hidup sendiri, tanpa tahu besok makan apa, karena tidak punya sumber pendapatan.

Hebatnya, anak asal Deket Lamongan yang kini duduk di bangku kelas XII MAN 1 Lamongan di Jl Veteran nomor 43 Lamongan ini tetap nekat meneruskan sekolah hingga lulus.

“Saya nggak tahu, pokoknya saya harus tetap sekolah dan jadi orang sukses,” tekad Hafi Drajat Dermawan dengan mata berkaca-kaca mengenang ibu-bapaknya saat ditemui di sela-sela istirahat sekolah, Senin (6/08/2018).

Kisah tragis Hafi Drajat, puncaknya terjadi pada 2017 lalu. Ayahnya, Nurul Hidayah lebih dulu meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan, disusul ibunya, Anik Kartika, sehingga kini harus hidup sendiri, sebatang kara, tidak punya satu pun saudara atau family.

Hafi menceritakan bahwa ibu-bapaknya dulu berjualan pecel lele di pinggir alun-alun Lamongan. Mereka berdua berjualan setiap hari, namun ibunya, Anik Kartika tiba-tiba jatuh sakit.

“Sakit pembengkakan jantung, sehingga tidak bisa membantu bapak lagi,” terang Hafi.

Diakui, pembengkakan jantung yang diderita ibunya cukup parah, sehingga ibunya sering keluar masuk rumah sakit dan hanya bisa berbaring di rumah, tidak bisa apa-apa. Karena itu, lanjut dia, dirinya harus membantu bapaknya berjualan di dekat alun-alun.

“Habis shalat subuh, saya bantu bapak jualan, dan jam 06.00 Wib, saya pamit masuk sekolah,” tutur Hafi.

Tak ada yang tahu kondisi Hafi, termasuk teman sekolah dan gurunya, karena Hafi sendiri tidak pernah bercerita. Saat naik kelas XI, Hafi semakin bersedih karena bapaknya yang jadi tulang punggung keluarga mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat kejadian perkara (TKP).

Itu terjadi pada dini hari sebelum subuh, sewaktu bapaknya hendak berbelanja bahan jualan ke Pasar Sidoharjo. Di pagi hari masih gelap, bapaknya yang naik sepeda motor tiba-tiba dikagetkan adanya kabel yang menjuntai di tengah jalan saat melintasi Jl Veteran.

Tubuhnya pun terpelanting dan jatuh berguling-guling dengan luka cukup parah. Saking parahnya, nyawa bapak Hafi tidak tertolong lagi di lokasi kejadian.

Hafi tinggal hidup bersama ibunya. Mereka tidak bisa berjualan lagi karena Hafi harus merawat ibunya yang hanya bisa berbaring lemas di atas tempat tidur karena sakitnya cukup parah dengan selang oxygen selalu menempel di hidung.

Kondisi mereka sangat memprihatinkan. Mereka juga tidak punya pemasukan lagi, hanya mengandalkan sisa beras takziyah pemberian para tetangga saat bapaknya meninggal dulu. Uang santunan Jasa Raharja sebenarnya didapat tapi habis untuk berobat dan bayar hutang. “Jadi, makan seadanya,” cerita dia.

Sejak itu, setiap pagi, Hafi sudah harus bangun untuk memasak, kemudian memandikan ibunya yang sakit dan mengenakan pampers. Baru setelah itu, Hafi bisa berangkat sekolah. Itu dijalani tiap hari, sehingga sering terlambat datang ke sekolah dan tidak jarang juga sampai absen, tidak masuk.

“Saya sering menegur karena sering terlambat dan masuk sekolah,” kata wali kelasnya, Elvi Laelativah, SPd.

Elvi mengaku awalnya tidak tahu karena Hafi sendiri tidak pernah mengaku terus terang. Hingga suatu ketika, lanjut guru Bahasa Inggris ini, ada tetangga Hafi datang ke sekolah menceritakan kalau Hafi selama ini merawat ibunya seorang diri, sehingga sekolahnya menjadi terganggu.

Makanya, kata Elvi, dirinya jarang melihat Hafi di sekolah saat istirahat karena ternyata pulang merawat ibunya di rumah. “Saya kasihan melihatnya, banyak guru akhirnya bantu, mulai bayar SPP, hingga bayar uang bukunya,” tutur Elvi.

Hafi sendiri mengakui itu. Bagi Hafi, apapun akan dilakukan untuk ibunya. “Karena hanya ibu satu-satunya yang saya miliki di dunia ini,” aku Hafi. Ia juga mengaku harus hutang ke sana kemari untuk membiayai berobat ibunya dan kebutuhan hidup sehari-hari.

Kesedihan Hafi ternyata tidak berhenti di situ. Di saat sedang mengantarkan undangan kegiatan OSIS, tiba-tiba tetangga Hafi datang ke sekolah dan mengabarkan kalau ibunya meninggal dunia.

Kontan, Hafi menangis sejadi-jadinya dan minta ijin pulang. Kini, Hafi tidak punya siapa-siapa lagi setelah ditinggal ibunya. Bapaknya anak tunggal, tidak punya saudara. Ibu punya saudara, tapi di Surabaya, namun sudah lama tidak tersambung.

Sehingga Hafi kini tinggal seorang diri. “Saya harus kuat, saya harus lulus sekolah,” tekad Hafi.

Kehidupan Hafi kini tidak jauh lebih baik. Hidup sendirian di rumah tanpa ada satu pun family yang dimiliki. Tak jarang harus sarapan mie instan bahkan tidak makan saat berangkat sekolah, karena memang tidak punya uang.

Kondisi tersebut menimbulkan rasa iba dari teman-temannya sekelas. Mereka pun membuat jadwal giliran menemani Hafi di rumahnya di Deket, Lamongan. Mereka nemani Hafi untuk belajar, termasuk juga membantu untuk memasak bersama-sama.(roudlon)

 

No More Posts Available.

No more pages to load.