KASUS kebangkrutan perusahaan sering kali menimbulkan dilema hukum yang kompleks, terutama ketika melibatkan pengusaha atau pemilik perusahaan. Dalam banyak kasus, kebangkrutan yang terjadi bukan hanya berdampak pada aspek perdata, seperti pembayaran utang kepada kreditor atau pemenuhan kewajiban kontraktual, tetapi juga dapat menimbulkan implikasi pidana. Sebuah pertanyaan yang sering muncul adalah: kapan seorang pengusaha dapat dijerat dengan hukum pidana dalam konteks kebangkrutan perusahaan?
Artikel ini akan membahas perbedaan antara hukum perdata dan pidana dalam kasus perusahaan yang bangkrut, serta kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan seorang pengusaha atau pemilik perusahaan dapat dijerat secara pidana. Dengan memahami perbedaan ini, diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang batasan-batasan hukum yang diterapkan dalam kasus kebangkrutan.
Hukum Perdata dan Implikasinya dalam Kasus Perusahaan Bangkrut
Secara umum, hukum perdata mengatur hubungan antar individu atau badan hukum yang saling berkontrak dan memiliki kewajiban untuk dipenuhi. Dalam konteks kebangkrutan, hukum perdata akan lebih fokus pada aspek pemenuhan kewajiban perusahaan terhadap kreditor, pengaturan utang piutang, dan pembagian aset yang dimiliki perusahaan. Dalam hal ini, pengusaha atau pemilik perusahaan tidak secara otomatis dipertanggungjawabkan secara pribadi atas utang perusahaan, kecuali ada bukti yang menunjukkan kelalaian atau kesalahan dalam pengelolaan perusahaan.
Hukum perdata dalam kebangkrutan diatur oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Berdasarkan undang-undang ini, jika sebuah perusahaan tidak dapat membayar utangnya, maka perusahaan tersebut dapat mengajukan permohonan kepailitan kepada pengadilan. Dalam prosedur kepailitan, pengusaha sebagai pemilik perusahaan memiliki kewajiban untuk melunasi utang perusahaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika terdapat kekurangan dalam pembayaran utang, maka kreditor dapat mengajukan gugatan perdata.
Namun, dalam hukum perdata, pengusaha umumnya tidak bertanggung jawab secara pribadi atas utang perusahaan, terutama jika perusahaan tersebut berbentuk badan hukum terpisah, seperti perseroan terbatas (PT). Kecuali jika terbukti adanya tindakan penipuan atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pengusaha tersebut yang merugikan pihak lain.
Menurut Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, ahli hukum tata negara dan hukum perdata, “Pada dasarnya, hukum perdata mengatur hubungan kontraktual antara kreditor dan debitor, dan hanya dalam kondisi tertentu pengusaha dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi. Namun, dalam kasus kebangkrutan, penting untuk membedakan antara tindakan yang disengaja atau kelalaian yang menyebabkan kerugian besar bagi pihak lain, di mana pengusaha bisa dimintakan pertanggungjawaban pribadi.”
Hukum Pidana dan Implikasinya dalam Kasus Perusahaan Bangkrut
Berbeda dengan hukum perdata yang lebih fokus pada pemenuhan kewajiban kontraktual, hukum pidana mengatur tindakan yang dianggap sebagai kejahatan dan dapat dikenakan sanksi pidana. Dalam kasus kebangkrutan, seorang pengusaha dapat dijerat pidana jika terbukti melakukan tindakan yang melanggar hukum, seperti penipuan, penggelapan, atau pencucian uang. Beberapa tindakan yang dapat dijerat pidana antara lain:
- Penipuan (Pasal 378 KUHP)
Penipuan dalam konteks kebangkrutan terjadi jika seorang pengusaha dengan sengaja mengelabui pihak lain, seperti kreditor atau investor, dengan maksud untuk merugikan mereka. Misalnya, pengusaha yang dengan sengaja menyembunyikan fakta mengenai kondisi keuangan perusahaan atau memberikan informasi palsu untuk mendapatkan pinjaman atau investasi. Dalam hal ini, pengusaha dapat dijerat dengan pasal penipuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
- Penggelapan (Pasal 372 KUHP)
Penggelapan terjadi ketika seorang pengusaha yang memiliki wewenang terhadap harta perusahaan secara tidak sah mengambil atau menggunakan harta tersebut untuk kepentingan pribadi. Dalam konteks kebangkrutan, jika terbukti pengusaha mengambil aset perusahaan yang seharusnya digunakan untuk membayar utang, maka pengusaha dapat dijerat dengan pasal penggelapan.
- Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010)
Pengusaha yang terlibat dalam kebangkrutan dan mencoba untuk menyembunyikan atau mengalihkan harta perusahaan yang seharusnya digunakan untuk membayar utang dengan tujuan untuk menyembunyikan asal-usulnya dapat dijerat dengan pasal pencucian uang. Hal ini sering terjadi dalam kasus kebangkrutan yang melibatkan perusahaan besar atau pengusaha dengan koneksi yang luas.
Menurut Dr. Andi Syamsu Alam, pakar hukum pidana, “Perbedaan utama antara hukum perdata dan pidana terletak pada niat atau kesengajaan dari pengusaha. Dalam kasus kebangkrutan, jika ada bukti jelas bahwa pengusaha sengaja melakukan tindakan yang merugikan kreditor atau masyarakat, maka mereka dapat dijerat dengan pidana. Terlebih jika ada bukti manipulasi laporan keuangan atau penggelapan aset yang disengaja.”
Faktor-Faktor yang Menjadi Dasar Pengusaha Dijerat Pidana dalam Kasus Kebangkrutan
Ada beberapa faktor yang dapat menjadi dasar bagi pengusaha untuk dijerat pidana dalam kasus kebangkrutan perusahaan, antara lain:
- Niat Jahat atau Kesengajaan
Seorang pengusaha yang sengaja melakukan tindakan penipuan atau penggelapan dalam rangka menghindari kewajiban membayar utang atau merugikan kreditor, dapat dijerat dengan pidana. Kesengajaan dalam tindakan yang merugikan pihak lain merupakan faktor utama yang membedakan antara tindakan perdata dan pidana dalam kasus kebangkrutan.
- Tindak Pidana yang Dilakukan Selama Proses Kebangkrutan
Jika selama proses kebangkrutan, pengusaha terbukti melakukan tindak pidana seperti manipulasi laporan keuangan, penggelapan aset perusahaan, atau penyembunyian utang, maka tindakan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini juga berlaku bagi pengusaha yang mencoba mengalihkan aset perusahaan kepada pihak lain untuk menghindari pembayaran kewajiban kepada kreditor.
- Perusahaan Terbukti Menyebabkan Kerugian yang Sangat Besar
Apabila perusahaan yang bangkrut menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi pihak lain, seperti kreditor atau karyawan, dan ada bukti bahwa kerugian tersebut timbul akibat kelalaian atau kesalahan yang disengaja dari pengusaha, maka pengusaha tersebut dapat dijerat pidana. Misalnya, jika pengusaha menggunakan dana perusahaan untuk kepentingan pribadi atau melakukan transaksi yang merugikan perusahaan dan kreditor.
Perbedaan Hukum Perdata dan Pidana dalam Kasus Kebangkrutan
Secara garis besar, perbedaan antara hukum perdata dan pidana dalam konteks kebangkrutan terletak pada tujuan dan jenis sanksi yang dikenakan. Hukum perdata bertujuan untuk mengatur hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang terlibat, seperti kreditor dan debitor, serta mencari penyelesaian atas utang piutang. Sanksi yang dikenakan dalam hukum perdata biasanya berupa ganti rugi atau pembayaran utang.
Sedangkan, hukum pidana bertujuan untuk menghukum individu yang melakukan tindak pidana yang merugikan pihak lain. Sanksi pidana berupa hukuman penjara atau denda dikenakan kepada pengusaha yang terbukti melakukan tindak pidana yang merugikan pihak lain dalam konteks kebangkrutan. Oleh karena itu, meskipun perusahaan mengalami kebangkrutan, tidak semua pengusaha akan dijerat dengan pidana, kecuali jika terbukti melakukan tindak pidana yang merugikan pihak lain secara sengaja.
Dalam kasus kebangkrutan perusahaan, perbedaan antara hukum perdata dan pidana sangat penting untuk dipahami. Hukum perdata akan fokus pada penyelesaian utang piutang dan kewajiban terhadap kreditor, sedangkan hukum pidana akan berlaku jika pengusaha melakukan tindakan yang melanggar hukum, seperti penipuan atau penggelapan, yang merugikan pihak lain.
Oleh karena itu, pengusaha dapat dijerat secara pidana jika terbukti melakukan kesalahan yang disengaja dalam rangka menghindari kewajiban hukum atau merugikan kreditor. Penerapan hukum yang adil dalam kasus kebangkrutan sangat diperlukan agar sistem hukum dapat berjalan dengan baik dan menegakkan keadilan bagi seluruh pihak yang terlibat. (*)
*penulis adalah: Arif Mulyohadi, Dosen Ilmu Hukum, Institut Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan dan Anggota Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI) Orwil Jatim