Hukum Pidana Laiknya Pedang Bermata Dua

oleh -194 Dilihat
oleh
Tampak saksi ahli C. Djisman Samosir memberikan pendapatnya di muka persidangan yang digelar di PN Surabaya

Sidang Praperadilan Henry J Gunawan

SURABAYA, PETISI.CO – Hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Pujo Saksono, kembali menggelar sidang pra peradilan yang diajukan oleh  Henry Jocosity Gunawan, terdakwa perkara penipuan dan penggelapan, Senin (11/9/2017). Sidang di ruang Kartika PN Surabaya ini, digelar dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli dan dua saksi fakta lainnya.

Dalam keterangannya, saksi ahli C. Djisman Samosir, Dosen sekaligus Rektor Kepala Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung ini mengatakan bahwa hukum pidana itu bersifat Ultimum Remedium atau upaya terakhir. “Apabila bisa ditempuh upaya di luar proses pidana, penanganan hukum pidana bisa tidak dilakukan. Hukum pidana laiknya pedang bermata dua,” ujarnya.

Sedangkan, untuk kasus penipuan dan penggelapan, berhubungan dengan materi serta kerugian, dan bisa diberlakukan restorasi hukum. Fungsinya, untuk mengurangi tugas penegak hukum serta meminimalisir over kapasitas ruang penjara.

Ditanya soal adanya persinggungan antara gugatan perdata dengan kasus pidana yang proses hukumnya secara bersamaan berjalan, saksi ahli secara tegas mengatakan bahwa perkara pidana seharusnya ditunda terlebih dahulu prosesnya, hingga gugatan perdata yang diperiksa memiliki putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

“Itu bunyi Perma nomor 1 tahun 1956, dan berlaku bagi seluruh jajaran aparat penegak hukum, baik itu penyidik maupun jaksa penuntut umum. Sedangkan bagi hakim, pemberlakuan itu difungsikan untuk meminimalisir adanya eses dalam penegakan proses peradilan,” beber Djisman.

Terkait pengaruh diajukannya gugatan praperadilan dengan surat dakwaan Henry J Gunawan yang saat ini sudah dibacakan jaksa di  persidangan lain, berdasarkan pasal 156 ayat 1 KUHAP, saksi ahli mengatakan bahwa pembacaan surat dakwaan oleh jaksa itu bukan mengartikan perkara pokoknya sudah diperiksa, dan sidang pokok perkara bisa dihentikan apabila dalam putusan gugatan praperadilan mengabulkan permohonan yang diajukan pihak Henry.

“Perkara pokok bisa dikatakan sudah diperiksa, setelah sudah ada pemeriksaan saksi dan pembuktian lain dalam sidang. Karena pembacaan dakwaan hanya masih pelaksanaan prosedur, sedangkan pemeriksaan pokok perkara sudah masuk subtansi,” tambahnya.

M SIdik Latuconsina, ketua tim penasehat hukum Henry juga menyoal soal telatnya jaksa mengirimkan surat pemberitahuan penahanan kepada keluarga terdakwa. Menurut M SIdik, surat jaksa baru diterima pihak keluarga terdakwa setelah dua pekan Henry menjalani penahanan.

Oleh saksi ahli hal itu dinilai tidak relevan. Dasarnya, sesuai pasal 21 ayat 3 KUHAP, tembusan surat penahanan diserahkan kepada keluarga terdakwa. Kendati tidak tertulis, tapi pasal tersebut harus dilaksanakan jaksa untuk melindungi hak-hak yang dimiliki terdakwa.

Inti pasal di atas bertautan dengan pasal 59 KUHAP. “Kalau pasal 21 ayat 3 KUHAP itu soal kewajiban aparat, sedangkan pasal 59 KUHAP terkait hak yang patut dimiliki terdakwa,” ujar saksi.

Namun, komplain tim penasehat hukum Henry tersebut disanggah jaksa Darwis dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya. Jaksa bersikukuh surat tembusan perintah penahanan Henry dikirimkan pihaknya ke keluarga tahanan setelah dua hari proses penahanan, bukan dua pekan seperti yang disampaikan tim penasehat hukum.

“Kalau benar surat itu dikirim dua pekan setelah penahanan, itu tidak patut dan merugikan terdakwa dan keluarganya. Namun, apabila surat dikirim dua hari setelah penahanan, itu masih relevan. Soal mana yang benar, dua pekan atau dua hari, hany amereka yang tahu,” terang saksi ahli yang juga didengarkan pendapatnya pada sidang kasus yang melilit Ariel NOAH ini.

Namun, keterangan jaksa soal pengiriman surat tembusan penahanan tersebut dipatahkan oleh dua saksi lainnya. Mereka adalah Suli dan Indra Kurniawan, dua petugas jaga di rumah Henry.

Saksi Indra mengaku baru mendapat surat yang dikirimkan melalui kurir Kejari Surabaya pada Kamis 24 Agustus 2017. “Setelah surat saya terima, surat tersebut langsung saya serahkan ke bu Ineke (istri Henry, red). Sebelumnya saya tidak pernah menerima surat dari kejaksaan,” ujarnya.

Sedangkan saksi Suli mengatakan dirinya menerima surat pada kesokan harinya, yaitu pada Jumat 25 Agustus 2017. “Surat dikirim melalui jasa ekspedisi pos,” terang saksi Suli.

M Sidik dikonfirmasi sesaat usai sidang mengatakan, bahwa berdasarkan keterangan ahli tersebut, sidang pidana Henry sudah seharusnya ditunda terlebih dahulu. “Sudah jelas apa yang dikatakan oleh saksi ahli soal penjabaran pasal 156 ayat 1 KUHAP, bahwa sidang pidana Henry belum memasuki pokok perkara, dan hanya menjalankan prosedur. Artinya, gugatan praperadilan ini harus tetap dijalankan,” ujarnya.

M Sidik juga menjelaskan soal adanya dua gugatan perdata yang saat ini sedang berjalan di PN Surabaya. Yaitu gugatan bernomor 187/Pdt.G/2017/PN SBY dan 263/Pdt.G/2017/PN SBY. “Dengan adanya proses hukum atas dua gugatan tersebut, seharusnya majelis hakim menunggu untuk sidang pidananya. Salah satu sidang gugatan sudah memasuki agenda pembuktian,” tambah mantan jaksa ini.

Sidang dilanjutkan Rabu (13/9/2017) dengan agenda putusan oleh hakim. (kur)