Kampung Budidaya Perikanan Kian Melambung

oleh -193 Dilihat
oleh
Mansur bersama nelayan lain membersihkan jaring KJA.

GRESIK, PETISI.CO – Usai melaksanakan Sholat Dhuhur,  Mansur (40), bergegas menuju keramba jaring apung (KJA) milik kelompoknya di perairan Desa Deketagung, Kecamatan Sangkapura, Bawean Gresik, Jawa Timur. Menggunakan perahu kecil dengan motor tempel, mantan buruh nelayan tersebut bersama Sukkur dan Hairul Ijmal yang juga pernah ikut kapal ikan, siang itu harus membersihkan jaring yang digunakan untuk membudidayakan Kerapu Sunu (plektropomus leopardus). “Kalau tidak rutin dibersihkan, ikan mudah sakit dan mati,” jelasnya sambil mengangkat jaring serta melepas kerang-kerang kecil yang menempel pada jaring yang sudah dijemur.

Hampir 10 tahun Mansur membudidayakan Kerapu Sunu atau Kerapu Merah yang endemik di perairan Pulau Bawean, lokasinya berada di Laut Jawa, sekitar 120 Km dari Kota Gresik. Awalnya dengan modal Rp 5 juta, dia membuat kolam apung di laut satu lubang persegi empat. Saat ini sudah terbangun lebih 10 lubang, masing masing berukuran 4 x 3 x 3 meter dan dia mengajak tetangga dan kerabatnya untuk bergabung dalam kelompok nelayan beranggotakan sekitar 10 orang. Usahanya juga mampu memberdayakan puluhan pemancing dan penangkap bibit Kerapu Merah serta penjual ikan rucah yang dijadikan pakan ikan di keramba.

“Harganya dari pemancing beragam, tergantung besar kecil dan jenis ikannya, kalau super atau berat satu kilogram up harganya bisa seratus ribu rupiah per ekor ,” ungkap bapak dua anak tersebut.

Menurut Mansur, ketika masih menjadi buruh nelayan penghasilannya Rp 50-75 ribu sekali melaut. Setelah menekuni usaha KJA, penghasilannya jauh lebih baik. Salah satu hasil jerih payahnya berupa asset tambak seluas 3 hektar yang rencananya untuk membudidayakan udang. Kelompoknya selain mempunyai satu kapal ikan 7 GT juga berencana mengembangkan budidaya lobster yang benih beningnya (BBL) potensi di perairan Bawean. “Kita menunggu juklak dan juknis dari Kantor Perikanan cara membudidayakan lobster yang baik dan sukses,” harap Mansur.

Keberhasilan Kelompok ‘Sumber Rejeki” membudidayakan Ikan Sunu atau Ikan Tungsing di KJA serta sukses meningkatkan ekonomi anggota kelompoknya, menarik warga desa lainnya untuk melakukan hal yang sama. Sedikitnya sudah ada tiga kelompok lain mengikuti jejaknya.

“Umur tiga bulan ikan ini dijual hidup pembelinya datang sendiri, umumnya diekspor ke Hongkong dan Singapura, harganya cukup mahal sekitar Rp 350- Rp 375 ribu per kilogram isi empat ekor, kalau menjelang Imlek harganya sampai Rp 400 ribu per kilogram dan sekali panen sedikitnya tiga kwintal,” jelas Mansur di atas KJA yang berjarak 2 mil dari pinggir pantai.

Keberhasilan Mansur dan anggota kelompoknya di Bawean merupakan salah satu bukti program terobosan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang digagas Menteri Wahyu Sakti Tranggono mempunyai prospek dan relevan untuk digencarkan. Seperti diketahui, kegiatan pengembangan kampung perikanan budidaya merupakan satu dari tiga program prioritas Menteri KKP 2021-2024. Pengembangan perikanan budidaya berbasis kearifan lokal ini antara lain, untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi serta memenuhi ketersediaan pangan, menyejahterakan masyarakat serta salah satu upaya menjaga ekosistem laut dan darat.

Menurut Wahyu Sakti Tranggono kepada waratawan, Indonesia memiliki potensi lahan budidaya cukup luas, mencapai dua juta hektare di darat dan 2,6 juta hektare di laut. Dari total tersebut baru dimanfaatkan 7,4 persen. Apabila semua potensi itu bisa dikembangkan secara optimal, maka nilai pasar yang diperoleh dari perikanan budidaya dapat mencapai angka Rp 3.000 triliun per tahun.

Mengatasi Paceklik

Model kampung budidaya perikanan dapat dijadikan acuan sebagai salah satu alternatif mengentas kemiskinan di kampung-kampung nelayan. Budidaya laut (KJA) atau budidaya ikan air payau utamanya udang dianggap tepat sasaran.  Budidaya ikan di KJA dan air payau lebih mendekatkan nelayan dengan kebiasaanya sehari-hari bergumul dengan ikan. Sebagai catatan, dalam satu tahun hari efektif nelayan hanya 180 hari, bulan Nopember hingga April  masa sulit bagi nelayan.

Sebagai referensi, sekitar 10 bus setiap musim barat atau paceklik ikan, ratusan nelayan Pasongsongan, Sumenep berangkat ke sektor Bintaro, Jakarta hanya untuk bekerja musiman sebagai buruh bangunan, sebagian lagi kerja serabutan. “Hal tersebut sudah menjadi rutinitas nelayan Pasongsongan setiap tahun  selama paceklik ikan,” kata Kepala Pelabuhan Perikanan Pasongsongan, Choirul Huda.

Pengentasan kemiskinan melalui kampung budidaya layak dikembangkan dan dipacu. Hal ini bisa dijadikan terobosan untuk mengatasi kesulitan ekonomi masyarakat pesisir di saat paceklik ikan. Di Banyuwangi contohnya, ratusan nelayan Muncar dan Grajagan beralih profesi menjadi pencari belalang untuk dijual lagi kepada pengepul Rp 15 ribu per 100 belalang. Hal itu dilakukan  untuk menutupi biaya hidup sehari-hari saat musim angin barat.

Kondisi umum desa pesisir memang memprihatinkan, sebaiknya program ini mempunyai skala prioritas, desa-desa pesisir yang tingkat kemiskinannya tinggi perlu diperhatikan.

Selain Ikan Kerapu, Kakap Putih, Bandeng, Rumput Laut, Kekerangan bahkan Lobster sangat prospektif  dibudidayakan di laut. Untuk jenis ikan tawar seperti Gurame, Nila, Lele, Patin, Bawal telah banyak melahirkan pembudidaya tangguh sekaligus pengusaha sukses dan memberikan multiplier efek ke masyarakat sekitarnya, seperti pedagang, pengolah ikan dan pembuat pakan organik, bahkan pembesaran ikan.

Kerapu Sunu atau Kerapu Merah yang dibudidayakan di KJA Bawean.

Sebelumnya KKP telah membuat program budidaya Ikan Lele skala rumah tangga dengan mempopulerkan sistim biofolk dan berhasil, sehingga Ikan Lele sekarang bisa dibudidayakan oleh siapa saja dengan mudah di lahan yang sempit. Medianya dapat menggunakan kolam plastik diameter kurang dari 2 meter, bahkan banyak pula yang menggunakan ember dengan kepadatan tertentu serta biaya produksinya rendah karena diberi suplemen probiotik,

Di  kawasan budidaya atau kampung budidaya tidak hanya pelakunya yang sukses. Menurut pengamatan Dosen Prodi Ilmu Perikanan – FTIK Universitas Hang Tuah Surabaya, Titiek Indhira Agustin,  di kampung lele, Kecamatan Gurah, Kediri Jawa Timur misalnya yang produksinya  mencapai 50 ton per hari, banyak pula pelaku usaha pengolahan Ikan Lele rumahan seperti pembuat abon, dendeng dan produk Ikan Lele pengasapan.

Demikian pula di daerah lain, seperti di Dusun Ngreco, Desa Sobontoro, Kabupaten Tulungagung , kampung budidaya Ikan Patin juga berkembang.  “Hasil olahan Ikan Patin dan Lele dijadikan abon, krispi kulit patin, sumpia ebi, onde-onde abon lele, stik ikan, kerupuk gambir,” ungkap pengusaha UKM Mina Bunga Cempaka, Siti yang mengaku usahanya memperkerjakan 7 orang dan produknya tersebar sampai ke Surabaya, Malang, Pasuruan dan Semarang.

Ujung Tombak

Program ini diyakini akan memperbaiki ekonomi pembudidaya sekaligus akan mengatasi persoalan stunting, serta secara otomatis menggerakkan masyarakat untuk gemar makan ikan yang sarat gizi dan protein. Karena program ini sifatnya massal, peran Penyuluh Perikanan sebagai ujung tombak yang berhadapan langsung dengan pelaku sangat penting. Kendalanya, selain jumlah penyuluhnya terbatas, tidak seperti penyuluh pertanian pangan, setiap desa ada satu orang penyuluh.

“Di bidang perikanan umumnya hanya ada satu penyuluh di tingkat kecamatan, bahkan ada yang merangkap menangani tiga kecamatan,” ungkap Rofiq, Penyuluh Perikanan di Sidoarjo.

Seorang penyuluh dituntut all out menangani perikanan tangkap, budidaya dan pengolahan sehingga yang ditangani sporadis dan tidak fokus. Di Sidoarjo, misalnya hanya ada 19 Penyuluh Perikanan. 10 diantaranya PNS dan sisanya penyuluh bantu, sebagai tenaga honorer. Padahal Sidoarjo merupakan salah satu sentra perikanan budidaya air payau terbesar dengan komoditas utama udang windu, vanamei, bandeng, nila dan rumput laut. Luas tambak sekitar 15.513 hektar, sedang jumlah petani tambak sekitar 3.257 orang.

Rofik (bertopi) Penyuluh Perikanan memberi arahan kepada peternak Lele sekala RT di Sidoarjo.

Selain luas jangkauan sentra perikanan (tangkap, budidaya, pengolahan) di satu wilayah  otomatis kinerja petugas yang ada tidak maksimal memberikan penyuluhan.  KKP diharapkan mengatur tenaga penyuluh disesuaikan dengan kebutuhan daerah serta mendesak dilakukan penjurusan dan sertifikasi agar kerjanya terukur dan terarah sesuai dengan bidangnya, penyuluh perikanan budidaya menangani budidaya ikan demikian seterusnya.

Ramah Lingkungan

KKP diharapkan mengembangkan pula budidaya organik yang sudah banyak diminati pasar ekspor. Di Sidoarjo  tercatat 1.195 hektar lahan yang dijadikan tambak budidaya Udang Windu organik bekerjasama dengan pihak swasta, bahkan komoditas lainnya, bandeng organik dibudidayakan dengan pola silvofishery. Sistim budidaya lainnya seperti polikultur juga mempunyai prospek cerah, selain ramah lingkungan, budidaya ini low cost, tidak menggunakan pakan konsentrat. Rumput laut glacilaria sp, udang windu, bandeng bisa hidup dalam satu kolam, demikian pula jenis ikan lainnya, seperti Gurame dan Nila bisa ditumpangsarikan,

Program Kampung budidaya ini akan sukses jika KKP konsisten dengan program yang dibuat serta didukung penuh. Selain program, dibutuhkan pelatihan, demplot, sarana dan  prasarana, benih, pakan, management usaha, pasca panen, pemasaran, tenaga penyuluh/teknis, pendanaan cukup dan payung hukum yang jelas. Jika semua bidang ini bisa bersama-sama jalan secara terpadu, maka program ini diyakini akan sukses dan Indonesia akan menjadi salah satu produsen ikan terbesar dunia.

Sebaliknya, jika tidak konsisten, akan banyak masalah yang timbul. Penyebabnya  bisa karena dukungan dana sulit, pemasaran tidak terjamin, benih sulit, pakan mahal, dan sebagainya. Kiprah petugas  dinas/Unit Pelaksana Teknis dan penyuluh perikanan  di daerah harus proaktif  ke lapangan. “Program ini sebaiknya sudah mempunyai agenda  future market yang menghitung secara cermat supply and demand, sehingga harga tidak jatuh jika terjadi booming,” jelas pelaku usaha budidaya laut dan tambak organik, Hittah Alamsyah.

Program kampung budidaya merupakan kesempatan emas pula bagi daerah untuk melestarikan ikan-ikan lokal yang nyaris punah dan kritis. Hal ini sesuai dengan program KKP yang mewujudkan kampung budidaya berbasis kearifan lokal. Di Jawa Timur misalnya, terindifikasi dan ditangkar 14 dari 25 jenis ikan lokal. Diantaranya Ikan Areng-Areng, Hampala, Sengkaring, Muragantung. “Ikan lokal ini dibudidayakan di empat wilayah konservasi ikan lokal yang berada di Kediri, Malang, Pasuruan, Blitar,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur, Dyah Wahyu Ermawati menjelaskan melalui Kepala Bidang Budidaya, Hari Pranoto.(oki lukito)

No More Posts Available.

No more pages to load.