Kebijakan Kurang Populis yang Merugikan Petani

oleh -205 Dilihat
oleh

Oleh :  Hafid Hamsah*

Naiknya Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) sekitar 4,41 persen di sektor pertanian pada tahun 2017-2018, ternyata tidak diikuti pemerintah dengan menciptakan swasembada pangan nasional. Hal itu, dilihat dari keputusan pemerintah mengeluarkan Surat Persetujuan Import (SPI) terkait impor hasil pertanian.

Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI), menyayangkan pemerintah yang saat ini semakin lama, semakin membingungkan kebijakanya.

Kami mengindikasikan, bahwa ada permainan antara oknum pengambil kebijakan dengan perusahaan asing. Akibatnya permaianan itu, akhirnya berdampak pada pelaku sektor pertanian, termasuk terkait masalah kesehjateraan petani.

Padahal, jika dilihat dari penelitian, bahwa yang mampu menurunkan tingkat kemiskinan adalah dari sektor pertanian. Pasalnya, teretorial sektor pertanian di negeri ini sangat besar.

Sedangkan terkait masalah kontribusi sektor pertanian dalam penurunan jumlah kemiskinan, bisa mencapai 66 persen, dalam rincianya, 74 persen di perdesaan dan 55 persen di perkotaan.

Logikanya, ketika pemerintah tidak mampu menciptakan swasembada pangan, bisa diasumsikan bahwa pemerintah melalui Kementrian Pertanian tidak mampu memberikan kontribusi untuk menurunkan angka kemiskinan.

Tak hanya itu, permasalahan mengenai pertanian juga tidak bisa lepas dari adanya impor bahan pangan dari negara lain. Semua itu terbukti ketika Menteri Perdagangan mengeluarkan Surat Persetujuan Impor (SPI) dan menugaskan pada Perum Bulog.

Dan saat ini sudah datang beras import dari Vietnam, padahal Dirut Bulog mengatakan, bahwa gudang masih penuh, yang artinya kebutuhan beras masih mencukupi.

Tapi, kenapa pemerintah sampai mengeluarkan kebijakan untuk impor beras di masa panen raya? Sebuah pertanyaan besar, terkait Keputusan Menteri Perdagangan mengeluarkan Surat Persetujuan Impor (SPI).

Hal yang paling mendasar, dan patut kita cermati adalah, apakah kebutuhan pangan di negara ini tidak bisa tercukupi dari para petani dalam negeri? Atau justru impor tersebut, sebagai salah satu cara permainan dalam mengahadapi tahun politik mendatang?

Terkait masalah itu, tentunya kita sebagai kaum intelektual patut untuk mempertanyakan hal tersebut. Jangan sampai apa yang dilakukan pemerintah tentang keputusan import tersebut, justru membuat para patani sengsara.

Permasalahan impor terkait hasil pertanian itu, memang tidak baru-baru ini saja membuat polemik. Beberapa tahun sebelumnya juga ada keputusan hal yang sama.

Kami berharap, dengan adanya keputusan itu, tidak menjadikan pemerintah berpikir secara instan. Jangan sampai, adanya keputusan impor tesebut, justru malah tidak memikirkan tentang bagaimana meningkatkan hasil pertanian para petani.

Rasanya kita juga tidak asing dengan keluhan para petani terkait masalah pupuk dan sebagainya. Hal seperti itu, juga seharusnya tidak boleh dibiarkan oleh pemerintah.

Permasalahan apa yang saat ini terjadi, memang tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pemerintah. Namun, yang perlu menjadi perhatian adalah, bagaimana pemerintah saat ini bisa mengetahui dengan betul apa yang terjadi pada kondisi petani dan perekonomian tahun ini.

Bagaimana kita berbicara atas penguatan nilai jual rupiah, sedangkan perlindungan kesejahteraan masyarakat, khususnnya petani, saat ini masih dipandang sebelah mata.

Alih-alih memberikan solusi, impor justru malah mendatangkan keterpurukan bagi petani. Koordinasi dari pusat juga menjadikan perhatian khusus. Ibarat dari hulu ke hilir, pemerintah harus paham betul tentang apa yang terjadi di tingkat bawah.

Bukan hanya paham, tetapi pemerintah juga harus bisa menjadi problem solving.

Menjelang kongres ISMEI yang akan kita laksanakan di Jakarta, kita akan melakukan konsolidasi dengan anggota kita di senat/BEM Ekonomi se-nusantara untuk melakukan evaluasi atas kebijakan pemerintah yang kurang populis di sektor ekonomi.(#)

 *)penulis adalah Kabiro Kajian Strategis PP ISMEI

 

No More Posts Available.

No more pages to load.