Kedudukan Anjing dalam Islam dan Hukum Memelihara Anjing bagi Seorang Muslim

oleh -201 Dilihat
oleh

Satu hal yang pasti: anjing adalah makhluk yang paling sering dikaitkan dengan dua hal besar dalam hidup kita, yaitu kasih sayang dan kebersihan. Sayangnya, sering kali, dalam diskusi agama, anjing lebih banyak dibicarakan sebagai simbol najis, bukan sebagai makhluk hidup yang memiliki hak dan peran dalam hidup kita. Apalagi dalam Islam, yang memiliki pandangan khusus mengenai hubungan kita dengan makhluk Allah yang satu ini.

Tetapi apakah sesederhana itu? Hukum memelihara anjing dalam Islam memang penuh dengan pertanyaan dan perdebatan, terutama mengenai kebersihan dan status najis air liur anjing. Di sisi lain, kita juga tidak bisa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan kasih sayang yang tersirat dalam berbagai kisah yang menyentuh hati tentang anjing dalam sejarah Islam.

Artikel ini berusaha membahas lebih dalam tentang bagaimana Islam memandang anjing. Kita akan mengupas dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis, serta melihat perbedaan pandangan dari berbagai madzhab. Mari kita telaah bersama, dengan lebih jernih dan penuh rasa ingin tahu.

Anjing dalam Sejarah Islam

Jika kita membuka Al-Qur’an, kita akan menemukan cerita yang jarang kita dengar sehari-hari tentang anjing. Salah satunya adalah kisah Ashabul Kahfi, para pemuda yang bersembunyi di dalam gua selama berabad-abad, dan di samping mereka, seekor anjing yang menjaga pintu gua. Anjing ini, yang dengan setia menjaga mereka, bahkan disebutkan dalam Surah Al-Kahfi (18:18).

Mungkin banyak yang terkejut. Anjing dalam Al-Qur’an tidak hanya dilihat sebagai makhluk yang najis, tetapi juga sebagai sahabat setia yang punya peran dalam menjaga mereka yang sedang berjuang di jalan Allah. Di sinilah kita mulai melihat bahwa anjing bukan hanya soal najis atau kotor, tetapi tentang kasih sayang dan loyalitas.

Kisah lain yang tak kalah menarik datang dari hadis tentang seorang wanita pelacur yang memberi minum seekor anjing yang kehausan. Di dalam Sahih Muslim, dikisahkan bahwa wanita itu, meskipun seorang pelacur, mendapatkan ampunan Allah hanya karena kebaikannya kepada makhluk yang lemah ini. Dari sini kita belajar, Islam mengajarkan kita untuk memperlakukan semua makhluk dengan penuh kasih, tanpa membedakan status atau bentuknya.

Hukum Memelihara Anjing dalam Pandangan Empat Madzhab

Hukum memelihara anjing dalam Islam bervariasi tergantung pada niat dan tujuan kita. Para ulama dari empat madzhab besar, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, memiliki pandangan yang berbeda mengenai masalah ini, meskipun mereka sepakat bahwa kebersihan adalah hal yang penting.

Madzhab Hanafi: Bagi Hanafi, memelihara anjing hanya untuk tujuan pribadi seperti penjaga rumah atau peliharaan biasa dianggap makruh, meskipun tidak haram. Jika anjing itu digunakan untuk tujuan sah, seperti berburu atau menjaga ternak, maka hal itu diperbolehkan. Namun, tetap saja, air liur anjing dianggap najis yang harus dibersihkan dengan cara yang tepat.

Madzhab Maliki: Madzhab ini sedikit lebih ketat. Mereka menilai memelihara anjing untuk tujuan selain kepentingan tertentu (seperti berburu atau menjaga ternak) adalah makruh. Mereka juga menekankan bahwa anjing membawa najis yang harus dibersihkan dengan hati-hati.

Madzhab Syafi’i: Pandangan madzhab Syafi’i mirip dengan Madzhab Hanafi, namun mereka menekankan pentingnya menjaga kebersihan dengan lebih rinci. Air liur anjing, menurut mereka, adalah najis yang harus dibersihkan dengan cara yang benar. Anjing hanya diperbolehkan dipelihara jika ada tujuan yang jelas dan sah, seperti berburu atau menjaga rumah.

Madzhab Hanbali: Dalam pandangan Hanbali, meskipun anjing dianggap membawa najis, memelihara anjing untuk tujuan tertentu seperti berburu atau menjaga rumah diperbolehkan. Mereka lebih longgar dalam hal ini, selama kita menjaga kebersihan dan etika yang sesuai dengan ajaran Islam.

Melihat perbedaan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa hukum memelihara anjing dalam Islam tidak sepenuhnya hitam-putih. Ada ruang untuk niat dan tujuan, serta bagaimana kita memeliharanya dengan tetap menjaga kebersihan dan menghormati makhluk Allah lainnya.

Dalil-Dalil Al-Qur’an dan Hadis

Al-Qur’an memberikan petunjuk jelas tentang bagaimana kita seharusnya melihat makhluk hidup, termasuk anjing. Dalam Surah Al-Kahfi, anjing tidak hanya menjadi pelindung, tetapi juga bagian dari kisah besar yang mengajarkan kita tentang kesetiaan dan pengabdian. “Dan engkau mengira mereka itu terjaga, padahal mereka tidur, dan Kami balik-balikan mereka ke kanan dan ke kiri. Dan anjing mereka menggulungkan kedua lengannya di pintu gua…” (Al-Qur’an, Surah Al-Kahfi:18).

Hadis juga berbicara banyak tentang anjing. Salah satu hadis yang sangat terkenal adalah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang menyebutkan bahwa jika anjing menjilat bejana seseorang, maka bejana itu harus dicuci tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Ini bukan sekadar tentang kebersihan fisik, tetapi juga pengingat bagi kita tentang pentingnya menjaga kesucian diri dalam beribadah dan menjalani hidup.

Anjing: Lebih Dari Sekadar Najis

Banyak orang mungkin masih terjebak pada pandangan sederhana bahwa anjing adalah najis dan tidak lebih dari itu. Padahal, dalam sejarah Islam, anjing tidak hanya berperan sebagai simbol najis, tetapi juga sebagai makhluk yang membawa hikmah dan pengajaran. Kesetiaan anjing kepada Ashabul Kahfi dan kasih sayang kepada anjing yang haus dari seorang wanita pelacur adalah dua contoh sederhana yang menunjukkan bahwa anjing lebih dari sekadar hewan.

Apa yang sebenarnya diajarkan oleh kisah-kisah ini? Anjing mengingatkan kita pada pentingnya kasih sayang kepada makhluk hidup, apapun bentuknya. Anjing menunjukkan kesetiaan dan pengabdian yang tidak memerlukan imbalan. Dan, bukankah Islam mengajarkan kepada kita untuk selalu berbuat baik kepada sesama makhluk Allah, dengan ikhlas dan tanpa pamrih?. (*)

*penulis adalah: Ulul Albab, Ketua ICMI Jawa Timur