Dua Algojo Kerajaan Mataram
MALANG, PETISI.CO – Sejarah Mataram berdasarkan banyak literatur, adalah penggabungan kekejaman, penaklukkan, mitos kejayaan Jawa, sekaligus legenda kehebatan rezim yang berakar pada masa Majapahit. Diceritakan oleh KRA Arya Nata Kusuma Cakrahadiningrat (Gus Arya), budayawan, spiritualis, Guru Besar Padepokan Pencak Silat Satria Mataram, Kerabat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Keagungan Mataram di tangan Sultan Agung yang dahsyat ternyata dicapai lewat upaya-upaya penaklukan di berbagai daerah, penuh gelimang darah. Perang dilakukan di Madura, Madiun, sekitar Kendeng, Arusbaya, hingga Blambangan demi memusatkan kekuasaan di Kerta, pusat Keraton Mataram saat itu.
Politik ekspansif Sultan Agung di timur, tengah, dan barat Pulau Jawa ini membuahkan hasil ketika ia mampu memobilisasi pasukannya untuk menantang Belanda. Batavia dikepung, diserbu, meski akhirnya upaya perlawanan itu gagal.
Kegagalan di Batavia itupun melahirkan serangkaian pemberontakan, terutama dari wilayah Sumedang Larang dan Ukur di Tatar Sunda. Begitu juga muncul pembangkangan di Madura dan beberapa daerah lain. Namun Sultan Agung berhasil meredamnya dengan tangan besi.
Ribuan bangsawan dan pejabat Sumedang serta Kadipaten Ukur yang ditangkap dan dibawa ke Mataram, dieksekusi massal dengan cara dipancung di lapangan terbuka.
Kuatnya pengaruh kolonial Belanda membuat sistem hukum berdasar Syariat Islam perlahan memudar. Tugas sang algojo pun selesai, dan sejak itu kisah seram Mertolulut dan Singonegoro berangsur hilang dari sejarah baru Mataram.
Dalam buku HJ de Graaf tak disebut secara spesifik apakah eksekutornya ini sudah dikenal sebagai Mertolulut dan Singonegoro, atau julukan lain. Kisah Mertolulut dan sepotong foto lawas misterinya masih menyisakan banyak tanya, terutama foto-foto pelaksanaan hukuman kejam pada masa lampau di Mataram belum pernah diekpose. Tugas kedua abdi dalem ini diakhiri pada tahun 1926 di era Sri Sultan HB VIII.
Lokasi tugas Mertolulut dan Singonegoro itu masih bisa disaksikan hingga hari ini. Ada dua rumah kecil dilengkapi dua patung manusia mengenakan pakaian adat Jawa untuk golongan abdi dalem.
Kedua patung hampir seukuran manusia sungguhan itu mencitrakan sosok Mertolulut dan Singonegoro. Satu berkumis agak bapang ini Mertolulut, satunya klimis itulah citra Singonegoro.
Kedua abdi dalem khusus itu diberi tempat bertugas di Bangsal atau Bale Pacikeran. Letaknya persis di sisi kiri maupun kanan, depan pintu dan tangga menuju Sitihinggil dari arah Pagelaran. Posisinya yang berada di antara Pagelaran dan Sitihinggil ini menunjukkan posisi dan perannya yang istimewa.
“Kalau pengadilannya ya di Bangsal Ponconiti di Kemandungan Lor,” imbuh oleh KRA Arya Nata Kusuma Cakrahadiningrat (Gus Arya). Dinamai Ponconiti karena maknanya ponco itu lima, niti itu hal atau masalah.
Jadi umumnya ada lima hal atau perkara yang biasanya diselesaikan proses hukumnya di bangsal ini. Lima hal itu menyangkut pelanggaran mabuk, madat, madon, mencuri, dan membunuh. Sesudah hukuman dijatuhkan pengadilan, Mertolulut dan Singonegoro dipanggil untuk mengeksekusi hukumannya atas perintah raja.
“Prosedurnya para algojo ini ya ditutup wajahnya, kemudian eksekusi disaksikan banyak orang,” ujar Gus Arya menggambarkan proses eksekusi pada masa silam.
Kadang terhukum dipamerkan beberapa lama di ruang terbuka agar selain publik mengetahui, juga supaya efek takut dan patuh terbangun sesudahnya. Para algojo yang dijuluki Mertolulut dan Singonegoro itu dulu ditempatkan di wilayah khusus bersama keluarganya di luar tembok keraton.
Karena sejak Sri Sultan HB l berkuasa di keraton yang sekarang ini, hukuman menggunakan prinsip-prinsip syariat Islam, maka jenis hukumannya pun terbilang ekstrem, jika tak bisa disebut bengis.
“Hukumannya macam-macam. Pencuri ya potong tangan, pembunuh dan kelas berat lain dipancung. Itu tugasnya Mertolulut dan Singonegoro,” tambah Gus Arya.
Mertolulut memang tidak sendirian bertugas. Ia ditemani abdi dalem Singonegoro, dengan pembagian tugas masing-masing secara bergantian. Jika hukuman agak ringan seperti potong tangan dilakukan Singonegoro, eksekusi kelas berat seperti pancung dan gantung jadi tugas pokok Mertolulut.
Lokasi tugas Mertolulut dan Singonegoro itu masih bisa disaksikan hingga hari ini. Ada dua rumah kecil dilengkapi dua patung manusia mengenakan pakaian adat Jawa untuk golongan abdi dalem.
Kedua patung hampir seukuran manusia sungguhan itu mencitrakan sosok Mertolulut dan Singonegoro. Satu berkumis agak bapang ini Mertolulut, satunya klimis itulah citra Singonegoro.
Sedangkan lokasi eksekusi, dulu dilakukan di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Biasanya di antara dua pohon beringin yang ada di tengah lapangan luas itu.
Siapakah Mertolulut? Mertolulut adalah semacam gelar atau julukan untuk abdi dalem raja yang tugasnya mengeksekusi hukuman yang dijatuhkan pengadilan kerajaan.
Mertolulut sendiri berasal dari kata merto dan lulut. Secara harafiah, Mertolulut artinya sabar menunggu kematian. Sedangkan tempat tugasnya dinamai Pacikeran, berasal dari kata ciker atau potongan jari, sesuai keahlian mereka memotong jari maling, kecu, begal, bandit yang tertangkap.
Dalam foto itu tampak sejumlah orang duduk mengelilingi meja. Ada dua orang, entah abdi dalem atau rakyat jelata, bersimpuh di lantai. Mereka yang duduk di kursi mengenakan kuluk, mengelilingi meja dikerumuni banyak orang.
Gus Arya menunjukan sebuah foto hasil dari sejarah dan dari foto itu bisa di lihat sosok Mertolulut, Dari jenis dan cara berpakaiannya, tampak mereka itu dari golongan tinggi atau pejabat. Ada sepintas sosok warga asing di foto itu, dan sosok yang mengenakan atribut keagamaan.
Nah, di antara mereka yang duduk di kursi mengelilingi meja itu, satu sosok berkumis tampak garang memandang ke arah kamera ,Saya yakin setelah melihat dan mendalami gestur sosok abdi dalem khusus raja Mataram itu lewat foto ini. Saya juga meyakininya berdasar indra keenam nya Gus Arya, adegan itu diduga berlokasi di area pagelaran Keraton Yogyakarta saat masih menggunakan atap atau tratag anyaman daun. Namun tiangnya sudah besi tempa/cor, yang masih bisa disaksikan keberadaannya di pagelaran hingga saat ini., para algojo yang dijuluki Mertolulut dan Singonegoro itu dulu ditempatkan di wilayah khusus bersama keluarganya di luar tembok keraton,
Sedangkan anak keturunan Singonegoro dan lokasi tempat tinggalnya belum diketahui pasti hingga kini. Tugas kedua abdi dalem ini diakhiri pada tahun 1926 di era Sri Sultan HB VIII. zaman kerajaan mataram di mana pencuri dan lain-lain hukamannya ya potong tangan dan jari atau gantung, hampir sama dengan di Arab Saudi. Bahkan dalam sejarah pun juga banyak di jelaskan zaman kerajaan tanah Jawa, hukuman dan cara pengadilan juga hampir sama dengan negara -negara Arab karena mengunakan syariat Islam…di jelaskan Gus Arya. (*)