Kreativitas, Profesional, Martabat, di Jagat Jurnalistik

oleh -56 Dilihat
oleh
Oleh:  Yunanto*

“Membangun Kreativitas Jurnalis Menuju Jurnalisme Profesional dan Bermartabat”.  Itulah tajuk sarasehan yang digelar oleh keluarga besar media siber detikbhayangkara.com, Sabtu, 30 November 2019. Sarasehan itu digelar dalam rangkaian peringatan HUT ke-1 media online ini.

Lumayan banyak jurnalis berusia muda yang menghadiri sarasehan jurnalistik di kantor redaksi media siber tersebut, di Ruko Haris Land, Jl. Raya Arjowinangun, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Saya “ketiban sampur” (didaulat) menjadi narasumber.

Sebagai mantan jurnalis, saya merasa senang ada banyak generasi penerus. Lebih dari tiga dasawarsa saya berkiprah di jagat publisistik praktika (baca: jurnalistik). Rasa senang saya menjadi hal yang wajar saja.

Konten  “Berat”

Makna sarasehan adalah,  “pertemuan sekelompok orang yang digelar dalam rangka mendengarkan uraian pendapat dari ahli di bidang tertentu” (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Maka, sarasehan jurnalistik bermuatan  “uraian pendapat dari ahli di bidang jurnalistik”.

Bertolak dari tajuk sarasehan tersebut, nampak jelas ada tiga konten sarasehan yang mantap sekaligus “berat”. Konotasinya dalam ihwal implementasi; menghadirkan menjadi kenyataan. Tiga konten dimaksud, (1) kreativitas, (2) profesional, (3) martabat.

Kreativitas adalah daya cipta. Kemampuan menghadirkan yang sebelumnya tidak ada, menjadi ada. Kreativitas harus “berpasangan” dengan inovatif, yaitu daya pembangkit ide untuk berkreasi.

Sekadar ilustrasi ihwal kreativitas dan inovatif di jagat jurnalistik, berikut ini. Ada peristiwa (what), melibatkan manusia (who), di suatu tempat (where), pada suatu waktu (when). Jurnalis dengan kreativitasnya menciptakan naskah berita berbahan empat elemen warta tersebut.

Inovatifnya, memunculkan ide untuk menggali elemen  why (mengapa) dan how (bagaimana) atas elemen what dan who. Maka terciptalah naskah berita yang bobot nilai beritanya (news value) tinggi. Bermuatan elemen bahan berita lengkap (5W + H). Bentuknya  reportase mendalam (indepth reporting). Bukan sekadar berita langsung atau berita lurus (straight news).

Profesional adalah daya keahlian khusus dalam menjalankan profesi yang ditekuni. Maka, jurnalis profesional adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus di bidang jurnalistik, sehingga karya jurnalistiknya bermutu tinggi. Berfaedah bagi khalayak komunikannya.

Martabat artinya tingkat harga diri atau tingkat harkat kemanusiaan. Maka, bermartabat maknanya seseorang yang memiliki tingkat harga diri baik; harkat kemanusiaannya tinggi.

Butuh “Modal”

Jurnalis adalah pekerja intelektual sekaligus  penjaga gawang aspirasi publik. Itulah sebabnya jurnalis dituntut memiliki kreativitas, profesional, dan bermartabat.

Untuk bisa eksis di jagat publisistik praktika sebagai jurnalis ideal tersebut (kreatif, profesional, bermartabat), dibutuhkan “modal”. Sekurang-kurangnya ada lima “modal” yang harus dimiliki.

“Modal” pertama, pengetahuan. Harus luas. Mencakup berbagai macam disiplin ilmu, kendati tidak mendalam. Wajib “melek” (paham) hukum. Terutama hukum publik (pidana), selain hukum privat (perdata). Mafhum “pondasi” hukum publik, yakni UU RI No. 8/ Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana/KUHAP, serta berbagai produk hukum positif (undang-undang). Menghayati  Kode Etik Jurnalistik pun termasuk dalam pengertian berpengetahuanluas.

“Modal” kedua, persepsi. Luasnya pengetahuan melahirkan daya persepsi, yaitu kemampuan membahas dan menganalisis serangkaian keadaan, kemudian menarik kesimpulan.

“Modal” ketiga, observasi. Daya mampu observasi mutlak harus dimiliki jurnalis.

Konkretnya, kemampuan mengamati dan mendeteksi hal-hal yang tidak lazim, serta hal-hal yang menarik hati atau menarik perhatian. Observasi terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik.

“Modal” keempat, mampu menarasikan opini. Hakikatnya, karya tulis jurnalis harus tepat sasaran. Berdaya menarik minat baca khalayak komunikan yang dituju. Maka, jurnalis dituntut menguasai Bahasa Indonesia Jurnalistik secara baik. Kata-kata adalah “alat” berkarya jurnalistik. Maka jurnalis wajib memiliki kekayaan perbendaharaan kata.

“Modal” kelima, memanusiakan manusia. Sosok jurnalis wajib memiliki dan menaruh perhatian terhadap manusia dalam arti kata seluas-luasnya. Tanpa memiliki perhatian tersebut, seorang jurnalis akan cepat kekeringan ide. Daya berkreasi pun tumpul. Ia berpotensi kehilangan komitmen pada kemanusiaan, dan berpotensi akan jauh dari martabat.

Butuh Ilmu

Butuh “modal” untuk bisa hadir dan eksis sebagai jurnalis berkreativitas tinggi, hingga memiliki daya mampu profesional, dan bermartabat. Sekurang-kurangnya ada lima “modal”-nya.

“Etape” berikutnya,  dibutuhkan ilmu sebagai “jembatan” menuju realitas jurnalis ideal. Ilmu dimaksud adalah disiplin Ilmu Publisistik.

Sebagai disiplin ilmu, Publisistik dibagi dalam dua “kelompok” besar. Ilmu Publisistik Teoritika dan Ilmu Publisistik Praktika. Jurnalistik sebagai disiplin ilmu, masuk dalam “kelompok” Ilmu Publisistik Praktika.

Di ranah Ilmu Publisistik Praktika, ada beberapa cabang ilmu praktika (terapan) lainnya. Sebut saja, antara lain, (1) Jurnalistik, (2) Periklanan, (3) Hubungan Masyarakat, dan (4) Hubungan Internasional. Jadi, jurnalistik adalah salah satu cabang dari disiplin ilmu terapan Publisistik Praktika. Demikian pula periklanan.

Tajuk sarasehan tersebut di atas perlu tindak lanjut menuju realitas. Sehubungan dengan hal itu disiplin Ilmu Jurnalistik dan Ilmu Periklanan sangat patut dikaji secara lebih serius dan mendalam.

Jujur saja, disiplin Ilmu Jurnalistik gayut (relevan) dengan obsesi memiliki kreativitas dan profesional. Di sisi lain, disiplin Ilmu Periklanan gayut dengan obsesi  bermartabat. Pasalnya, periklanan adalah bagian dari kerja media massa yang membuahkan penghasilan atau pemasukan berupa uang.

“Bagaimana bisa bermartabat bila perut lapar berat?!” Ini pertanyaan realistis.

Hanya satu jawabannya: berkreativitas secara profesional (dengan Ilmu Jurnalistik). Gol targetnya menghasilkan uang secara legal (tidak melanggar hukum) dengan cara memproduksi iklan pariwara atau advertising editorial (dengan Ilmu Periklanan).

Saya harus tahu diri berbicara di forum sarasehan. Bukan forum pendidikan dan pelatihan (diklat) jurnalistik. Artinya, tidak pada tempatnya saya mendetilkan (menguraikan kajian mendalam) praktika disiplin Ilmu Jurnalistik dan Ilmu Periklanan. Mungkin pada kesempatan kali lain, di forum diklat. Itu lebih tepat. ()

*) Penulis  adalah  wartawan Harian Sore “Surabaya Post” 1982-2002;  alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta.