Lerok sebagai Embrio dari Ludruk  

oleh -7259 Dilihat
oleh
Mutiara, Zahira, dan Cut Aura sedang berlatih peran.

SURABAYA, PETISI.CODi tengah era yang serba modern ini ternyata masih ada orang yang menjaga kelestarian budaya lokal agar tidak punah dan bisa diwariskan ke anak cucu generasi selanjutnya.

Salah satunya adalah Kuswanto atau yang dikenal dengan nama Cak Lupus (55) seorang penggiat kesenian Ludruk di kota Surabaya yang ditemui pada malam hari di sela-sela kegiatan melatihnya (19/11/2019).

Ludruk berasal dari Lerok atau Besut (membawa maksud) asal Jombang di tahun 1903-1933, perkembangan Besut sendiri sangat pesat lalu di tahun 1933-1945. Besut mulai berkembang menjadi ludruk sehingga bisa dikatakan bahwa Lerok atau Besut adalah embrio awal dari terbentuknya kesenian yang sekarang ini condong dikenal dengan nama ludruk.

“Embrionya ludruk itu dari Lerok atau Besut itu dari Jombang, jadi mulai tahun 1903 itu ada yang namanya Lerok atau Besut sampai tahun 1933. 1933 itu berjalan dan berkembang akhirnya orang itu mengenal yang namanya besut dan 1933-1945 itu sudah berubah yang namanya Besut tadi condong ke ludruk, kalau ngomong perjalanan,” ucapnya.

Cak Lupus.

Kesenian ini dulunya dulunya dibawak oleh Cak Gondo Durasim ke kota Surabaya di masa penjajahan Belanda-Jepang. Kidungan yang sangat lendaris Cak Durasim sendiri adalah “Bekupon omahe doro, melu Nipon urip malah soro”.

Tujuan dari kesenian ini adalah untuk menyampaikan kritikan yang berasal dari rakyat ditujukan kepada penjajah dimana saat itu sedang menguasai Indonesia khususnya Surabaya.

“Jadi ludruk itu adalah kesenian rakyat untuk rakyat dan ini memang berangkat kepentingannya beda dengan kesenian lain. Makanya ada Lerok, ada Besut dan Besut sendiri itu artinya mebawak maksud artinya kalau Bahasa Jawa gowo maksud. Tujuannya memang itu membawak kritik-kritik yang sifatnya itu berpihak kepada rakyat jadi mengkritisi kebijakan pemerintah itu, jadi memang tugasnya awalnya itu. Bukan sebuah hiburan tapi sebagai tempat menyampaikan aspirasi,” ujarnya.

Di era 70-80an daya tarik dari ludruk sangat luar biasa dimana saat itu ludruk mengalami kejayaan banyak gedung pertunjukan setelah era itu ludruk mengalami kekurangan atau kesempatan tampil karena gedung-gedung pertunjukan sendiri sudah mulai menghilang. Sehingga banyak dari seniman-seniman ludruk hanya tampil ketika ada hajatan yang menggunakan jasa dari para penggiat lundruk untuk melakukan sebuah pertujukan.

Cut Aura dan Ndaru sedang melakukan latihan.

“Kenyataannya gedung sudah ahli fungsi, jadi teman-teman itu jadi media promo barang atau juga jadi media corongnya pemerintah sampai akhirnya ludruk sendiri bukan mengalami kemunduran, megalami kekurangan untuk tampil karena gedung sendiri sudah tidak ada dan teman-teman sendiri itu memilih melayani orang punya hajat, itu pun sampai berjalan sekarang,” ucapnya.

Menurutnya tidak ada istilah ludruk itu mati karena sekarang justru ludruk banyak didominasi oleh anak-anak muda bahkan mulai dari penonton hingga pelakunya sendiri adalah generasi milenial.

“Sebetulnya ndak ada istilah ludruk itu mati, ndak ada istilah ludruk itu gak laku itu ndak ada. Sampai sekarang ludruk masih ada dan banyak didominasi anak-anak muda sekarang, kalau dulu banyak orang-orang tua atau senior-senior sekarang sudah pelakunya banyak anak-anak milenial, penontonnya juga banyak anak-anak milenial, jadi sudah berubah mas,” tambahnya.

Hal yang sama juga disampaikan oleh salah satu muridnya di Diklat Ludruk Arboyo yang bernama Zahira (17) yang masih duduk di bangku kelas tiga SMA, dia beralasan tertarik dengan kesenian ini karena memiliki tujuan untuk melestarikan budaya dan banyak nilai positive yang dia pelajari sehingga dirinya juga berharap teman-teman seumurannya juga mau ikut melestarikan kesenian ini.

“Karena salah satu budaya yang ada di daerah kita terus juga di situ enggak ada yang mau melestarikan jadi saya tertarik ke situ, saya suka. Di situ (ludruk) juga ada lelucon-lelucon jadi enggak hanya ke cerita tetapi ada nari-narinya juga ada geni-geninya. Nilai Positifenya kita bisa mengembangkan ludruk di beberapa daerah, bisa belajar narinya, dan karawaitnya juga, seperti itu. Ya pinginnya sih ikut kaya aku gini soalnya sudah enggak ada lagi yang mau melestarikan, kalau bukan kita ya siapa lagi,” ucapnya.

Dirinya (Cak Lupus) juga menyatakan ada tiga faktor yang mampu membuat ludruk bisa bertahan di tengah gempuran moderenisasi yaitu ketika pemerintah, pihak swasta, dan para akademisi bisa bersinergi bersama para seniman ludruk untuk melakukan upaya melestarikan kesenian ludruk selain tanpa adanya sinergi antar pihak maka para penggiat seni ludruk pun juga akan mengalami kesusahan dalam usaha menjaga dan melestarikan seni budaya ini.

“Menurut saya hanya tiga faktor dan ini memang ketiga faktor ini kalau menurut saya, kita butuhkan kalau untuk saat-saat ini pertama pemeritah, kedua pihak swasta, ketiga andilnya teman-teman akademisi karena pelaku seniman sendiri kalau tidak diback up ketika factor ini akan kesusahan. Pertama pemerintah meskipun tidak full murni tapi minimal pemerintah selalu back up dengan kesenian ludruk sendiri, terus dari pihak-pihak swasta back up kegiatan apa pun yang dilakukan oleh teman-teman seniman, dan terutama ini berbicara SDM, teman-teman akademisi juga harus terlibat, jadi semua element harus terlibat karena ludruk tidak bisa berbicara sendiri,” tandasnya.

Ketika disinggung tentang permasalahan terbesar yang dialami oleh dunia kesenian ludruk. “Sebetulnya pertama memang keberadaan gedung fasilitas itu yang paling pertama, yang kedua meregenerasi karena anak sekarang belum tentu mau mangkanya saya mengatakan pandai-pandai kita menjemput bola itu yang paling penting jadi ada dua yang ini menjadi langkah berat kita atau pr kita yang harus kita tembus, bagaimana kedua-duanya pertama ya itu tadi yang kedua itu meregenarasi,” ucap pendiri Diklat Ludruk Arboyo pada tahun 2012 lalu. (ananto)         



No More Posts Available.

No more pages to load.