PERKAWINAN sebagai institusi sosial dan hukum memegang peranan sentral dalam membentuk tatanan masyarakat yang stabil dan berkelanjutan. Di Indonesia, nilai-nilai perkawinan sangat dipengaruhi oleh norma agama dan budaya yang menekankan komitmen, kesetiaan, serta tanggung jawab suami istri dalam membangun rumah tangga yang harmonis. Namun, era digital yang ditandai dengan pesatnya perkembangan media sosial telah menghadirkan tantangan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Media social platform seperti Instagram, Facebook, TikTok, dan WhatsApp menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat, termasuk pasangan suami istri. Kendati membawa kemudahan komunikasi, media sosial juga membuka peluang konflik yang kerap kali mengancam keharmonisan rumah tangga. Perilaku seperti perselingkuhan digital, penyebaran fitnah, atau ketergantungan media sosial dapat meruntuhkan fondasi keluarga yang selama ini dijaga dengan seksama.
Tulisan ini bertujuan menguraikan secara mendalam bagaimana media sosial berkontribusi terhadap dinamika negatif dalam perkawinan, serta menyoroti keterbatasan regulasi hukum Indonesia dalam mengantisipasi dampak tersebut. Selain itu, artikel ini mengajukan solusi strategis berupa reformasi hukum dan edukasi literasi digital yang terintegrasi dengan nilai-nilai agama dan budaya.
Media Sosial dan Ancaman Serius terhadap Keharmonisan Rumah Tangga
Hadirnya media sosial secara dramatis mengubah pola komunikasi dalam keluarga. Data dari We Are Social (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 70% penduduk Indonesia merupakan pengguna aktif media sosial. Fakta ini menunjukkan bahwa media sosial bukan lagi sekadar sarana komunikasi, melainkan ruang sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pribadi dan sosial.
Namun, penelitian Putri dan Santoso (2023) mengungkap fakta mengkhawatirkan bahwa hampir setengah dari kasus perceraian yang terjadi di Indonesia memiliki akar masalah yang berhubungan dengan interaksi digital. Fenomena “ghosting” (menghilang tanpa penjelasan), komunikasi rahasia dengan pihak ketiga, hingga tekanan sosial untuk menampilkan citra rumah tangga sempurna di media sosial menyebabkan munculnya kecemburuan, ketidakpercayaan, dan konflik berkepanjangan.
Lebih jauh, Dr. Siti Nurjanah (2024) menyatakan bahwa ketergantungan yang berlebihan pada media sosial menyebabkan berkurangnya komunikasi tatap muka antara suami istri, yang seharusnya menjadi sarana utama membangun kedekatan emosional. Keterasingan emosional ini memicu stress psikologis dan meningkatkan risiko disfungsi rumah tangga, yang berpotensi berujung pada perceraian.
Dalam perspektif Islam, menjaga kehormatan dan keharmonisan keluarga adalah amanah penting. Al-Qur’an menegaskan dalam Surah An-Nur ayat 30-31 agar setiap individu menjaga pandangan dan kesucian diri, sebagai upaya menghindari fitnah yang dapat merusak keharmonisan rumah tangga:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya…” (QS. An-Nur [24]: 30)
Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan umatnya agar mewaspadai fitnah yang tersembunyi di hati, karena bisa menghancurkan hubungan dan keluarga (HR. Ahmad). Hal ini sangat relevan sebagai peringatan terhadap potensi destruktif media sosial dalam kehidupan berkeluarga.
Ketimpangan Regulasi Hukum Perkawinan Menghadapi Era Digital
Regulasi hukum perkawinan di Indonesia masih bertumpu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang sejak awal disusun dalam konteks masyarakat pra-digital. Oleh karena itu, regulasi ini belum memiliki ketentuan khusus yang mengatur permasalahan yang timbul akibat penggunaan media sosial dalam ranah rumah tangga.
Menurut Prof. Dr. Andi Rahmat (2022), regulasi yang ada bersifat tradisional dan belum mengakomodasi permasalahan digital, seperti pelecehan digital, penyebaran informasi pribadi tanpa izin, serta kekerasan digital dalam rumah tangga (cyber domestic abuse). Kondisi ini menyebabkan adanya kekosongan hukum yang membingungkan para korban ketika menghadapi konflik digital, karena belum ada payung hukum yang kuat untuk melindungi mereka.
Selain itu, tantangan pembuktian bukti digital di pengadilan perkawinan masih sangat kompleks dan belum terstandarisasi, sehingga banyak kasus yang tidak terselesaikan secara hukum dan berakhir dengan mediasi informal atau perceraian. Secara global, instrumen seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) sudah mengakui kekerasan berbasis digital sebagai bagian dari kekerasan berbasis gender, namun implementasinya di Indonesia masih minim.
Strategi Reformasi: Membangun Hukum dan Literasi Digital Keluarga
Menghadapi realitas tersebut, reformasi regulasi hukum menjadi sebuah keniscayaan. Pertama, Undang-Undang Perkawinan harus direvisi secara komprehensif untuk mengatur penggunaan media sosial dalam konteks rumah tangga. Ini termasuk menetapkan sanksi bagi pelaku kekerasan digital dan pelecehan berbasis komunikasi elektronik, serta membuka ruang bagi pengadilan untuk menggunakan bukti digital secara efektif dalam proses peradilan.
Kedua, perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga harus diperluas dengan memasukkan kategori kekerasan digital (cyber domestic abuse). Negara wajib menyediakan akses layanan bantuan hukum, konseling, dan perlindungan psikologis berbasis teknologi, agar korban dapat segera mendapatkan pendampingan dan pemulihan.
Ketiga, edukasi literasi digital menjadi sangat penting untuk membentuk kesadaran etika bermedia sosial. Program ini perlu dikembangkan oleh pemerintah, tokoh agama, dan organisasi masyarakat, dengan penekanan pada nilai-nilai agama dan budaya sebagai landasan moral. Literasi ini tidak hanya mengajarkan penggunaan teknologi secara bijak, tetapi juga menguatkan ketahanan keluarga dari pengaruh negatif media sosial.
Keempat, pengembangan layanan mediasi keluarga berbasis teknologi (online family mediation) menjadi solusi inovatif untuk menyelesaikan konflik rumah tangga secara cepat, efisien, dan harmonis tanpa harus berujung pada perceraian yang merugikan semua pihak.
Kesimpulan
Perkawinan di era digital menghadapi tantangan besar yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah, lembaga hukum, dan masyarakat. Media sosial, sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern, berpotensi menjadi bom waktu yang mengancam keharmonisan keluarga jika tidak dikelola dengan baik.
Ketertinggalan regulasi hukum dalam merespon persoalan digital memperparah risiko konflik yang berujung pada keretakan rumah tangga. Oleh karena itu, reformasi hukum yang mengakomodasi dinamika digital harus segera dilakukan, disertai dengan upaya edukasi literasi digital dan penguatan mekanisme penyelesaian sengketa berbasis teknologi.
Dari perspektif agama, menjaga kehormatan dan keharmonisan keluarga merupakan kewajiban moral dan sosial yang tidak dapat diabaikan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah fitnah yang tersembunyi di dalam hati.” (HR. Ahmad)
Pesan ini menjadi peringatan agar kita semua waspada terhadap ancaman yang muncul dari dalam, termasuk penggunaan media sosial yang tanpa pengendalian bisa merusak institusi perkawinan. (*)
*penulis adalah: R. Arif Mulyohadi, Dosen Ilmu Hukum, Institut Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan dan Anggota Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI) Orwil Jatim