Menggagas Pusat Perkulakan di Pelabuhan Pelindo

oleh -191 Dilihat
oleh
Pasar Induk Puspa Agro di Sidoarjo Jawa Timur

SURABAYA, PETISI.CO – Suatu sore, sekitar pukul 14.30 WIB, tiga pemuda yang rata-rata berperawakan gempal mondar-mandir, memindahkan aneka sayuran dari sebuah truk ke lapak sayur di Pasar Induk Agrobis Puspa Agro. Mereka nampak sigap dan cekatan mengusung komoditas pertanian itu, sehingga tidak sampai setengah jam, barang di truk habis dan berpindah memenuhi lapak di stand sayur.

Pemandangan serupa juga terlihat di deretan lapak khusus untuk komoditas buah-buahan. Di gedung berisi ratusan lapak ini, truk-truk dari berbagai sentra produksi buah di Jawa Timur juga berdatangan. Sejumlah tenaga bongkar-muat juga nampak sigap memindahkan muatan dari truk ke lapak pedagang. Bahkan, sebagian ada yang langsung ke kendaraan tengkulak yang sudah menunggu, seperti mobil pick up atau rengkek tengkulak.

Di pasar induk berlokasi di Desa Jemundo, Kec. Taman, Sidoarjo, Jawa Timur ini, berbagai produk pertanian memang berhimpun untuk didistribusikan kembali ke para pedagang tengkulak atau konsumen. Dari sentra-sentra produksi pertanian di Jawa Timur, seperti di Pujon, Malang, Batu, Pasuruan, Lumajang, Jember, Kediri, Blitar, Magetan, dan beberapa daerah lain, sejumlah komoditas pertanian memang mengalir dan dipasarkan di Puspa Agro. Tak hanya itu, beberapa komoditas, seperti kelapa dan aneka rempah-rempah juga datang dari luar Jawa Timur, seperti Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur.

Kadin Tangkap Peluang

Model pusat perkulakan yang dikembangkan Puspa Agro rupanya memantik inspirasi untuk dikembangkan sejumlah pihak. Di antaranya, datang dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur. Lewat Ketuanya, Adik Dwi Putranto, Kadin Jatim bahkan ingin agar konsep pengelolaan yang dikembangkan Puspa Agro, diadopsi oleh institusi lain yang concern pada sektor perekonomian.

Dan, di antara yang diharapkan menerapkan pusat perkulaan tersebut adalah PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I, II, III, dan IV yang akan dimerger menjadi PT Pelabuhan Indonesia. Rencana penggabungan Pelindo dianggap sebuah keputusan yang baik dan akan meningkatkan kapasitas peran ekonominya. Namun, semangat menyatukan Pelindo itu hendaknya tidak terlepas dari effort memacu kinerja program Tol Laut. Program ini penting bagi efektivitas dan efisiensi layanan distribusi logistik di seluruh wilayah Indonesia, yang bertujuan untuk menghilangkan disparitas harga antarwilayah.

Support yang disampaikan Kadin Jawa Timur ini adalah untuk memaksimalkan fungsi pelabuhan sejalan dengan Perpres No. 27 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik untuk Angkutan Barang dari dan ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan (T3P), yang salah satu tujuannya: menurunkan disparitas harga barang.

Program Tol Laut sejak dimulai pada tahun 2015 dipandang Kadin Jawa Timur belum dapat mencapai tujuan penurunan atau penghilangan disparitas harga barang sesuai dengan yang diharapkan. Proses angkutan atau distribusi barang memang tergolong lancar, namun kelancaraan itu belum berpengaruh signifikan terhadap kesetaraan harga barang. Barang dengan harga murah hanya sampai di pelabuhan.

“Harga barang naik setelah keluar dari pelabuhan, dan akan lebih mahal lagi sampai ke retail di lokasi tujuan. Semestinya pelabuhan, terutama di Indonesia Timur, bisa berfungsi sebagai trading market, yaitu pasar atau pusat perdagangan merangkap pemasaran. Ini dapat memperkecil disparitas harga barang,” tandas Andik saat ditemui di kantornya Minggu (15/08/2021).

Ketua Kadin Jatim Adik Dwi Putranto

Menurut dia, munculnya disparitas harga yang cukup tajam di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dikarenakan kondisi ekonomi wilayahnya dan transportasi yang belum menyatu. Yang harus diperhatikan bukan hanya transportasinya, tapi juga perkembangan ekonomi dan petumbuhan wilayahnya. Salah satu penyebab disparitas harga adalah banyaknya variable cost setelah barang keluar dari pelabuhan.

Karena itu, Andik, yang juga pengusaha agribisnis itu, mengusulkan kepada Menteri BUMN agar program merger Pelindo ini bisa memaksimalkan fungsi pelabuhan untuk mendukung efisiensi. Pelabuhan dapat difungsikan tidak terbatas seperti yang sudah berjalan selama ini, mengingat sarana pendukung di pelabuhan lebih dari memadai.

Umumnya, fasilitas yang ada di pelabuhan-pelabuhan Pelindo sudah cukup memenuhi kebutuhan, seperti kolam labuh, dermaga, jasa pandu, pergudangan, peralatan bongkar muat, lahan penumpukan barang. Semua sudah tersedia. Sarana pergudangan sebagai pendukung kegiatan bongkar-muat, perlahan-lahan telah beralih fungsi. Seiring perubahan perilaku pengguna jasa, mereka lebih banyak menggunakan pola penyimpanan nonpermanen (truck loosing). Dengan demikian, fungsi gudang tereduksi, dan itu dapat dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan BUMN.

Sebagai  referensi, dalam sebuah acara webinar yang diselenggarakan Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Bulan Juni 2021 lalu, tahun ini Ditjen Hubla menambah empat trayek baru di Indonesia Timur, sehingga keseluruhan menjadi 30 trayek. Rute ini melibatkan 106 pelabuhan yang terdiri atas sembilan pelabuhan pangkal dan 97 pelabuhan singgah. Data Kementerian Perhubungan menyebutkan, Indonesia memiliki 3.089 pelabuhan, 103 pelabuhan diantaranya dikelola oleh Pelindo. Sebanyak 934 pelabuhan dikelola Kementerian Perhubungan dan Badan Usaha Pelabuhan (BUP) sedangkan 2.052 pelabuhan sebagai Terminal Untuk Dikelola Sendiri (TUKS).

Pengamat Kemaritiman Nasional Daniel M. Rosyid berpendapat, bahwa kesenjangan sosial ekonomi antara Indonesia Barat dan Timur terlalu parah. Dia mencontohkan konsumsi energi perkapita orang Papua dengan Jakarta. Ini mencerminkan kemampuan produksi yang njomplang (tak seimbang).

“Harus ada transmigrasi besar-besaran. Infrastuktur energi yang memadai agar Papua dan KTI memiliki cukup kapasitas untuk mengolah bahan-bahan baku di sana untuk dijual ke Jawa,” jelasnya.

Pelabuhan, lanjut Daniel yang juga pengurus Masyarakat Tranportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur bidang Transportasi Multi-moda itu,  memerlukan dukungan hinterland berupa kawasan pemukiman, sarana jalan, dan industri. Pelabuhan bukanlah entitas tunggal. Pelabuhan adalah multi-stake holder entity.

“Selain tersedianya pusat perkulakan, pelabuhan semestinya juga memiliki depo migas, pembangkit listrik, serta pengolahan limbah,” usul Daniel, yang juga Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan ITS.

Pasar BUMN

Gagasan Kadin Jawa Timur tersebut mendapat apresiasi dari pemangku kepentingan di pelabuhan. Konsep Port and Trading Market sudah saatnya diterapkan oleh Pelindo. Dengan Tol Laut, harga barang bisa relatif murah sampai di pelabuhan tujuan. Harga itu bisa lebih murah lagi jika pasokan kebutuhan masyarakat, khususnya di KTI dipasok oleh BUMN.

“Bahan bangunan, pupuk, beras, gula dan lainnya, hampir semua diproduksi BUMN dan bisa tersedia di pelabuhan dengan harga dasar,” jelas Salehwangen Hamsar, pedagang hasil bumi dan pelaku usaha logistik saat ditemui di Pelabuhan Tanjung Tembaga, Probolinggo, Jawa Timur.

Demikian pula sebaliknya, komoditas lokal dapat dibeli oleh BUMN holding dan dipasarkan ke wilayah barat. Pemilik komoditas lokal seperti rempah-rempah, kopra, jagung, damar dan sebagainya, cukup sampai di pelabuhan. Selanjutnya, BUMN holding yang akan  membeli, mengangkut dan memasarkan komoditas tersebut.

“Dengan cara ini, petani lokal bisa langsung bertransaksi dan tidak perlu lagi memikirkan urusan transportasi dan sebagainya,” urainya.

Sebenarnya, banyak variable cost lainnya yang dapat dipangkas jika barang-barang tersebut bisa ditransaksikan di pelabuhan. Sebagai referensi, Salehwangen Hamsar mengungkapkan efisiensi biaya jasa logistic end to end. Biaya freight (kapal pengangkut) di kisaran 15-25% di pelabuhan pemberangkatan (OPP), 25-35% untuk ongkos pelabuhan tujuan (OPT). Sisanya, trucking atau pengangkutan dari gudang ke pelabuhan asal, dan dari pelabuhan ke gudang tujuan. Biaya dipastikan akan berkurang jika di pelabuhan diciptakan pusat induk perkulakan.

Menurut pengamatannya, untuk pelabuhan di KTI, fasilitas tersebut umumnya tersedia, namun dalam kondisi idle capacity (kurang dimanfaatkan). Di Pelabuhan Badas dan Pelabuhan Bima di NTB misalnya, tersedia gudang namun sering kosong. Demikian pula lahan untuk penumpukan barang, jarang ada yang memanfaatkan. Sama halnya yang terjadi di Pelabuhan Kalabahi, NTT, Donggala, Sulawesi Tengah; atau di Ternate, Maluku Utara; Pelabuhan Tual, Ambon; Poutere, Makassar; dan lainnya.

Pergudangan dan hamparan lahan di Pelabuhan Bima NTB

Tol Laut tak dapat dibiarkan berjalan sendirian. Untuk mencapai pertumbuhan di KTI dan penurunan disparitas harga, diperlukan sinergi. Pusat perkulakan di pelabuhan ini adalah formula yang tepat mendampingi program Tol Laut untuk capaian turunnya atau hilangnya disparitas harga. Pendukung lainnya, kata Saleh Hamsar adalah kehadiran Badan Pangan Nasional (BPN) sesuai Perpres 66/2021 yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan. Tidak ada salahnya BPN yang mempunyai program dan anggaran juga digandeng.

Data yang diperoleh dari pelindo.co.id dan inaport4.co.id menyebutkan, di Pelabuhan Badas, NTB, tersedia fasilitas Lapangan Penumpukan 6.610 M2, Gudang 600 M2. Pelabuhan Kalabahi, Alor – NTT Lapangan Penumpukan 2.465 M2, Pelabuhan Lembar, Lombok Barat – NTB Lapangan Penumpukan 1.425 M2, Gudang 420 M2, Pelabuhan Tenau, Kupang – NTT Lapangan Penumpukan 3 Ha, Pelabuhan Bima, NTB Lapangan Penumpukan 6.972M2, Gudang 400 M2. Pelabuhan Sorong Gudang 1.950 M2, Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara tersedia gudang seluas 9.072 M2, Lahan penumpukan 32.587 M2. Pelabuhan Ambon, gudang 1,600 M2, lahan penumpuknan 60,045 M2. Menurut Salehwangen Hamsar, fasilitas yang ada tersebut sudah layak untuk dijadikan pusat perkulakan.

Sementara itu, Ketua Indonesia Nasional Shipowners’ Association (INSA) Surabaya, Steven H. Lesawengan, mengatakan, penyediaan atau pelayanan gudang-gudang dan lapangan penumpukan dan tangki/tempat penimbunan barang-barang, angkutan bandar, alat bongkar muat, serta peralatan pelabuhan yang berhubungan dengan kepentingan kelancaran angkutan multimoda, semua sudah dimiliki Pelindo. Hanya saja, pemanfaatannya belum maksimal. Dia sangat mendukung usulan Kadin Jawa Timur soal pusat perkulakan tersebut.

Terkait dengan program merger Pelindo, Steven mengusulkan dibentuknya divisi sesuai dengan fungsinya. Misalnya, divisi atau departemen pergudangan dan penimbunan barang, divisi kolam pelabuhan dan dermaga, dan divisi lainnya, yang masing-masing dipimpin oleh seorang direktur. Dengan demikian, semua layanan Pelindo akan centralized (terpusatkan).

Ini akan memudahkan dalam banyak hal, misalnya pengenaan tarif dan kontrol. Holding juga akan lebih mudah menganalisasi investasi dan pemeliharaan/perawatan. Kelemahannya, akan sulit dikontrol di masing masing daerah jika diberlakukan sistem centralize untuk masalah  operational di lapangan.

Ketua Koperasi Pelayaran Rakyat (Kopelra) Gresik, Awalludin, yang dihubungi terpisah mengatakan, Kopelra selama ini memasok kebutuhan pokok sekitar 200 kapal untuk konsumsi Anak Buah Kapal (ABK), selain menyalurkan minyak solar bersubsidi. “Jumlahnya cukup besar; seperti beras, minyak, gula kopi, dan lauk pauk ABK. Minimal kebutuhan untuk satu minggu melaut,” jelasnya.

Barang-barang tersebut seandainya dapat dibeli di area pelabuhan akan mengurangi biaya operasional dan sangat membantu kelancaran usaha Pelayaran Rakyat. Demikian pula untuk memenuhi kebutuhan konsumen di luar pulau, diharapkan cukup tersedia di kawasan pelabuhan. Efeknya, harga barang sampai di tempat tujuan pemesan akan lebih murah. Kebutuhan barang pokok diyakininya akan dimanfaatkan oleh pengguna pelabuhan lainnya seperti kapal Pelnas, Perintis dan kapal penumpang.

Idealnya BUMN juga membuat holding untuk mengelola pusat perkulakan di pelabuhan atau semacam pasar induk pelabuhan. Ini di antaranya bertujuan menurunkan disparitas harga serta untuk menjaga ketersediaan pasokan barang.

“Dengan cara ini, konsumen di daearah T3P dapat menikmati harga tidak jauh berbeda dengan di Jawa karena berkurang biaya logistiknya,” ungkap Direktur Utama Puspa Agro, M. Diah Agus Muslim.

Lebih lanjut dikatakan, dibutuhkan upaya luar biasa untuk menggerakan BUMN menciptakan pusat perkulakan di lingkungan pelabuhan, dengan kepentingan agar (mata rantai pasokan) terjaga. Karena, menurutnya, core business Pelindo adalah terminal operator.

“Harus ada model bisnis baru, seperti membentuk anak perusahaan yang secara khusus berbisnis di mata rantai ketahanan pangan,” jelas Sekretaris Asosiasi Fowarding dan Logistik Indonesia (ALFI) Jawa Timur itu.

Perlu Prioritas

Sementara pemerhati Logistik dari ITS, Ferdhi Zulkarnaen, yang mengambil studi pascasarjana bidang Logistik di Erasmus Universiteit Rotterdam, mengatakan, sebaiknya pusat perkulakan diprioritaskan di pelabuhan yang daerahnya dikelilingi banyak pulau, seperti di KTI. Mengutip data dari Kementerian Dalam Negeri, menurutnya, terdapat 8 provinsi di KTI yang tepat dijadikan model proyek percontohan.

Menurut Ferdhi, daerah-daerah tersebut belum sejahtera karena belum mampu memanfaatkan sumber daya alamnya secara optimal, jarak antarpulau berjauhan, dan jauh dari ibukota provinsi atau kabupaten yang menjadi pusat ekonomi. Daerah-daerah ini meliputi Sulawesi Utara (668 pulau), Sulawesi Tenggara (651 pulau), Kepulauan Riau (2.408 pulau), NTB (864 pulau), NTT (1.192 pulau), Bangka Belitung (950 pulau), Maluku Utara (1.474 pulau), dan Maluku (1.442 pulau).

“Tentu saja diperlukan regulasi, semisal penetapan HET masing-masing barang, termasuk distribusinya ke wilayah hinterland,” jelasnya, seraya menambahkan, kehadiran pusat perkulakan secara tidak langsung diyakini akan menjadi stimulan pertumbuhan ekonomi di pulau-pulau di sekitar pelabuhan.

Menanggapi gagasan dan usulan Kadin Jawa Timur, Corporate Communication Pelindo III, R. Suryo Khasabu, mengatakan, menjadikan pelabuhan sebagai kawasan niaga sangat memungkinkan. Hanya saja lokasinya berada di luar kawasan utama atau di luar terminal pelabuhan, seperti yang ada di area Pelabuhan Tanjung Perak saat ini. Di area Pelabuhan Tanjung Perak terdapat kawasan niaga di sepanjang Jalan Perak Barat maupun Jalan Perak Timur. Lokasi niaga idealnya berada di luar kawasan utama terminal pelabuhan, karena merupakan kawasan terbatas, hanya khusus untuk kegiatan bongkar muat barang. Ini berkaitan dengan faktor risiko keselamatan dan keamanan.

Akankah gagasan pusat perkulakan di kawasan pelabuhan ini terwujud? Tentu hal ini berpulang kepada para pihak yang berkepentingan dan berkompeten membidanginya. Yang jelas, jika gagasan ideal itu terealisasi, banyak pihak yang akan menikmati manfaatnya sebagai ekses peningkatan nilai ekonomi di sebuah kawasan bisnis yang terus berkembang.(oki lukito)

No More Posts Available.

No more pages to load.