Mengulas Ketahanan Nasional Kita, Bukan Sekadar Tahan Banting

oleh -106 Dilihat
oleh
Ulul Albab, Ketua ICMI Jawa Timur

APA kabar ketahanan nasional kita hari ini? Pertanyaan ini mungkin terdengar klise. Tapi percayalah, pertanyaan tersebut menjadi makin relevan di tengah pusaran zaman yang serba cepat, gaduh, dan tak pasti. Mulai dari polarisasi politik, ancaman geopolitik kawasan, krisis pangan dan energi global, hingga perubahan iklim dan disrupsi digital. Semua itu menggoyang sendi-sendi keutuhan bangsa.

Dalam konsep klasik Astagatra (yang mencakup geografi, demografi, sumber daya alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan) ketahanan nasional kita ibarat tubuh. Kalau satu organ melemah, seluruh tubuh bisa kolaps.

Tapi sayangnya, diskursus ini kerap hanya muncul di forum seminar atau forum-forum militer dan di ruang kursus regular lemhanas. Padahal, seharusnya jadi percakapan publik. Di warung kopi. Di rapat RT. Di ruang guru. Bahkan di posko dan sekretariat aktivis mahasiswa. Karena ujungnya bukan hanya soal militer atau birokrasi, tapi masa depan anak cucu bangsa.

Kita Butuh Narasi Baru

Dalam bukunya Ketahanan Nasional (1997), Suryohadiprojo menyebutkan bahwa ketahanan nasional adalah “kemampuan bangsa dalam menghadapi dan mengatasi segala bentuk ancaman dan tantangan terhadap integritas dan eksistensi bangsa.” Dalam bahasa jawa timuran dikenal dengan sebutan: tahan banting.

Pertanyaanya, apakah cukup hanya tahan? Di era sekarang, bangsa yang hanya tahan saja belum tentu bisa menang. Kita juga harus adaptif, progresif, dan kolektif. Ketahanan nasional bukan cuma soal bertahan. Tapi soal tumbuh dalam tekanan. Naik kelas dalam ujian.

Dalam pendekatan kontemporer, ketahanan nasional harus mencakup minimal lima hal: (1). Ketahanan pangan; (2). Ketahanan energi; (3). Ketahanan digital; (4). Ketahanan budaya; dan (5). Ketahanan moral. Kelimanya harus diurus secara simultan, bukan sektoral. Narasi ini harus terus digaungkan.

Siapa Penjaminnya?

Jika kita ditanya, siapa yang menjamin ketahanan nasional? Saya pastikan jawaban yang benar adalah bukan hanya TNI. Bukan hanya Presiden. Tapi kita semua. Rakyat. Ketahanan nasional adalah urusan bersama. Ibarat gotong royong menjaga rumah dari banjir, semua harus turun tangan.

Maka dalam riset yang ditulis Wismayana dan Pinatih (2022), mereka menekankan pentingnya civil resilience (ketahanan sipil) sebagai bagian dari ketahanan nasional yang utuh. Tidak bisa hanya mengandalkan negara sebagai satu-satunya pelindung.

Apa artinya?, masyarakat harus melek literasi digital, melek ideologi, melek energi, bahkan melek sejarah. Pendidikan kewarganegaraan di sekolah dan di kampus tidak boleh hanya jadi hafalan. Harus jadi pembentukan karakter bangsa.

Ancaman Nyata Itu Tak Selalu dari Luar

Sebagian kita masih berpikir ancaman datang dari “asing”. Padahal hari ini, ancaman terbesar sering kali berasal dari dalam, berupa apa?: korupsi, polarisasi sosial, hoaks, degradasi moral, dan apatisme warga negara. Kalau ini dibiarkan, perlahan tapi pasti kita kehilangan akar.

Dalam jurnal Amandemen (Rachman, 2024), disebutkan bahwa ketahanan nasional hari ini ditentukan oleh kapasitas negara dalam menjamin hak warga, menjalankan keadilan sosial, serta menjaga solidaritas publik. Artinya: tidak ada ketahanan tanpa keadilan.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Sebagai warga negara biasa, minimal ada tiga hal yang bisa kita lakukan: Pertama; Rawat nilai kebangsaan. Jangan biarkan kebencian dan hoaks membajak ruang digital kita. Kedua; Bangun solidaritas sosial. Bantu tetangga yang kesusahan. Itu bagian dari ketahanan lokal. Ketiga; Dorong pemerintah bersih dan tanggap. Negara kuat dibangun dari rakyat yang kritis dan peduli.

Menyusun Kembali Pilar Ketahanan Kita

Sebagai penutup ingin saya tegaskan bahwa Ketahanan nasional itu bukan slogan. Tetapi napas panjang bangsa. Kalau kita tak rawat, kita bisa sesak. Dan seperti kata Bung Hatta: “Indonesia merdeka bukan tujuan akhir. Tetapi jembatan emas menuju masyarakat adil dan makmur.”

ICMI Jawa Timur menyadari bahwa salah satu jembatan paling mendesak yang harus diperkuat hari ini adalah ketahanan pangan di era digital. Bukan hanya soal mencukupi beras, jagung, atau cabai. Tapi soal bagaimana petani kita tidak lagi tertinggal dalam sistem distribusi, tidak tersungkur oleh mafia pangan, dan tidak tercerabut dari teknologi yang seharusnya menjadi alat bantu mereka, bukan justru menjadi penghalang.

Maka kami mengusulkan tiga strategi pokok: Pertama; Digitalisasi sistem distribusi dan rantai pasok pangan lokal melalui platform berbasis komunitas, koperasi petani, dan e-commerce halal yang dikawal prinsip keadilan dan transparansi.

Kedua; Integrasi data pangan nasional secara real time berbasis AI dan big data, yang bisa membantu pengambilan keputusan dari desa hingga istana. Ini bukan mimpi, melainkan kebutuhan.

Ketiga; Gerakan pangan mandiri berbasis pesantren dan kampus, menjadikan lembaga pendidikan sebagai pusat pemberdayaan agroekonomi dan literasi pangan berbasis tauhid.

Dalam pandangan ICMI Jatim, ketahanan pangan bukan sekadar urusan dapur atau gudang logistik. Tetapi adalah urusan peradaban. Karena bangsa yang kelaparan adalah bangsa yang rapuh. Dan, bangsa yang bisa mengolah tanahnya sendiri, mendistribusikannya dengan adil, dan melibatkan teknologi secara arif, itulah bangsa yang berdaulat.

Semoga gagasan ini bisa menjadi bagian kecil dari ikhtiar besar kita semua: menjaga Indonesia tetap tegak, kuat, dan berdaya, bukan hanya karena sejarahnya, tapi karena rakyatnya yang peduli dan pemimpinnya yang berpikir jernih. (*)

*penulis adalah: Ulul Albab, Ketua ICMI Jawa Timur

No More Posts Available.

No more pages to load.