Meretas Jalan Mengurai Problematika Kedelai di Indonesia

oleh -152 Dilihat
oleh
Oleh : Dr. H. Edi Purwanto, S.TP, MM

Program swasembada pangan khususnya komoditas Padi Jagung dan Kedelai (PAJALE) sudah dicanangkan oleh pemerintah sejak beberapa tahun lalu. Secara umum, komoditas Padi dan Jagung relatif sudah lebih baik jika dibandingkan komoditas Kedelai yang masih menghadapi persoalan serius. Sampai sekarang produksi kedelai lokal diketahui sangat rendah, sehingga Indonesia sangat bergantung pada kedelai impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Kompas.com, 2021).

Sebagaimana diketahui, produksi kedelai lokal secara nasional tahun 2020 hanya mencapai 320.000 ton, sementara kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,5 juta ton per tahun, sehingga kekurangan stok yang sangat banyak selalu diambilkan dari impor (TribunJatim.com, 2021).

Beberapa langkah yang sudah dilakukan, terbukti belum efektif mengurai persoalan yang ada, ditambah lagi munculnya kenaikan harga kedelai di pasaran dunia yang mengakibatkan kontraksi pasar dan sebagai komoditas yang 90 persen bergantung pada impor, pedagang tak punya pilihan selain mengikuti kenaikan harga agar tak merugi. Meskipun harus berhadapan dengan komplain konsumen (JawaPos.com, 2021).

Kondisi yang tidak menguntungkan dan sudah berlangsung lama ini, tentu harus segera dicarikan solusi yang lebih tepat, efektif dan komprehensif. Mengurai mata rantai persoalan kedelai harus dimulai dengan melakukan pembenahan dari Hulu, Proses sampai Hilirisasi dan dilakukan secara intensif, terintegrasi dan semangat kolaboratif yaitu ;

pertama,   Pemerintah perlu mendorong, memfasilitasi dan memberikan insentif khusus bagi para petani melalui Kelompok Tani (POKTAN) yang mau menanam kedelai. Salah satu problem utama di sektor hulu selama ini adalah keengganan petani untuk menanam kedelai karena dianggap tidak menguntungkan dan tidak ada harapan. Apalagi rata-rata kepemilikan lahan petani kita hanya kisaran 0.1 – 0,3 Ha, sehingga biaya produksi yang tinggi selama ini tidak sebanding dengan hasil dan harga panennya.

Petani merasa lebih ada kepastian jika memilih menanam padi atau jagung atau tanaman lain. Namun jika ada fasilitasi, pemberian insentif khusus serta kebijakan perlindungan harga jual akan membuat petani bersemangat lagi menanam kedelai.

Kedua, mendorong, memfasilitasi dan memberi insentif khusus bagi pelaku usaha yang berkomitmen memproduksi benih kedelai yang bisa menghasilkan kualitas biji bagus, volume hasil panen diatas rata-rata dan harga yang kompetitif.

Sebagai contoh di Kabupaten Jember, sudah ada perusahaan yang sudah memproduksi benih unggul dengan hasil panen kisaran 3 -3,2 ton per hektar, sedangkan selama ini hasil panen rata-rata petani hanya berkisar 1,3 – 1,5 ton per hektar (Republika.co.id, 2021).

Ketiga, memperbaiki koordinasi dan konsolidasi inter kelembagaan pemerintah mulai dari tingkat Kementerian, seperti Kementerian Pertanian (Kementan). Kementerian Perindustrian dan Perdagangan (Kemenperindag), Kementerian Koperasi dan UMKM (Kemenkop UMKM) sebagai leading sektor pengambil keputusan agar kebijakan dan keputusan yang diambil selalu mendasarkan pada komitmen keberpihakan yang kuat dalam mengawal ekosistem komoditas kedelai ini. Koordinasi dan

 

konsolidasi harus berlanjut dan dipastikan berjalan dengan baik sampai organ dibawahnya, yaitu dinas – dinas di tingkat kabupaten/kota dan diimplementasikan di lapang oleh para Petugas Penyuluh Lapang (PPL) lintas kelembagaan.

Keempat, memperkuat komunikasi, koordinasi dan konsolidasi antara pemerintah (yang diwakili kementerian-kementerian terkait) dengan para stakeholder, seperti Dewan Kedelai Nasional (DKN), Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Asosiasi Pelaku Usaha, Importir dan para pengrajin kedelai. Kebijakan Klusterisasi area budidaya kedelai, membentuk kawasan yang lebih terintegrasi, melakukan pengaturan dan pengawasan ketat kebijakan importasi sebagai upaya untuk memastikan bahwa target penurunan jumlah impor yang diimbangi peningkatan produksi lokal dapat berjalan secara bertahap dan signifikan setiap tahunnya.

Kelima, melakukan upaya massif sosialisasi penggunaan kedelai lokal kepada para pemangku kepentingan, khususnya para pengrajin seperti pengrajin tahu, tempe dan produk yang berbahan baku kedelai, bahwa menggunakan kedelai lokal yang bagus, akan menghasilkan kualitas produk yang lebih bagus dan lebih bernilai ekonomis dibanding menggunakan kedelai impor selama ini. Mengingat sudah puluhan tahun para pengrajin sangat tergantung dan lebih percaya dengan kualitas kedelai impor yang dipersepsi memiliki karakter ukuran biji yang besar dan merata, kulit ari lebih mudah mengelupas sehingga tidak membutuhkan proses yang lama serta mudah didapat di toko-toko pengecer. Oleh karena itu memasifkan sosialisasi kelebihan-kelebihan kedelai lokal dari benih unggul dengan cara mengadakan event kampanye, festival, dan bentuk-bentuk lainnya.

Keenam, Mendorong keterlibatan aktif Perguruan Tinggi, baik dalam bentuk riset-riset yang menghasilkan benih bermutu tinggi, ramah lingkungan dan bernilai ekonomis yang bisa diimplementasikan di lapang. Selain itu juga mampu menghadirkan inovasi inovasi berbagai produk olahan dari bahan kedelai lokal, menginisiasi program pendampingan khusus dalam kegiatan pengabdian masyarakat yang berfokus pada perbaikan pola budidaya dan moderasi kelembagaan poktan dengan melibatkan para dosen dan mahasiswa semester akhir sebagai pendamping.

Langkah-langkah pembenahan dari Hulu sampai ke Hilirisasi harus dilakukan secara bersama- sama. Apalagi Indonesia sudah pernah punya pengalaman Swasembada kedelai pada tahun 1992. Saat itu produksi kedelai mencapai 1,8 juta ton dengan lahan 1,5 juta hektar.

Komitmen keberpihakan yang kuat khususnya dalam koridor perlindungan dan pemberdayaan petani serta meletakkan kesejahteraan bersama sebagai pilar utama, maka problem-problem yang selama ini menyelimuti dan terkesan sulit dipecahkan akan mampu diurai, sehingga kebutuhan kedelai nasional yang saat ini berkisar 2,5 juta ton dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan, maka tidak berlebihan kalau dalam kurun waktu 5 tahun ke depan Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dari produksi sendiri dan terbebas dari ketergantungan impor.(#)

*)Penulis adalah Ketua Umum Yayasan ICAM Indonesia dan Dosen Luar Biasa Pascasarjana Universitas Brawijaya (UB) Malang.

No More Posts Available.

No more pages to load.