Sidang lanjutan Kasus Korupsi Dana Hibah KPU Lamongan
LAMONGAN, PETISI.CO – Nihrul Bahi Alhaidar penasehat hukum (PH) Irwan Setyadi terdakwa perkara korupsi dana hibah Pilkada tahun 2015 di Lamongan, tidak dapat menerima dan membeberkan kejanggalan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Lamongan.
“Setidaknya ada lima poin eksepsi yang kami sampaikan dari dakwaan penuntut umum terhadap terdakwa Irwan Setyadi. Poin pertama, dalam surat dakwaan tanpa menyebutkan secara rinci tanggal dan tempat kejadian yang dimaksud,” kata Nihrul Bahi Alhaidar saat dikonfiirmasi wartawan di kantornya usai persidangan pembacaan eksepsi di Pengadilan Tipikor Surabaya, Rabu (18/03/2020).
Gus Irul panggilan Nihrul Bahi Alhaidar menyampaikan, namanya tindak pidana harus cermat kronologi hukumnya. Tempat dimana dan tanggal kejadian yang dimaksud. Hal itu oleh Penuntut Umum tidak disebutkan secara rinci, sehingga tidak jelas dan tidak cermat.
Menurutnya, point kedua Penuntut Umum dalam isi uraian delik dakwaan kesatu Primair adalah sama dengan isi uraian delik Subsidair. Begitu juga isi uraian delik dakwaan Kesatu Primair dan Subsidair adalah sama dengan isi uraian delik pada dakwaan kedua.
“Tindakan Penuntut Umum yang mempadukan uraian dakwaan antara delik yang satu dengan yang lain adalah tindakan yang menyebabkan Obscuur Libel (kabur),” ujar Gus Irul, mengaku pada sidang tersebut dirinya didampingi Ahmad Umar Buwang dan Dharna Edhi Santoso.
Di poin ketiga, sambung penasehat hukum Irwan Setyadi, mengenai penulisan dakwaan terdakwa yang tidak sesuai dengan identitas terdakwa, yaitu pada umur dan tanggal lahir.
Sedangkan poin ke empat yang dibacakan mengenai kewajiban KPA (Kuasa Pengguna Anggaran), dimana dalam surat dakwaan Penuntut Umum dalam menganggarkan tidak membuat Rencana Kegiatan Anggaran.
Hanya sebatas corat-coret dan sudah ditanyakan berkali-kali sama terdakwa dan KPA hanya mengatakan yang penting laporannya saja.
“Dalam hal ini UU RI No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa KPA melaksanakan kegiatan dalam dokumen yang telah di sahkan. Kenapa kok dibebankan semua pada terdakwa? Ini kan menyalahi aturan,” bebernya.
Adapun poin kelima, tambah Gus Irul, yang menjadi eksepsi mengenai ganti rugi yang sudah dikembalikan berdasarkan rekomendasi dari BPK saat ada temuan.
Tidak menerima gaji honor PNS sebesar Rp 3.347.642 terhitung sejak diputuskan bersama antara Inspektur Jenderal KPU pada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lamongan beserta Komisioner KPU dan Sekretaris KPU yang merangkap sebagai KPA.
“Dimana gaji honor tersebut dikembalikan kepada Kas Daerah sejak bulan Juni 2016 sampai pada bulan Juli 2040, bayangkan saja selama itu terdakwa tidak menerima honor tapi tetap bekerja sampai jam tutup kantor. Mana rasa kemanusiaannya terdakwa punya anak istri, dan ini melanggar HAM dimana setiap manusia mempunyai penghidupan yang layak,” tegasnya.
“Yang jelas keputusan BPK itu masih dilaksanakan sampai hari ini, dan belum dicabut, sehingga seharusnya terdakwa tidak bisa di Pidana. Secara keseluruhan surat dakwaan yang dibuat Penuntut Umum tidak Jelas, tidak cermat dan tidak lengkap. Oleh karena itu dakwaan dari Penuntut Umum tidak dapat diterima,” tandasnya.
Sementara kepada wartawan melalui sambungan satelit, Kasi Pidsus Kejari Lamongan, M. Subhan mengatakan, bahwa pihaknya tidak mengomentari apa yang menjadi eksepsi penasehat hukum terdakwa. Dan memastikan akan menanggapinya di persidangan berikutnya.
“Ada beberapa hal yang disoroti penasihat hukum terdakwa yakni terkait identitas, lokus tempus delicti, dan hal-hal terkait unsur dan lain-lain. Dan Insya Allah akan kami tanggapi pada persidangan selanjutnya, Rabu tanggal 01 April 2020,” pungkasnya.(ak)