Ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana Islam
Kekerasan seksual merupakan salah satu masalah hukum dan sosial yang mendesak untuk diatasi di Indonesia. Kasus kekerasan seksual yang semakin marak mendapat sorotan publik, namun sekaligus menimbulkan pertanyaan kritis tentang bagaimana sistem peradilan nasional menjalankan fungsi perlindungan dan penegakan keadilan.
Selain menggunakan hukum nasional positif, perspektif hukum pidana Islam juga relevan sebagai kajian pelengkap, mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan nilai-nilai syariah memiliki pengaruh signifikan dalam praktik hukum dan sosial masyarakat.
Tulisan ini mencoba mengkaji apakah sistem peradilan pidana di Indonesia sudah berjalan adil dalam menangani kasus kekerasan seksual, dengan fokus pada perlindungan korban, prinsip keadilan dalam proses hukum, serta relevansi dan integrasi nilai-nilai hukum pidana Islam. Selain itu, tulisan ini juga mengidentifikasi hambatan budaya, struktural, dan hukum yang menghalangi penegakan hukum yang efektif dan adil.
Gambaran Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia dan Statistik Terbaru
Berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2023, terdapat 13.674 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan, meningkat sekitar 9% dari tahun sebelumnya (Komnas Perempuan, 2024). Meski demikian, angka tersebut diperkirakan jauh di bawah jumlah kasus sebenarnya, karena banyak korban memilih untuk tidak melapor akibat stigma sosial dan ketakutan akan perlakuan diskriminatif.
Kekerasan seksual yang terjadi mencakup pelecehan, pemerkosaan, eksploitasi seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga. Kasus-kasus ini tidak hanya terjadi dalam lingkup privat, tetapi juga di institusi pendidikan, tempat kerja, dan ranah publik.
Hambatan Penegakan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual
Stigma Sosial dan Budaya Patriarki
Budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia menyebabkan banyak korban kekerasan seksual merasa malu dan takut melapor. Studi Setyawati dan Rahayu (2022) menegaskan bahwa stigma ini menyebabkan victim blaming, bahkan oleh aparat penegak hukum sendiri, sehingga memperburuk situasi korban dan menghambat penegakan hukum yang adil.
Keterbatasan Kapasitas Aparat Penegak Hukum
Aparat kepolisian dan kejaksaan seringkali kekurangan pelatihan dan pemahaman terkait penanganan kekerasan seksual. Laporan dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Perempuan (LAPAN, 2023) menunjukkan bahwa kesalahan teknis dan prosedural dalam penyidikan masih marak terjadi, sehingga mengurangi efektivitas penegakan hukum.
Proses Peradilan yang Lama dan Berbelit
Korban kerap menghadapi proses hukum yang panjang dan melelahkan, dengan persidangan yang sering kali berulang dan menyakitkan. Hal ini berdampak negatif pada kondisi psikologis korban dan menurunkan kepercayaan masyarakat pada sistem peradilan.
Perspektif Hukum Pidana Islam terhadap Kekerasan Seksual
Dalam hukum pidana Islam (fiqh jinayat), kekerasan seksual dianggap perbuatan zhalim yang dilarang dan harus dikenai hukuman sesuai syariah. Pemerkosaan, misalnya, termasuk kategori jinayat yang dapat dikenai hukuman hudud atau ta’zir, tergantung pada kekuatan bukti.
Hudud: Bila bukti cukup, seperti adanya pengakuan atau empat saksi, pelaku dapat dijatuhi hukuman berat sesuai ketentuan syariah, misalnya cambuk atau rajam (Siddiq, 2019).
Ta’zir: Jika bukti kurang, hakim dapat menjatuhkan hukuman berdasarkan pertimbangan maslahat dan keadilan, seperti denda, penjara, atau hukuman lainnya.
Hukum pidana Islam sangat menekankan perlindungan martabat dan kehormatan korban, serta mengedepankan prinsip keadilan dan pemulihan korban. Hal ini sejalan dengan maqashid syariah yang mengutamakan perlindungan nyawa, kehormatan, dan akal manusia. Namun, penerapan hukum Islam harus disesuaikan dengan konteks hukum nasional dan prinsip hak asasi manusia agar harmonis dan efektif.
Reformasi Hukum dan Integrasi Perspektif Islam dalam Penegakan Kekerasan Seksual
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah penting dengan mengesahkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS) pada tahun 2022, yang memberikan payung hukum lebih komprehensif bagi perlindungan korban dan penanganan kasus kekerasan seksual. UU PKS memuat definisi dan sanksi yang lebih tegas dibandingkan dengan KUHP lama.
Integrasi prinsip hukum pidana Islam dan pendekatan restorative justice dapat memperkuat penegakan hukum dengan memberikan ruang bagi pemulihan korban dan pemenuhan keadilan sosial. Pendekatan ini mengakui nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang menjadi inti dari maqashid syariah.
Menilai Keadilan dalam Proses Peradilan Kasus Kekerasan Seksual
Prinsip keadilan harus mencakup dua aspek penting: keadilan substantif dan keadilan prosedural. Artinya, proses peradilan tidak hanya harus menjatuhkan hukuman yang setimpal terhadap pelaku, tetapi juga harus menjaga hak-hak korban agar mendapatkan perlakuan manusiawi, pendampingan psikologis, dan keamanan selama proses hukum berlangsung.
Namun, laporan Amnesty International (2023) dan Komnas HAM (2023) menunjukkan bahwa dalam praktiknya, korban masih menghadapi diskriminasi dan kekerasan psikologis dalam proses peradilan. Pendampingan hukum dan psikososial juga belum memadai.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Penegakan hukum kasus kekerasan seksual di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang signifikan. Sistem peradilan nasional belum sepenuhnya berjalan adil apabila perlindungan terhadap korban dan aspek kemanusiaan diabaikan. Reformasi hukum dan pelatihan aparat yang berkelanjutan sangat diperlukan agar penanganan kasus lebih sensitif dan efektif.
Selain itu, integrasi nilai hukum pidana Islam yang menekankan keadilan dan pemulihan dapat memperkaya pendekatan hukum nasional, terutama dengan mengakomodasi aspek restorative justice yang sejalan dengan maqashid syariah.
Sosialisasi dan pendidikan masyarakat untuk menghilangkan stigma terhadap korban sangat penting agar korban lebih berani melapor dan mendapatkan keadilan. Dengan langkah-langkah tersebut, penegakan hukum terhadap kekerasan seksual dapat menjadi instrumen keadilan yang bermartabat dan efektif di Indonesia. (*)
*penulis adalah: R. Arif Mulyohadi, Dosen Prodi Hukum Pidana Islam, Institut Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan dan Anggota Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI) Orwil Jatim