Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran Hak Anak di Media Sosial: Tinjauan Regulasi dan Praktik di Indonesia

oleh -160 Dilihat
oleh
R. Arif Mulyohadi, Dosen Prodi Hukum Pidana Islam, Institut Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan dan Wakil Ketua Orda ICMI Bangkalan

PERKEMBANGAN pesat teknologi informasi dan komunikasi, khususnya media sosial, telah membawa perubahan signifikan dalam interaksi sosial masyarakat, tak terkecuali anak-anak. Media sosial menyediakan ruang yang luas untuk berekspresi dan berinteraksi, namun di sisi lain juga menjadi sarang bagi berbagai bentuk pelanggaran hak anak.

Fenomena ini mencakup penyebaran konten eksploitasi, pelecehan seksual, perundungan daring (cyberbullying), hingga bentuk-bentuk kekerasan lainnya yang kerap terjadi di ranah digital. Oleh karena itu, perhatian serius dari sisi hukum dan penegakan hukum sangat dibutuhkan agar hak anak sebagai kelompok yang rentan tetap terlindungi dalam lingkungan digital.

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa dalam lima tahun terakhir, kasus pelanggaran hak anak yang berhubungan dengan media sosial mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini menuntut adanya evaluasi yang mendalam terhadap regulasi yang telah ada sekaligus memperbaiki praktik penegakan hukum agar mampu menghadapi tantangan baru di ranah digital. Tidak hanya aspek hukum, perlindungan holistik juga harus melibatkan edukasi dan peran aktif masyarakat agar ruang digital bisa menjadi tempat yang aman bagi anak.

Tinjauan Regulasi Perlindungan Hak Anak di Media Sosial

Indonesia telah menyiapkan landasan hukum yang cukup kokoh untuk melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menjadi payung hukum utama yang memuat ketentuan mengenai hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. Meski undang-undang ini bersifat umum, ketentuan-ketentuannya relevan untuk diaplikasikan dalam konteks pelanggaran yang terjadi di dunia maya.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi instrumen hukum yang sangat penting dalam menangani penyebaran konten yang merugikan anak di media sosial. Regulasi ini memberikan landasan hukum untuk menindak konten negatif, termasuk pornografi anak, ujaran kebencian, dan fitnah yang sering tersebar secara cepat di media digital.

Namun demikian, menurut Prof. Dr. Maria Ulfah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, “Walaupun regulasi yang ada sudah cukup memadai, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap pelanggaran hak anak di media sosial masih menemui banyak kendala. Salah satu kendala utama adalah kesulitan dalam pengumpulan dan verifikasi bukti digital yang valid secara hukum, serta rendahnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat.” Pernyataan ini menegaskan bahwa regulasi saja tidak cukup tanpa didukung mekanisme implementasi yang efektif dan edukasi publik yang memadai.

Praktik Penegakan Hukum dan Kendalanya

Penegakan hukum terhadap pelanggaran hak anak di media sosial di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan yang cukup kompleks. Kendala pertama adalah aspek pembuktian. Dalam kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran di dunia maya, bukti yang ada berupa data digital sering kali sulit diperoleh dan dikelola dengan cara yang sesuai prosedur hukum. Selain itu, pelaku biasanya menggunakan identitas palsu atau anonim sehingga menyulitkan aparat untuk mengidentifikasi dan menangkap pelaku.

Selain masalah teknis, kapasitas aparat penegak hukum dalam mengelola bukti digital juga masih terbatas. Banyak aparat yang belum menguasai teknologi forensik digital secara memadai sehingga penanganan kasus menjadi kurang optimal.

Menurut Retno Listyarti, Komisioner KPAI, “Penanganan pelanggaran hak anak yang terjadi di media sosial tidak cukup hanya mengandalkan aparat hukum saja. Diperlukan pendekatan yang holistik dan lintas sektor, termasuk peran aktif lembaga sosial, pendidikan, dan keluarga. Penegakan hukum harus diimbangi dengan perlindungan psikologis dan rehabilitasi sosial bagi anak korban.” Pendapat ini menggarisbawahi bahwa penegakan hukum harus diiringi dengan upaya perlindungan dan pemulihan agar anak dapat kembali hidup normal dan terhindar dari trauma.

Praktik di lapangan menunjukkan bahwa kasus-kasus seperti penyebaran video kekerasan anak, pelecehan seksual melalui media sosial, serta perundungan daring kerap menjadi perhatian publik dan media. Namun demikian, upaya aparat hukum sering kali terhambat oleh masalah koordinasi dengan platform media sosial internasional yang mengelola data di luar wilayah hukum Indonesia. Masalah yurisdiksi ini menjadi kendala besar dalam pengambilan data dan penindakan pelaku yang sering kali beroperasi dari luar negeri.

Solusi dan Rekomendasi

Menghadapi berbagai tantangan tersebut, diperlukan langkah strategis yang melibatkan berbagai pihak untuk memperkuat perlindungan hukum bagi anak di dunia digital. Pertama, pemerintah perlu melakukan revisi dan pembaruan regulasi agar lebih responsif terhadap perkembangan teknologi terkini. Misalnya, mengatur secara lebih jelas tanggung jawab platform digital dalam melakukan filtering dan pengawasan konten yang membahayakan anak.

Kedua, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum sangat penting, terutama dalam hal teknologi forensik digital. Pelatihan khusus tentang pengelolaan bukti digital dan pendekatan keadilan restoratif yang mengedepankan pemulihan korban harus menjadi bagian dari agenda nasional.

Ketiga, pemberdayaan masyarakat melalui edukasi literasi digital bagi anak-anak dan orang tua sangat penting agar mereka memahami risiko dan cara melindungi diri di dunia maya. Literasi ini dapat mengurangi risiko pelanggaran hak anak dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga ruang digital yang aman.

Dr. Ahmad Fauzi, pakar hukum teknologi informasi dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan, “Perlindungan hak anak dalam era digital harus menjadi prioritas nasional yang melibatkan sinergi antara regulasi adaptif, teknologi mutakhir, dan kolaborasi aktif antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil.” Pendekatan kolaboratif ini penting untuk menghadirkan solusi yang menyeluruh dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Pelanggaran hak anak yang terjadi di media sosial merupakan persoalan serius yang tidak bisa diabaikan. Dampaknya sangat luas, mulai dari kerusakan psikologis, sosial, hingga potensi hilangnya masa depan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Regulasi yang ada di Indonesia sebenarnya telah menyediakan payung hukum untuk perlindungan anak, namun masih diperlukan peningkatan dalam aspek implementasi dan penegakan hukum.

Penegakan hukum yang efektif harus didukung oleh peningkatan kapasitas aparat, perbaikan regulasi yang adaptif terhadap teknologi, serta edukasi dan pemberdayaan masyarakat. Hanya dengan pendekatan holistik dan lintas sektor, hak anak sebagai kelompok yang rentan di ruang digital dapat benar-benar terjamin dan terlindungi.

Peran media, akademisi, pemerintah, dan masyarakat luas sangat penting untuk mengawal perlindungan ini agar ruang digital yang semakin berkembang tidak menjadi ancaman, melainkan menjadi ruang yang aman dan mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. (*)

*penulis adalah: R. Arif Mulyohadi, Dosen Prodi Hukum Pidana Islam, Institut Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan dan Anggota Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI) Orwil Jatim

No More Posts Available.

No more pages to load.