SURABAYA, PETISI.CO – Merebaknya virus Corona di berbagai negara, tidak hanya menelan korban jiwa. Lebih dari itu, virus Corona diprediksi akan berdampak pada melambatnya perekonomian Indonesia di tahun 2020.
“Tanpa Corona, kondisi perekonomian Indonesia bakal ambruk pada kuartal kedua dan ketiga tahun ini. Rontok hingga ke angka 4 persen,” kata Ekonom Rizal Ramli dalam bincang santai dengan wartawan di Surabaya, Minggu (8/3/2020).
Rizal memprediksi kehadiran Corona akan terjadi perlambatan laju ekonomi semakin parah. Bahkan, dia menyebutkan jika pertumbuhan ekonomi Indonesia turun satu persen, hingga merosot di angka 3 persen. Sinyal tersebut, sudah mulai terjadi secara perlahan.
“Ini kan the beginning. Kami sebetulnya sudah mengingatkan dari dua tahun yang lalu dari masalah sampai solusi. Sebetulnya kami kasih early warning system, namun tak dihiraukan sehingga gelembungnya makin besar,” ujarnya.
Virus Corona, lanjutnya, hanyalah faktor belakang yang hadir memperkuat sinyal perlambatan ekonomi. Sebelum Corona, ekonomi Indonesia sudah bermasalah karena pengaruh bubble economy. Gelembung makro ekonomi, gagal bayar, anjloknya daya beli, kehadiran bisnis digital dan penurunan pendapatan petani.
“Semua indikator makro merosot lebih jelek dibandingkan 10-15 tahun lalu. Defisit neraca perdagangan, transaksi berjalan, taxation dan sebagainya,” jelas mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini.
Secara logika, lanjutnya, saat semua indikator makro merosot, harusnya mata uang rupiah melemah. Namun, hal tersebut tidak terjadi karena didopping utang pemerintah dari luar negeri yang tentunya dengan bunga lebih mahal.
“Buat menopang rupiah untuk agak menguat sedikit. Tapi yang namanya dopping, bisa jadi dia dopping pertama menang, tapi dopping ketiga biasanya jantungnya nggak kuat. Kelojotan habis itu. Sehingga tidak bisa didopping terus menerus. Ekonomi juga seperti itu,” paparnya.
Saat ini, tambah Rizal, gelembung daya beli merosot tajam. Penjualan turut anjlok, karena tahun lalu pertumbuhan kredit hanya di angka 6,02 persen. Jika kondisi ekonomi normal, maka angka ekonomi tumbuh 6,5 persen dan pertumbuhan kredit bisa mencapai 15-18 persen.
“Angka 6,02 persen tersebut hanya sepertiga dari target seharusnya. Sehingga mempengaruhi daya jual dan daya beli masyarakat bawah. Ini hanya 6,02 persen atau sepertiganya. Tidak aneh di bawah uang susah sekali dan penjualan anjlok banget karena uang yang beredar sedikit karena kesedot untuk bayar utang,” tuturnya. (bm)