SURABAYA, PETISI.CO – Merasa menjadi korban ketidakadilan sehingga ‘terusir’ dari rumahnya, Suhartatik Messakh bertekad akan berjuang terus. Sampai mendapatkan keadilan.
Dia pun menggugat perbuatan melawan hukum, melawan para pihak. Yakni, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Panitera PN Surabaya, Jurusita PN Surabaya, dan PT Ciputra Development Tbk.
Menurut Suhartatik, gugatannya bermula dari dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Panetera Pengadilan Negeri Surabaya dan jurusita. Atas eksekusi pengosongan rumahnya, di Bukit Telaga Golf Blok TA6, Kav Nomor 27, Kelurahan Jeruk, Kecamatan Lakarsantri Surabaya.
Perkara pengosongan rumah itulah yang dianggap Suhartatik cacat hukum dan tidak berkeadilan.
Dikatakan, dalam persidangan perkara 316/Pdt.G/2019/ PN Sby, pada agenda pembuktian surat ada dua penetapan. Mempunyai register yang sama yaitu 77/Eks/2018/PN Sby jo 987/Pdt/G/2014/PN Sby.
“Yang dikeluarkan oleh Sudjatmiko Ketua Pengadilan Negeri Surabaya pada saat itu, dan sudah di-anmaning,” tegas Suhartatik kepada awak media, Rabu (25/11/2020).
Dia menjelaskan, sudah di-anmaning dan sudah ada mediasi. Juga ada pertemuan pada saat ketua PN nya Sudjatmiko, namun eksekusi tidak dijalankan. Tidak bisa dilakukan eksekusi karena masih ada gugatan lainnya.
“Putusannya memang tidak dapat dijalankan,” tandas Suhartatik sambil menunjukkan berkas terkait gugatannya.
Namun pada 12 Desember 2019, lanjut Suhartatik, dia menerima surat pemberitahuan eksekusi pengosongan rumahnya.
Eksekusi itu berdasarkan penetapan yang nomer registernya sama dengan yang pertama, yang dikeluarkan 14 November 2019. Ditandatangani oleh Djamaluddin (panetera).
“Saya temukan di dalam persidangan, daftar bukti oleh turut tergugat. Diantaranya Citraland dan tertugat 1,2,3 (Ketua PN, Panetera dan Jurusita,” jelas Suhartatik.
Atas fakta tersebut, kata dia, jelas adanya perbuatan melawan hukum. Penetapan yang dikeluarkan dengan register yang sama, namun dikelurakan pada 14 November 2019 itu bukan Ketua PN yang menandatangi tapi Djamaludin yang menandatangani.
“Hak dari mana Djamaluddin bisa menandatangani eksekusi itu. Harusnya yang menanda tangani Ketua PN. Jelas ada pelanggaran. Dugaan saya pelanggaran berat,” kata dia.
Penetapan itu lanjut Suhartatik tidak ada anmaning dan tidak pernah ada mediasi apapun. Perintah eksekusi pun tidak ada sama sekali.
“Namun tiba-tiba pada 16 November 2019 rumah saya sudah dieksekusi,” kata dia bernada tinggi.
Terkait adanya dua bukti di dalam pembuktian ada surat yang berbeda, Suhartatik menjelaskan, berbeda dan bertentangan dengan amar putusan. Berbeda juga dengan penetapan yang dikeluarkan Sudjatmiko tanggal 22 November 2018. Keduanya punya nomer register yang sama. (pri)