Saksi Ahli : Bisa Diajukan Gugatan Jika Salah Satu Pihak Mengalami Kerugian

oleh -119 Dilihat
oleh
Tim Kuasa Hukum Pengugat yang diketuai Ir Eduard Rudy Suharto SH (tengah) memberikan keterangan pers

Polemik Bayi Tabung Berlanjut

SURABAYA, PETISI.CO – Sidang pemeriksaan polemik bayi tabung klinik Ferina masih berlanjut pemeriksaannya oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Sidang di ruang Candra PN Surabaya, Rabu (4/10/2017) kali ini digelar dengan agenda mendengarkan keterangan ahli Dr Ari Purwadi SH MHum dari Fakultas Hukum Perdata Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya.

Dalam keterangannya, ahli mengatakan bahwa sesuai pasal 1313 BW, pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa yang mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana para pihak tersebut saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, yang kemudian dari peristiwa tersebut timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.

“Bisa dilakukan secara lisan maupun tertulis. Sedangkan berdasarkan isi pasal 1320 BW, perjanjian itu sah apabila memenuhi 4 syarat, antara lain, Sepakat, Kecakapan, Hal tertentu dan Causa (sebab),” terangnya.

Artinya, perjanjian itu sudah bisa dikatakan sah kendati kedua belah pihak cukup menyebutkan kata ‘sepakat’ saja, meski tanpa dilengkapi bentuk formalitas secara tertulis, terlebih dalam perjanjian itu dilengkapi hal pendukung lainnya.

“Disitu perjanjian sudah mulai diberlakukan sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya,” jelasnya.

Perjanjian yang dibuat para pihak, dijamin kepastian hukumnya berdasarkan Asas Pacta Sunt Servanda dalam suatu perjanjian.

Soal adanya asas itikad baik dalam sebuah perjanjian, ahli mengatakan pelanggaran asas itikad baik dapat diajukan tuntutan ganti rugi.

“Pelanggaran atas kewajiban beriktikad baik pada suatu persetujuan dapat berakibat adanya tuntutan ganti kerugian baik berdasarkan wanprestasi atau berdasarkan perbuatan melanggar hukum,” ujarnya.

Lalu, apakah yang dimaksud dengan perjanjian antara dokter dengan pasiennya, ahli menyebut itu merupakan perjanjian terapeutik.

Secara yuridis, perjanjian terapeutik diartikan sebagai hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medis didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu dibidang kesehatan.

Persetujuan yang terjadi antara dokter dengan pasien bukan hanya dibidang pengobatan tetapi lebih luas, yaitu mencakup diagnostik, preventif, rehabilitatif, maupun promotif, maka persetujuan ini disebut perjanjian/transaksi terapeutik.

Sedangkan hal yang terdapat pada perjanjian terapeutik ini, bisa diajukan gugatan apabila salah satu pihak mengalami kerugian. Hal itu berdasarkan rumusan Pasal 1365 BW, yang menyebut tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugiaan itu, mengganti kerugian tersebut.

Saksi juga mengatakan bahwa perbuatan melanggar hukum lebih diartikan sebagai sebuah perbuatan ‘melukai’ (injury) dari pada pelanggaran terhadap kontrak (breachofcontract).

Apalagi gugatan perbuatan melanggar hukum umumnya tidak didasari dengan adanya hubungan hukum kontraktual. Pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati disebut wanprestasi dan pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan wanprestasi.

Untuk diketahui, menurut kuasa hukum penggugat, Ir Eduard Rudy Suharto SH gugatan dengan nomor perkara 325/Pdt.G/2017/PN.Sby ini terkait janji kelahiran bayi berjenis kelamin lelaki, melalui program bayi tabung di klinik Ferina milik dr AH, namun ternyata hasilnya bayi perempuan.

Dalam kuitansi yang diterbitkan pihak klinik, memang disebutkan prediksi kegagalan mendapatkan bayi lelaki bisa saja terjadi, namun hanya sebesar 15 persen melalui program bayi tabung tersebut.

“Namun kenyataannya, kegagalan mengalami 100 persen alias tidak berhasil sama sekali,” ujar Rudy.

Menurut ahli Arie, hal itu sudah bisa menunjukan unsur wanprestasi dalam sebuah perjanjian. “Bila hasil akhir tidak sesuai dengan janji awal, maka dengan itu unsur wanprestasinya sudah terpenuhi,” ujar Arie.

Bermula ketika pasutri TH-ES menginginkan anak laki-laki. Konsultasi kemana-mana, ketemulah klinik kesehatan Ferina milik Dokter AH pada 2015. “Klien saya pasangan normal, sudah punya satu anak perempuan, sekarang usia dua tahun. Tapi ingin anak laki-laki,” ujar Eduard yang juga menjabat sebagai Ketua DPC Kongres Advokat Indonesia (KAI) Surabaya ini.

Singkat cerita, TH-ES mengikuti program bayi tabung di klinik miik dokter AH. Selain secara langsung, keduanya juga berkonsultasi aktif melalui aplikasi WhatsApp dengan staf klinik. Dalam satu obrolan WA, klinik memberitahukan kepada penggugat ada empat hasil embrio.

“Satu (embrio) laki, satu perempuan, satu tidak bagus, satu lagi rusak,” kata Eduard menjelaskan percakapan WA antara klikik dengan ES, sembari menunjukkan bukti WA itu.

“Klien saya memilih embrio laki-laki. Ada biayanya tertentu yang harus dibayarkan. Saya ada bukti kuitansinya,” tambahnya.

Ditanamlah embrio tabung itu ke rahim ES. Saat usia kandungan enam bulan, klien Eduard mengalami pendarahan. Dia menyebut kliennya tiga kali mengalami kondisi kritis. Saat itu pula diketahui jenis kelamin janin ES perempuan, bukan laki-laki seperti dijanjikan awal.

Yang dikesalkan pasutri ini, selama masa kritis, Dokter AH terkesan menghindar. Dia, kata Eduard, juga tidak merespons ketika diminta rekomendasi dokter anak dimana bisa didatangi.

“Akhirnya bayi tabung klien kami dilahirkan paksa secara prematur. Saat lahir, kondisinya memprihatinkan,” ucapnya.

Sebetulnya, lanjut Eduard, gugatan terpaksa dilayangkan ke PN Surabaya karena tidak ada iktikad baik dari Dokter AH. IDI Surabaya ikut digugat karena diduga menyidangkan kode etik AH secara nonprosedural.

“Klien kami hanya menuntut Dokter AH mengakui kesalahannya atas janji-janji palsunya secara tulus,” katanya.

Sidang dilanjutkan pekan depan masih dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari pihak tergugat. (kur)