Sidang Korupsi Pembangunan Pasar Besar Madiun, Saksi Sebut Ada Upeti

oleh -99 Dilihat
oleh
Para saksi yang dihadirkan JPU dari KPK

SURABAYA, PETISI.CO – Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya kembali menggelar sidang perkara dugaan korupsi pembangunan Pasar Besar Madiun, yang melibatkan Walikota Madiun non aktif Bambang Irianto (BI) sebagai terdakwa, Selasa (9/5/2017).

Sidang digelar dengan agenda mendengarkan keterangan saksi. Kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Fitroh Rohcayanto dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan lima saksi dari kalangan pengusaha. Empat diantaranya merupakan ketua asosiasi pengusaha kontraktor.

Keempat saksi mulanya ditanya mengenai pembangunan Pasar Besar Madiun. Dan bagaimana keterlibatan mereka. Keempatnya kompak menjawab hanya sebatas tahu saja. Tapi tidak pernah ikut proses tender.

“Saya sempat ditawari jadi sub kontraktor oleh Musa Supriyanto (mantan kuasa direksi PT Lince Romauli Raya), tapi tidak jadi. Alasannya tidak jelas,” terang Yayat Prawira Sumantri, ketua Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional (Gapeknas).

Setelah itu, jaksa banyak bertanya tentang bagaimana prosedur perijinan dan upeti berupa fee proyek kepada BI. Yayat menerangkan, setiap tahunnya setidaknya ada 100 paket proyek di bidang konstruksi. Jumlah itu terdiri dari proyek penujukan langsung (PL) dan tender. “Setiap April-Mei kami rapat untuk ploting proyek, semua pengusaha dapat,” terangnya.

Hal tersebut diperkuat oleh kesaksian Sutomo, Ketua Gapeksindo Madiun. Dia mengaku pernah dihubungi Parni (mantan Kepala bagian administrasi pembangunan sekretariat daerah) untuk meminta uang Rp 200 juta. Uang itu untuk fee proyek pemasangan listrik di Stadion Wilis.

“Saya serahkan langsung ke terdakwa di rumahnya, namun nilainya hanya Rp 75 juta,” jelas Sutomo.

Sedangkan Rochim Rudianto mantan ketua Aksindo Madiun menyatakan besaran fee tiap proyek. Besarannya adalah 5% untuk pembangunan jalan, 7% untuk pembangunan gedung dan 10% untuk proyek saluran. “Itu didasarkan tingkat kesulitan pengerjaannya,” bebernya.

Tentang pembayarannya,  Sukarman Ketua Gakindo Madiun mengungkapkan bahwa untuk paket proyek PL pembayarannya dilakukan di awal. Setelah ditunjuk, pemilik perusahaan harus membayar fee yang ditentukan. Batas waktu pembayarannya ada seminggu setelah penunjukan.

“Kalau tidak dibayarkan, akan diganti dengan kontraktor lain, menurut pak Parni, itu perintah BI,” jelasnya.

Berbeda dengan proyek yang membutuhkan proses lelang. Pembayarannya upeti fee proyek adalah setelah termin pertama cair. Setelah menang lelang pihaknya langsung ditelepon, mengingatkan untuk segera membayar fee.

“Pada akhir 2012 ditagih oleh pak Sadikun karena setorannya kurang,”  terang Sukarman.

Sedangkan Gunadi Sindoro, Francise Manager PT Indomaret Cabang Surabaya lebih banyak ditanya seputar mekanisme perijinan pendirian toko. Namun, Gunadi merasa selama ini tidak pernah ada masalah. “Kalau untuk perijinan lancar-lancar saja,” tukasnya.

Kuasa Hukum terdakwa, Indra Priangkasa menekankan kepada siapa uang itu sebenarnya diberikan. Namun, keempat saksi menjawab tidak melihat sendiri apakah uang itu diberikan kepada BI atau tidak. “Saya hanya tahu kalau itu akan disetorkan ke Bapaknya,” tutur Yayat.

Pembayaran fee hanya ke Parni dan Sadikun saja. Indra sempat mengejar berapakah nilai uang yang disetorkan. Namun saksi mengaku tidak ingat. “Harus jelas ini berapa uang yang disetorkan,” tandas Indra.

Atas perkara ini, BI dijerat pasal berlapis oleh jaksa, antara lain pasal Pasal 12 huruf I, pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. (kur)