SMAN 12 Surabaya, Patuhi Regulasi, Santuni Siswa Kurang Mampu

oleh -1070 Dilihat
oleh
Para siswa baru SMAN 12 Surabaya, saat kegiatan MPLS.

SURABAYA,PETISI.CO – Lembar Kerja Siswa (LKS) merupakan salah satu jenis alat untuk membantu pembelajaran sekolah selain buku paket. Secara umum, LKS merupakan pendukung pembelajaran ketika berada di rumah dalam menambah ilmu pengetahuan. Dimana LKS juga untuk memaksimalkan pemahaman dalam pembentukan kemampuan.

Dalam pelaksanaannya, pihak sekolah dilarang keras untuk memaksakan kepada siswa membeli buku atau LKS, terutama kepada siswa dari keluarga kurang mampu. Larangan ini diatur dalam peraturan pemerintah (PP), maupun Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan.
“Regulasinya sudah jelas,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jatim Aries Agung Paewai, S.STP, MM, kepada petisi.co, Rabu malam (30/08/2023).

Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Jawa Timur Aries Agung Paewai, S.STP, MM

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, melarang pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, menjual buku pelajaran, bahan ajar, seragam sekolah atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan.

Sedangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 75/2016 tentang Komite Sekolah Pasal 12 ayat 1, ditegaskan, Komite Sekolah baik perseorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam atau bahan pakaian seragam di sekolah.

Kedua regulasi tersebut membuktikan negara hadir dan memberi jaminan pendidikan gratis bagi siswa-sisa calon penurus bangsa. Untuk itu, dibutuhkan inovasi dan strategi bagi para pendidik untuk menjalankan regulasi yang ada,   tapi menghasilkan siswa-siswa beraklak dan berkualitas.

SMAN 12 Surabaya adalah salah satu dari ribuan SMA di Jatim yang saat ini terus berinovasi, untuk peningkatan kualitas serta akhlak bagi  para siswanya.

Ditemui petisi.co di kantornya, Kepala Sekolah SMAN 12, Drs. R. Achmad Djunaidi, M.Pd, menyampaikan, berbagai inovasi telah dilakukan dalam proses pembelajaran di SMAN 12 Surabaya.

Bahkan, kata Pak Djun, panggilan sehari-hari Achmad Djunaidi,  di SMAN 12 Surabaya ada tradisi dan budaya baru sebelum pulang sekolah, anak diminta untuk Sholat Ashar berjamaah.

Menurutnya, mungkin hal tersebut tidak terdapat di sekolah negeri lainnya, dan meskipun statusnya adalah sekolah negeri, namun agama dinomersatukan.

“Karena ketika anak itu sholatnya bagus, maka yang lainnya ikut. Alhamdulillah respon anak-anak bagus dan mereka melaksanakannya. Kenapa kita minta untuk sholat jamaah sebelum pulang, karena pertimbangannya Surabaya itu macet dan khawatirnya sampai di rumah kelamaan, capek, akhirnya ndak Sholat Ashar,” ungkap Pak Djun.

Kepala SMAN 12, Drs. R. Achmad Djunaidi, M.Pd

Achmad Djunaidi, menjelaskan, dengan sudah melaksanakan Sholat Ashar di sekolah, maka kemungkinannya mereka tidak punya ‘hutang’ di jalan untuk Sholat Ashar, dan bagi para guru tidak berbuat dosa.

“Sementara, untuk yang agama non muslim sama, juga kita kumpulkan dan didampingi, untuk pembinanya juga dari guru-guru non muslim di SMA 12 ini. Ada toleransi dan keberagaman disini, sementara untuk ekstra kurikuler akan dilaksanakan setelah pulang sekolah dan maksimal sampai pukul 17.00 WIB,” terang Kasek SMAN 12 Surabaya.

Dikatakannya, untuk di SMAN 12, tentang instruksi dari Kepala Dinas Pendidikan terkait tidak adanya pengadaan kain seragam sudah dilaksanakan.

“Untuk koperasi tetap ada, tapi tidak boleh melaksanakan pengadaan kain seragam, dan kami sudah taati,” tegas Djunaidi.

Kemudian untuk alat-alat pelajaran yang lain, termasuk buku sudah disediakan oleh negara melalui dana BOS, yang diberikan pinjaman kepada seluruh siswa SMAN 12 dan tidak membeli buku paket.

Para siswa SMAN 12 Surabaya(dok)

“Jadi semua diberikan pinjaman buku paket, kalau untuk penggunaan LKS itu ada, tapi tidak dijual di sekolah dan beli diluar, juga bisa di online. Jadi bebas. Kalaupun ada isu yang berkembang seakan-akan guru yang meminta untuk membeli di tempat-tempat tertentu, LKS itu untuk membantu proses belajar, karena tidak cukup hanya dengan buku paket, namun demikian anak tetap tidak diwajibkan membeli LKS tersebut dan sekali lagi tidak ada kewajiban,” jelasnya.

Menurutnya, dengan menulis juga boleh, jadi tidak ada ketentuan siswa untuk beli atau tidak membeli. Artinya, bahwa LKS itu hanya pendukung pembelajaran ketika anak-anak belajar di rumah untuk memperdalam ilmu.

“Jadi ini yang perlu digarisbawahi, untuk pembelian buku itu jangan dianggap semata-mata hanya pengeluaran cost (biaya,red) di rumah,” ujarnya.

Jadi, anggaplah itu sebagai prestasi, sehingga ilmu itu nantinya bermanfaat kedepan dan akan dirasakan, bukan saat ini, karena jangka panjang beli buku itu.

“Harapan saya, kalau memang ada masalah bisa dikomunikasikan dengan sekolah apa keluhannya. Kami menyadari, memang warga siswa SMAN 12 tidak semua ekonominya bagus, tentu jika ada kemauan dari orang tua yang merasa keberatan bisa disampaikan, kita diskusikan dan insyaallah ada solusi yang baik dari sekolah,” katanya.

Siswa SMAN 12 Surabaya, generasi harapan bangsa.

Karena, kata Djunaidi,  di SMAN 12 ini ada bantuan untuk siswa dan ada orang tua asuh. Di situ akan mem-back-up anak-anak yang tidak mampu, dimana sumber dayanya? dari guru-guru serta anak-anak juga, itu dipergunakan untuk membeli kebutuhan mereka yang ndak mampu,” tutur Achmad Djunaidi.

Memang, asumsi pendidikan gratis itu, kata Djunaidi, sering digaungkan oleh mereka. Sehingga merasa semuanya harus tanpa biaya. “Kebetulan memang kami punya lembaga untuk mem-back-up yang sumberdayanya dari guru dan anak anak.”

“Namanya teman asuh, yang di setiap bulannya kita santuni anak yang tidak mampu tadi, kami lakukan pendataan terkait anak-anak di SMAN 12 yang tidak mampu, mulai kelas 11 dan 12, setelah itu kita lakukan penggalian dana kepada yang mampu atau mau untuk menjadi orang tua asuh,” pungkasnya.(bah/joe)

No More Posts Available.

No more pages to load.