Surat Ijo : Carut Marut Dunia Pertanahan Surabaya

oleh -268 Dilihat
oleh

Oleh: Willy Innocenti*

Baru-baru ini kita ketahui fenomena Surat Ijo yang kian hari kian mengundang aksi. Pasalnya, Surat Ijo ini lahir pada era 1965 dan kini pun tak kunjung henti. Bagaimana tidak, Surat Ijo tersebut berkaitan erat dengan pertanahan warga

Meningkatnya kebutuhan warga akan tanah juga mengundang desakan kejelasan status Surat Ijo yang diidamkan. Sistem retribusi dan kompensasi yang berlebih menjadikan banyak pihak turun demonstarsi, demi kepastian dan kebebasan berhuni.

Kita tidak akan menemukan konsep Surat Ijo dalam kamus pertanahan Kota Surabaya. Surat Ijo hanya dimaknai sebagai surat izin pemakaian tanah (IPT), hanya saja dibalut map warna hijau.

Saat ini tercatat sekitar 46.881 persil yang ditempati warga dikenakan status IPT oleh Pemkot Surabaya, sedangkan Pemkot belum bisa membuktikan secara jelas bukti kepemilikan atas tanah tersebut.

Alhasil, banyak kalangan menilai, Pemkot melakukan klaim sepihak atas tanah warga. Dikarenakan, rata-rata tanah yang diklaim oleh Pemkot merupakan tanah yang ditempati oleh warga hingga mereka beranak-pinak.

Klaim yang dilakukan Pemkot juga tidak disusul dengan ganti rugi yang sepadan kepada warga. Sehingga, tak heran jika tindakan Pemkot tersebut dimaknai oleh banyak pihak sebagai tindakan yang melebihi penjajah.

Warga pemegang Surat Ijo dikenakan ketentuan retribusi berkala. Pembebanan retribusi terhadap warga pemegang Surat Ijo tidak akan menjadi opsi terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan, dikarenakan warga diharuskan membayar retribusi yang membebani dan dipaksa membayar ganti rugi jika ingin memiliki.

Hal ini justru hanya menguras ekonomi warga demi pendapatan pemerintah. Padalah, dalam fitrah Hukum Agraria, Pemkot mempunyai wewenang dalam membebankan hak atas tanah diatas hak pengelolaan yang dikantongi oleh Pemkot.

Hak atas tanah seperti Hak Guna Bangunan (HGB) akan lebih menguntungkan warga. Selain mempunyai status yang jelas, pemegang HGB terbuka kemungkinannya untuk memperoleh kredit yang diperlukan. Tanah yang dipunyainya dapat dibebankan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Undang-undang nomor 4 tahun 1996.

Namun yang menjadi catatan adalah, sebelum tanah tersebut dibebankan hak atas tanah, wajib dibuktikan sertifikasi hak pengelolaan terlebih dahulu. Dalam kasus ini, Pemkot harus membuktikan alas hak yang jelas jika ingin menyerahkan bagian-bagian tanah kepada pihak ketiga.

Konsep IPT (Surat Ijo) dengan sistem retribusi tersebut dapat katakan sebagai konsep sewa-menyewa yang bertentangan dengan peraturan. Secara holistic, sistem Hukum Agraria kita tidak membenarkan adanya praktek persewaan diatas tanah Negara, dikarenakan Negara bukan pemilik tanah, melainkan hanya hak menguasai terhadap tanah sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 44 dan 45 UUPA.

Sekarang pertanyaannya, apakah sistem IPT (Surat Ijo) mempunyai unsur yang sama dengan sewa menyewa?

Retribusi yang dibebankan oleh Pemkot terhadap pemegang IPT (Surat Ijo) dipayungi oleh ketentuan Undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Disisi lain, ketentuan sewa menyewa diatur dalam pasal 1548 KUHPerdata. Jika definisi yuridis diatas dibenturkan, maka jelas memuat kesamaan unsur-unsur antara sistem sewa dengan IPT.

Kedua-duanya dimaknai sebagai: (1) persetujuan kedua belah pihak (yakni pemkot dengan warga), (2) memakai barang pihak lain (tanah pemkot) dengan tujuan memanfaatkannya, (3) dan terdapat kewajiban membayar selama periode tertentu bagi penikmat barang (warga kepada pemkot).

Apabila benang merah ditarik diatas ciri-ciri yuridis tersebut, maka pada prinsipnya konsep IPT dengan sistem retribusi merupakan kegiatan sewa-menyewa. Agar samar tidak terlihat melanggar, praktik ini dikemas nama cantik “retribusi pemakaian kekayaan daerah” sebagai legitimasi sewa tanah yang tidak dibenarkan oleh undang-undang.

Apabila Pemkot telah mengantongi bukti kepemilikan asset yang dijadikan obek IPT (Surat Ijo) sebagai tanah Pemkot, maka bukan hak sewalah yang dapat dibebankan, melainkan adalah hak atas tanah selain hak sewa.

Dikarenakan tidak ada konsepsi hak milik oleh pemerintah melainkan hak penguasaan sebagaimana frasa “dikuasai” pada pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945. Pada kasus ini Pemkot telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, dikarenakan hak penguasaan (hak pengelolaan dan hak pakai) bukanlah hak milik yang menjadi alasan pembenaran praktek persewaan.

Terlebih, apabila memang nyatanya Pemkot tidak bisa membuktikan alas hak yang jelas, maka praktek persewaan atau retribusipun tidak turut dibenarkan oleh undang-undang.

Kekayaan daerah yang masuk dalam wilayah retribusi, seharusnya terdaftar dalam inventaris barang milik daerah, karena perolehan barang tersebut membebani APBD.

Perolahan barang milik daerah, dalam konteks ini adalah tanah yang dijadikan objek IPT harus dibuktikan track record pengeluaran APBD atau sumber lain yang sah berdasar pasal 1 angka 16 Permendagri nomor 19 tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Dalam kasus ini, apabila 46.881 persil tanah dibebankan IPT diatasnya, maka Pemkot juga harus mampu membuktikan secara jelas bukti perolehan tanah seluas itu. Pembuktian ini diharuskan agar tercipta kepastian hukum yang mampu menjawab permasalahan.

Namun, jika nyatanya Pemkot tidak mampu membuktikannya, maka tanah tersebut harus dikembalikan kepada pemilik tanah, yakni warga yang menguasai secara fisik.

Pemkot tidak bisa seenaknya menjadikan tanah yang tidak jelas status kepemilikannya sebagai invetaris barang milik daerah lalu dibebankan retribusi jika warga memakainya.

Hal ini dikarenakan sebagian dari tanah tersebut nyatanya banyak yang telah menguasainya secara fisik hingga turun termurun. Penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh seseorang dapat dijadikan pembuktian hak lama atas tanah berkaitan dengan pendaftaran hak (paragraph 2 pasal 24 ayat 2 PP no 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah).

Sehingga logikanya, bagaimana bisa Pemkot mengatakan tanah miliknya sedangkan objeknya berada dalam penguasaan warganya lebih dari 20 tahun berturut-turut?

Rasa ketidakadilan ini rupanya akan bermuara pada suatu frasa yang berbunyi “demi kekayaan dan pendapatan daerah”.

Perda yang dikantogi oleh Pemkot Surabaya dalam mengeksekusi setiap programnya hendaknya juga memuat idealisme produk hukum yang dicita-citakan. Muatan unsur filosofis, yuridis dan sosiologis harus senantiasas melekat disetiap peraturan yang dilahirkan.

Akan sangat mengecewakan apabila Perda yang dibuat tidak mampu melihat kondisi warga secara nyata, atau dengan kata lain, tidak mengandung unsur sosiologis.

Pada gilirannya, suatu sistem yang lahir dari dasar hukum yang cacat tersebut akan melahirkan hasil yang cacat pula dalam menjawab problematika yang ada.

Dalam konteks ini, keinginan dan kehendak warga Surabaya harus menjadi sumber semua kebijakan pemerintah kota.  Inilah asas masalah yang harus kita kaji sebagai refleksi, bukan hanya konteks problematika daerah, tapi juga seluruh Nusantara.(#)

*) penulis adalah Aktivis Departemen Advokasi Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Dewan Pimpinan Cabang Surabaya /DPC PERMAHI Surabaya)

 

No More Posts Available.

No more pages to load.