Tarik Ulur Jabatan Presiden 3 Periode

oleh -88 Dilihat
oleh
Oleh:  Z. Saifudin, S.H., M.H*

Wacana jabatan Presiden 3 periode merupakan bentuk penghianatan konstitusi. Bentuk melanggengkan kekuasaan. Cara memangkas dogma demokrasi. Jalan memotong arah kompas dari amanah reformasi.

Terlepas ada titipan dan pesanan. Baik disengaja oleh oknum atau pihak tertentu, wacana publik terkait penambahan masa waktu jabatan Presiden sebagai bentuk makar konstitusi.

Hukum

Persoalan hukum tentunya sudah paten dan terbungkus adanya Pasal 7 UUD 1945. Jabatan Presiden maksimal hanya 2 kali. Tidak boleh lebih. Tanpa harus ditafsir lagi. Sudah tertutup oleh norma hukum pasal tersebut. Itulah mandat awal reformasi. Dalam pembatasan kekuasaan. Agar terhindar dari perilaku absolut dan abuse of power.

Amandemen konstitusi sejak tahun 1999-2002 sebanyak 4 kali prioritas utama dan pertama adalah pembatasan kekuasaan. Pasal 7 tersebut adalah produk norma hukum amandemen pertama tahun 1999.

Pasal 7 UUU 1945  berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Jika kita cermati tiap redaksional dalam Pasal tersebut sudah mengikat agar tidak ada lagi celah terbuka untuk melanggengkan kekuasaan. Setelah redaksional “lima tahun” ditutup dengan “hanya untuk satu kali masa jabatan”.

‘Jike mencermati original intent dan putusan MK No. 40/PUU-XVI/2018 (norma hukum untuk Wakil Presiden) juga sudah jelas. Walau secara eksplisit putusan MK tersebut mempersoalkan substansi berturut-berturut atau tidaknya jabatan. Akan tetapi dapat kita pahami ada pembatasan sebuah jabatan dalam Pasal tersebut hanya 2 periode saja.

Politik

Wacana 3 periode jabatan Presiden ini disampaikan baik dari kalangan pemerintah juga oposisi. Disaat masih dianggap masa pandemi ini, stabilitas politik makin panas. Tafsir dan persepsi liar dari publik pun muncul secara beragam. Hal ini tentunya dapat menganggu kinerja kabinet. Apalagi bagi Presiden.

Para tokoh politik dan publik juga pastinya akan memasang strategi tersendiri. Apalagi jika sudah ada Parpol yang telah ada kesepakatan dan deal politik dengan para tokoh tersebut. Apalagi mengingat masih panas suasana tentang kudeta dan KLB Partai Demokrat. Masih dianggap ada indikasi dugaan keras keterlibatan dari pihak atau oknum pemerintah. Situasi politik ini juga seraya masih menunggu kepastian sah dan tidaknya Partai Demokrat milik AHY atau Moeldoko. Ini juga akan menjadi barometer tentang tarik ulur politik nasional.

Gimick politik dari masing-masing pimpinan dan tokoh Parpol bisa dijadikan sebagai tolak ukurnya. Belum lagi dari simpul para simpatisan yang memframing pembenaran. Dikuatkan dengan hasil para surveyor bayaran. Menggiring opini publik seolah-olah ada pembenaran layak untuk menjabat 3 periode?. Apakah benar akan terealisasi kehendak bersama suara untuk merubah konstitusi?. Apakah juga sebenarnya Presiden menginginkan jabatan lagi?. Semua pihak masih normatif saat menyampaikan pernyataan publik. Masih bersayap.

Peluang 3 Periode

Jika mengingat komparasi dari negara lain sebagai analisa tambahan, maka  konstelasi politik negara memang menjadi tolak ukur utama. Pun juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan. Negara Amerika periodesasi jabatan Presiden tiap 4 tahun sekali, Negara Korea Selatan dan Perancis tiap 5 tahun sekali. Negara Filliphina tiap 6 tahun sekali. Saat ini Duterte masih menjabat sebagai Preisden. Adanya usulan perubahan konstitusi menambah masa jabatan Presiden. Sampai 8 tahun. Walau terkendala persoalan tarik ulur partai dan sistem federal.

Negara Rusia juga tiap 6 tahun sekali. Hal ini tidak terlepas dari tokoh sentral yaitu Putin. Bergantian menjadi Perdana Menteri dan Presiden sejak tahun 1999-2018 (4 kali). Mengiringi pergantian sistem pemerintahan. Fakta ini juga berdampak terhadap polemik perubahan konstitusi dengan cara referendum dulu. Berpotensi melanggengkan kekuasaan sampai 2036 mengingat Putin setelah masa jabatan habis pada 2024 akan tetap mengikuti konstestasi Pilpres. Hal ini disampaikan secara terang dan jelas serta terbuka di depan publik.

Lalu Indonesia dengan masa periodesasi sekarang masih setiap 5 tahun sekali akan seperti apa?. Mengingat koalisi mayoritas ada di dalam pemerintahan dengan 6 Parpol menguasai kursi parlemen. Sangat mugkin dan bisa saja terjadi peluang 3 periode jabatan Presiden terjadi. Kuatnya kepentingan dan kekuasaan akan membawa frekuensi yang sama untuk melanggengkan kekuasaan. Memang jalan konstitusi sebagai jalur hukum adalah amandemen ke-5 UUD 1945. Hal tersebut bukan mustahil dapat dilakukan jika semua anggota dari 6 Parpol sepakat untuk mengadakan perubahan UUD 1945.

Solusi

Memang tidak ada larangan merubah konstitusi. Ini murni kewenangan MPR berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945. Jika sampai merubah hanya untuk kepentingan pelanggengan kekuasaan ini yang tidak tepat dan perlu banyak pertimbangan serta analisa yang tajam. Tidak serta merta langsung mengadakan perubahan konstitusi.

Jika mengingat konstelasi politik, kehidupan demokrasi dan arah bangsa sampai saat ini. Memang tidak tepat dilakukan amandemen agar jabatan Presiden 3 periode. Dalam pandangan Penulis, tolak ukurnya sebagai uji coba dalam sistem Presidential dengan multi Parpol di Indonesia adalah idealnya jabatan Presiden 2 periode dapat dipertahankan sampai tahun 2045. Inilah parameter pertama dengan adanya jeda waktu terlebih dahulu.

Sekarang ini belum waktunya. Masih banyak konflik kepentingan. Masih terlihat belum ada negarawan sejati. Biar kokoh dan kuat fondasi kehidupan hukum dan demokrasi Indonesia. Pasca minimal tahun 2045, tidak ada salahnya dibuka celah amandemen konstitusi mempersoalkan tambahan atau opsi lain tentang jabatan Presiden. Kita tunggu dan kawal bersama.(#)

*)Penulis adalah Direktur Law Firm Pedang Keadilan & Partners,  penulis buku “STRONG LEADERSHIP DALAM QUASI PRESIDENTIAL (Indonesia Negara Demokrasi Terbesar Dunia)”

No More Posts Available.

No more pages to load.