Telaah Kritis Putusan MK tentang UU Cipta Kerja

oleh -164 Dilihat
oleh
Oleh: Z Saifudin, SH, MH*

UU Cipta Kerja telah diputus oleh MK. Sebuah alternatif jalan atau kah ketidakberanian? Dalam sejarah, MK telah berani membatalkan UU BHP secara keseluruhan. Apakah sifat “Inkonstitusional Bersyarat” dianggap jalan tengah dari MK? Agar lepas dari tekanan?

Terlepas pro dan kontra. Patut diapresiasi. MK telah menampar pemerintah khususnya. MK dapat menjaga marwah kelembagaan untuk memberikan tafsir pada UU Cipta Kerja. Lalu apakah pemerintah peka merasa ditampar? Dapat dengan tegas akan taat pada putusan MK? Mari kawal bersama.

Amar Putusan MK

MK telah memberikan pertimbangan dan putusan terkait uji materi atas UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ada 4 hakim MK yang bersikap dissenting opinion yaitu Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Perdebatan tersebut menunjukan adanya dialektika akademis dalam memaknai UU Cipta Kerja. Ada ruang perbedaan pandangan.

Jika dicermati sudut pandang para hakim MK adanya perdebatan negara hukum atau tidak dalam hal positivistik atau progresif. Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 setebal 448 halaman telah menguraikan sejumlah perdebatan norma hukum. Cara pandang dan perspektif hakim MK masing-masing juga dapat dicermati. Termasuk arah dan tujuannya. Pun juga perspektif berpikir para hakim MK.

Menarik bagi Penulis untuk dicermati dan telah menjadi perdebatan publik adalah dalam amar putusan atas pokok perkara permohonan (hal. 416-417). Pada point ke-3 ini paling penting berbunyi Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”.

Pada redaksional inilah sifat dan sikap dari MK menilai UU Cipta Kerja. Penegasan jeda waktu hanya 2 tahun dan jika melebihi akan inkonstitusional dengan sendirinya (point ke-5 dan 6). MK juga memberikan warning keras aturan turunan (PP dan Perpres) jika dilihat dari atribusi dari UU Cipta Kerja tidak boleh dikeluarkan lagi (point ke-7). Sampai saa ini ada 45 PP dan 4 Perpres. Bahkan dapat dimaknai revisi pun tidak boleh. Revisi adalah dapat dimaknai membuat aturan baru.

Dalam putusan MK tersebut bisa dikatakan MK mengambil jalan tengah. Tidak mengabulkan seluruhnya atau dengan tegas juga tidak menolak permohonan. Jalan tengah yang dilakukan oleh MK yaitu dengan memberikan putusan yang bersifat “Inkonstitusional Bersyarat”. Hal ini juga masih debatable. Paling tidak sikap MK ini tidak banyak membuka celah open legal policy saja untuk diserahkan memaknai pada lembaga legislaif. Melainkan penegasan ada cacat formil terhadap proses pembentukan UU Cipta Kerja.

Makna Inkonstitusional Bersyarat

Konsep “Inkonstitusional Bersyarat” merupakan bagian dari sejumlah sifat putusan MK yang telah dikeluarkan selama ini. Selain itu ada juga sifat “Konstitusional Bersyarat”. Bisa jadi ini adalah pilihan terbaik dari alternatif tidak baik yang ada. Bisa juga sebagai solusi atas jalan kebuntuan. UU Cipta Kerja diberikan ruang dengan jaminan “bersyarat”. Apa artinya?. Selama 2 tahun jika pemerintah dan DPR tidak dapat melakukan revisi, maka dengan sendirinya dan secara otomatis UU Cipta Kerja akan “Inkonstitusional”. Otomatis tidak berlaku lagi. UU sebelumnya akan berlaku kembali. Prasyarat inilah merupakan win-win solution dari putusan MK.

Dalam kasuistis kasus jika kita cermati sifat Putusan MK baik yang bersifat konstitusional dan inkonstitusional yang bersyarat sejak tahun 2008 ada. Konstitusional bersyarat ada di putusan MK saat uji materi UU Pemilu (No.10 tahun 2008) dalam putusan MK No.10/PUU-VI/2008 pada Juli 2008. Sedangkan sifat putusan MK yang inkonstitusional bersyarat terdapat dalam uji materi UU Pemda (No. 32 Tahun 2004 jo No. 12 Tahun 2008) dalam putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 pada Maret 2009.

Lalu jika kita komparasikan dengan putusan MK dari UU Pemda?. Jelas MK memberikan tafsir sifat inkonstitusional bersyarat karena alasan ada pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Melanggar aturan materiil. Selain itu juga bertentangan dengan prinsip equality before the law. MK juga memberikan tafsir, makna bersyarat agar memenuhi 4 syarat secara materiil. Substansi pasalnya yang bermasalah. Bukan prosesnya.

Bertolak dari makna ini, walau secara tidak langsung MK memberikan pemaknaan pasal-pasal tidak bertentangan dengan UUD 1945?. Jelas makna sifat yang inkonstitusional bersyarat. Bermuara dari embrio ada norma hukum yang bermasalah. Tidak melulu persoalan formil saja. Lagi-lagi ini perdebatan dalam memaknai dan membaca amar putusan MK. Kesatuan. Utuh dan tidak dapat dipisahkan jika ingin ditafsirkan secara konsisten.

Sikap Pemerintah dan DPR

MK telah menampar Pemerintah khususnya. DPR pada umumnya. UU Cipta Kerja merupakan inisiatif dari pemerintah. Hal ini memang hak dari pemerintah jika akan mengusulkan sebuah RUU (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945). Tamparan halus dari MK ini akan diterjemahkan oleh pemerintah seperti apa?. Mampu tidak selama maksimal 2 tahun akan melakukan revisi terhadap UU Cipta Kerja?. Sejauh ini pasca putusan MK pemerintah melalui Kemenko Perekonomian dan bahkan Presiden telah memberikan pernyataan resmi. Itu masih secara umum saja.

Melalui kementerian terkait khususnya dari Kemenko Perekonomian sebagai koordinator dan muara draft usulan RUU Cipta Kerja akan disusun kembali. Butuh berapa lama?. Ini adalah tantangan bagi pemerintah. Naskah akademik selayaknya disebar luaskan pada publik. Jika sudah ada. Tidak secara sembunyi-sembunyi seperti awal lahirnya UU Cipta Kerja. Dalam keadaan ini DPR tinggal akan menerima draft saja bersamaan Surat Presiden (Surpres) jika sudah resmi selesai disusun oleh pemerintah. DPR dan pemerintah tinggal melakukan pembahasan bersama (Pasal 20 ayat (2) UUD 1945). Pada pembahasan ini akankah mengalami deadloack?.

Anasir Politik

MK memberikan jeda waktu maksimal revisi UU Cipta Kerja wajib selesai maksimal 2 tahun. Ini artinya masih ada waktu sampai tanggal 25 November 2023 (sejak putusan MK dibacakan). Lalu apa anasir politik yang mewarnai?. Kontestasi pemilukada dan pemilu nasional khususnya Pilpres akan menjadi jalan dan irama revisi UU tersebut akan diselesaikan. Pada Februari 2024 KPU sudah memberikan usulan agar digelar pemungutan suara pemilu nasional. Mengingat banyak Parpol koalisi mayoritas ada di dalam pemerintah. Deal-dealan politik akan dapat rentan terjadi. Rawan dan akan saling sandra. Banyak kepentingan bisa masuk.

Berbeda dengan Parpol yang ada di luar pemerintah. Sikap terhadap UU tersebut sejak awal sudah memberikan penolakan. Pengusul UU Cipta Kerja adalah pemerintah. Tentunya kepentingan juga akan dekat dan melekat dengan pemerintah. Khususnya pada klaster investasi dan ketenagakerjaan dari 11 klaster serta 79 UU yang ada.

Pendanaan bakal calon yang akan berkontestasi khususnya pada pemilu nasional bisa jadi akan memanfaatkan investor yang akan masuk ke Indonesia. Disisi lain, masing-masing Parpol juga memiliki jagoan masing-masing yang akan diusung dalam bursa Pilpres 2024.

Sangat mudah sekali RUU tersebut dapat lolos ketika draft sudah selesai. Kemudian dilakukan pembahasan di Badan Legislasi (pembahasan tingkat 1) sebelum disahkan dalam rapat paripurna DPR (pembahasan tingkat 2). Parpol dalam koalisi pemerintah bisa senafas dan satu frame untuk memuluskan pengesahan RUU tersebut. Pertanyannya adalah apakah publik akan dilibatkan?. Apakah seperti awal penyusunan UU Cipta Kerja tidak melibatkan partisipasi publik?

Sebuah Solusi

Putusan MK telah menegaskan dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja telah gagal memenuhi aspek formil. Lalu apakah aspek materiil juga?. Bagi Penulis aspek materiil secara tidak langsung dipersoalkan (makna point ke-7 amar Putusan MK). Hal ini berdasarkan larangan MK menerbitkan aturan baru dan jika tidak ada persoalan norma hukum dari aturan  induknya kenapa MK memberikan larangan tersebut?

Pemerintah tidak boleh gagal paham memahami perinah MK. Tidak boleh diambil yang menguntungkan pemerintah saja. Apalagi menafsirkan sesukanya saja. Tidak mau memperbaiki sejumlah norma hukum yang selama ini banyak ditentang oleh publik.

Tentu khususnya bagi pemerintah sebagai pengusul UU tersebut dapat lebih aktif dan inisiatif untuk menyerap aspirasi publik. Banyak melakukan sosialisasi. Tidak boleh tertutup. Tidak boleh anti kritik. Saat melakukan revisi UU tersebut.

Kaidah dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (No.12 Tahun 2011) merupakan pedoman awal dalam proses penyusunan sebuah UU dan keterlibatan publik melalui public hearing. Berdasarkan Pasal 67 UU tentang PPP, pada tingkat 1 (proses rapat komisi, gabungan komisi, Baleg, Banggar dan Panitia Khusus, misalkan Panja). Kemudian di Badan Musyawarah (Bamus) untuk dijadwalkan pada pembahasan tingkat 2 (akhir) di Sidang Paripurna DPR untuk pengesahan sebuah RUU.

Walaupun MK lebih menekankan pada proses yang salah, akan tetapi pemerintah juga masih ada kesempatan mempertimbangkan materi muatan norma hukum yang ada dalam setiap pasal. Dengan metode omnibus law ada sekitar 79 UU dikodifikasi menjadi 1 produk RUU. Ada sekitar 1244 pasal. Hal ini mengingat saat akan dilakukan pengesahan terhadap UU Cipta Kerja dahulu sejumlah kebijakan pemerintah yang termuat dalam pasal-pasal banyak menuai penolakan dari publik. Terkesan masih banyak merugikan khususnya pada pekerja. Hal ini jika mengacu dalam domain klaster ketenagakerjaan. Itu pun belum pada klaster yang lain. Masih banyak pasal-pasal kontroversi.

Revisi yang dilakukan pemerintah jangan melulu memperbaiki prosesnya. Pun juga kebijakan yang diambil pemerintah agar selaras dengan aspirasi publik. Revisi norma hukumnya. Sebagai induk dari aturan turunan. Ini kesempatan. Pemerintah harus memanfaatkan kesempatan atas putusan MK. Bukan mengabaikan.(#)

*)penulis adalah Direktur Law Firm Pedang Keadilan & Partners / Constitutional Lawyer

No More Posts Available.

No more pages to load.