Umrah Ilegal Tanpa Izin: Saat Negara Terlalu Lembut pada yang Salah dan Terlalu Keras pada yang Taat

oleh -208 Dilihat
oleh
Ulul Albab, Ketua ICMI Orwil Jawa Timur (nomer dua dari kiri)

FENOMENA “umrah mandiri” atau umrah yang diselenggarakan oleh pihak individu maupun kelompok tanpa izin resmi dari Kementerian Agama kini marak dijumpai di media sosial dan grup-grup pertemanan. Mereka menjajakan paket umrah dengan harga murah, tanpa izin sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), namun tetap memberangkatkan jamaah ke Tanah Suci.

Sayangnya, alih-alih ditertibkan, keberadaan mereka seperti tak tersentuh hukum. Padahal, menurut regulasi yang berlaku, penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah hanya boleh dilakukan oleh lembaga yang telah memiliki izin resmi sebagai PPIU. Dalam Pasal 86 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, disebutkan dengan jelas bahwa:

“Setiap orang yang menyelenggarakan perjalanan ibadah umrah tanpa izin sebagai PPIU dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000.”

Namun fakta di lapangan berkata lain. Praktik umrah ilegal ini terus berjalan tanpa pengawasan berarti, sementara pemerintah justru lebih keras dan ketat kepada PPIU resmi. Kesalahan administratif kecil seperti keterlambatan laporan atau perubahan teknis perjalanan langsung disikapi dengan ancaman pembekuan akun Siskopatuh (Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus).

Mengapa negara lebih keras kepada yang taat, dan seolah “ompong” terhadap yang nyata-nyata melanggar?

PPIU yang legal harus memenuhi berbagai persyaratan ketat—mulai dari aspek perizinan, kesiapan SDM, mitra di Arab Saudi, perlindungan jamaah, hingga pelaporan berkala. Semua itu demi memastikan kenyamanan dan keamanan jamaah. Tapi saat muncul pihak-pihak yang terang-terangan melanggar, dengan iming-iming “umrah murah ala backpacker”, tidak ada tindakan berarti. Ini adalah bentuk ketidakadilan regulatif dan pembiaran sistematis.

Tak hanya itu, masyarakat pun akhirnya terjebak oleh narasi “mandiri lebih hemat”, padahal risiko kehilangan tiket, ditolak di imigrasi, gagal ibadah, hingga telantar di Tanah Suci bisa mengintai kapan saja.

Jika negara terus diam, maka ini akan menjadi preseden buruk yang merugikan:

  1. Merugikan jamaah – karena tidak ada jaminan perlindungan hukum atau asuransi.
  2. Membunuh usaha resmi – karena PPIU tidak bisa bersaing dengan harga di luar sistem.
  3. Merusak tata kelola umrah nasional – karena regulasi tak lagi dihormati.

Sudah saatnya pemerintah menegakkan hukum secara berkeadilan

Jangan hanya keras pada yang sudah patuh. Tegakkan pasal pidana pada pelaku perjalanan ilegal demi menyelamatkan umat dari praktik perjalanan yang berpotensi merugikan. Kementerian Agama, aparat hukum, dan semua pemangku kepentingan perlu meningkatkan pengawasan, penindakan, dan edukasi masyarakat.

Lebih dari itu, asosiasi-asosiasi penyelenggara umrah perlu bersatu. Jika perlu, keluarkan mosi tidak percaya sebagai bentuk desakan moral kepada pemerintah agar regulasi ditegakkan secara adil. Sebab jika tidak, penyelenggara resmi akan mati pelan-pelan karena kalah oleh mereka yang berjalan tanpa aturan.

Islam mengajarkan bahwa kebaikan harus dibangun dengan cara yang baik. Termasuk dalam ibadah umrah—yang mestinya dilaksanakan dengan penuh ketundukan, bukan dengan akal-akalan.

Penutup

Mari bersama-sama membangun sistem penyelenggaraan ibadah yang amanah, legal, dan melindungi umat. Jangan biarkan ibadah mulia ini dirusak oleh praktik ilegal yang bebas dari pengawasan. Negara wajib hadir. Umat wajib sadar. Dan penyelenggara resmi wajib bersatu. (*)

*Penulis adalah: Ulul Albab, Ketua Litbang DPP Amphuri, Ketua ICMI Jawa Timur

No More Posts Available.

No more pages to load.