Pengamat: Campaign Program Lebih Elegan Daripada Kampanye Konflik

oleh -67 Dilihat
oleh
Surokim Abdussalam

SURABAYA, PETISI.CO – Dua kontestan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sudah saatnya meninggalkan model kampanyenya. Model kampanye konfliktual nirrespek pada lawannya, harus berubah dengan menonjolkan program kerja.

“Pilpres tinggal tiga hingga empat bulan. Saatnya kedua pasangan menonjolkan program kerja dalam kampanyenya. Model kampanye yang menghujat sudah harus ditinggalkan,” kata pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam kepada petisi.co, Jumat (4/1/2019).

Sesuai jadual KPU, jadual kampanye dimulai sejak 23 September 2018 dan berakhir pada 13 April 2019. Sedangkan, pilpres akan digelar secara serentak bersama pemilu legislatif (pileg) akan digelar 17 April 2019.

Menurut Surokim, seiring dengan pertumbuhan pemilih rasional, semestinya model kampanye konfliktual nirrespek pada lawan itu harus mulai ditinggalkan. Model kampanye mematik emosi itu sifatnya pendek dan rentan serta tidak berbasis vortue apa-apa.

Di sisi lain, politisi kita masih senang cara instan dan ingin serba cepat didalam meraih suara. Jalan pintas itu salah satunya, yakni mematik emosi karena struktur demografi pemilih kita sebagian besar masih berpendidikan dan ekonomi menengah bawah.

“Makanya jangan heran kalau narasi-narasi kampanye pilpres yang dibangun lebih banyak memproduksi narasi-narasi mamalia homohominilupus yang saling meniadakan nirrespek pada lawan hanya semata-mata untuk memenangkan kekuasaan tanpa bisa menjaga marwah politik bermartabat yang insaniah. Sesungguhnya, itu tidak sedang membangun peradaban politik adiluhung, hanya sekadar membangun kontestasi konfliktual,” paparnya.

Ke depan, lanjut peneliti Surabaya Survey Center (SSC) ini, pola kampanye yang sudah dilakukan sebelumnya, seharusnya sudah bergeser ke arah program kerja. Kapasitas kompetensi program visi misi track record jika ingin membangun peradaban politik yang lebih baik harus dilakukan oleh kedua pasangan.

Namun, dia pesimis melihat para kontestan bisa membangun narasi positif dalam pilpres. Politik mamalia masih lebih dominan daripada politik insaniah. Padahal, jika mau membaca data swing and undecided voters yang 20%, bahkan bisa lebih, dia menduga pemilih rasional yang menunggu kampanye berbasis rasionalitas program di atas.

“Pemilih swing dan undecided voters itu yang akan memenangkan pertarungan siapa saja yang bisa merebut suara itu peluang menang cukup besar. Dan, itu sebagian besar adalah pemilih rasional yang sedang menunggu kampanye lebih cerdas dan berbasis program,” papar dosen politik UTM ini.

Pihaknya khawatir jika dalam tiga hingga empat bulan para kontestan tidak segera merubah cara kampanyenya dan masih menggunakan pematik narasi emosional yang menyerang pribadi dan seterusnya, undecided dan swing voters itu malah akan jadi golput.

“Semestinya para kontestan lebhi cerdas membaca trend dan pergerakan suara rasional ini yang semakin tumbuh baik sekarang. Saya pikir akan efektif apalagi kalau bisa disertai dengan solusi dan jalan keluar yang rasional. Apalagi pemilih di luar area juga terus berkembang seiring dengan semakin melek politik, saya pikir akan lebih elegan jika mulai dengan campaign program,” jelasnya.

Suko Widodo

Terpisah, pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Suko Widodo memiliki pandangan sendiri. Dalam pandangannya, masing-masing pola kampanye yang dilakukan oleh Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga punya kelebihan dan kelemahan.

Untuk model langsung ke bawah, pengaruhnya kuat, tapi perlu energi banyak untuk menemui konstituen. Sedangkan pola kampanye kelompok, misalnya di pondok lebih ditentukan kekuatan tokoh tokoh lokal.

“Pertemuan Publik atau meet the people memang menjadi kunci utama dalam keberhasilan meraup dukungan. Sekalipun di era milenial, pertemuan dengan publik atau warga tetap merupakan komunikasi paling efektif,” ucapnya. (bm)

 

No More Posts Available.

No more pages to load.