PERMAHI DPC Surabaya Kecam Kekerasan Kemanusiaan di Rohingnya

oleh -47 Dilihat
oleh
Ketua PERMAHI DPC Surabaya, Yudo Adianto Salim

SURABAYA, PETISI.CO Kasus kekerasan yang terjadi di Rohingnya lambat laun semakin membabi-buta. Kurang lebih 10 ribu warga Rohingnya terpaksa mengungsi dan melarikan diri. Mereka tak bisa melangsungkan hidup di tanah air mereka, sehingga terpaksa berimigrasi ke wilayah tetangga.

Tercatat setidaknya 400 orang dikabarkan dibunuh hingga ribuan rumah di berbagai wilayah dibakar oleh militer Myanmar. Aksi keji ini tak lain adalah masalah kemanusiaan yang dari dulu tak luput dari perhatian global.

Berbagai langkah perlu diambil segera oleh bangsa-bangsa di dunia, organiasi swadaya internasional, hingga masyarakat sipil untuk turut serta membantu menyelesaikan atau setidaknya meredakan isu rohingnya yang dewasa ini kerap terdengar di telinga kita.

Asas utama lingkaran permasalahan ini adalah Hak Asasi Manusia. Bagaimana tidak, pemerintah Myanmar secara terang-terangan menyatakan “Rohingnya are not our people, We have no duty to protect them”. Kalimat ini menegaskan bahwa kaum Rohingnya (perbatasan Bangladesh- Myanmar) bukanlah warga negara Myanmar.

Status Unrecognized Civilian tersebut menjadi asumsi publik Myanmar bahwa Rohingnya adalah penduduk illegal. Dengan begini, apa yang termaktub dalam pasal 15 Universal Declaration of Human Rights, “Everyone has the right to a nationality” tidak benar-benar dipahami dan diterapkan oleh pemerintah Myanmar. Karena status kenegaraan mereka tak diakui, pemerintah Myanmar menganggap eksistensi Rohingnya menjadi sebuah ancaman bagi negara mereka, tegas Willy Innocenti selaku Dept. Advokasi PERMAHI DPC Surabaya

Dominasi kaum Myanmar juga merupakan faktor penghambat penyelesaian kasus ini. Kaum Burma kerap kali tak mampu menerima etnis Rohingnya di negara mereka.

Perlakuan buruk dari kaum mayoritas (Burma) terhadap kaum minoritas (Rohingnya) kerap kali terjadi. Mulai dari sektor pekerjaan (mata pencaharian), kepercayaan (agama), hingga budaya. Banyak pihak mulai berpikir bahwa kerusuhan ini tak dapat ditakar hanya dari segi HAM saja, namun juga telah mengakar pada sektor ekonomi, budaya serta agama.

Banyak Negara di dunia prihatin atas kasus rohingnya, termasuk Indonesia. Indonesia sebagai Negara yang menghormati hak asasi manusia turut menyayangkan masalah ini tak kunjung henti. Sebagai warga Negara Indonesia, kita patut bereaksi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ketua PERMAHI DPC Surabaya, Yudo Adianto Salim bahwa, “Kita prihatin atas krisis kemanusian yang terjadi di Myanmar dan mengutuk keras adanya pembantaian etnis muslim Rohingnya.

Pemuda yang biasa dipangil Adi ini menyatakan, bahwa sudah kewajiban kita dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana tertulis dalam pembukaan UUD 1945.

Mahasiswa yang tengah menempuh S2 di FH Unair tersebut menegaskan, bahwa kasus tersebut patut dikecam dan dikutuk karena tak selaras dengan perikemanusiaa dan keadilan.

“Selain itu kami mendorong pemerintah Indonesia untuk dapat berpartisipasi menciptakan perdamaian dalam kasus pembantaian etnis  Rohingnya, sudah sepantasnya Indonesia sebagai basis negara muslim terbesar di dunia menjadi garda terdepan dalam proses penyelseian di rohingnya.”

Krisis kemanusiaan etnis muslim Rohingnya menjadi faktor penggerak DPC Permahi Surabaya dalam mendorong dunia Internasional, khususnya Indonesia untuk bersikap dalam meredakan kasus ini.

Konvensi Internasional tentang hak sipil dan politik (ICCPR) pun juga menjadi konvensi yang diciderai oleh masalah ini. Tak heran jika jutaan masyarakat internasional turut tergerak dalam memberi bantuan materil maupun moril sebagai bentuk reaksi mereka terhadap peristiwa ini.

Empati sosial tak kunjung henti dalam memerangi kasus Rohingnya. Sedikit banyak bantuan global menjadi peringan beban kaum Rohingnya dalam mengarungi penderitaan sosial mereka.(red)