Glaukoma Demokrasi

oleh -1324 Dilihat
oleh
Hadi Prasetyo

Oleh: Hadi Prasetyo*

KETIKA kualitas proses demokrasi berjalan tidak baik-baik saja, dan ketika kuantitas electoral menjadi satu-satunya ukuran dalam praksis politik kekuasaan, maka demokrasi kita terkena penyakit glaucoma.

Ibarat penyakit mata, glaucoma adalah kondisi mata yang dapat menyebabkan kebutaan. Berbagai jenis dan tingkat glaucoma, merujuk pada saraf yang menghubungkan mata ke otak rusak, karena tekanan mata yang tinggi.

Pada glaucoma demokrasi, tekanan dapat berupa permainan politik praktis kekuasaan, antara lain berupa:

  1. Intimidasi, tentu oleh mereka yang punya kekuasaan, terkait kasus hukum, black-mail aib diri dsb
  2. Transaksi electoral, baik berupa money politic (bagi mereka yang mata duitan baik karena kondisi miskin pas-pasan atau matrek), dan juga karir kemakmuran (bagi mereka yang berideologi kemakmuran diri baik jabatan birokrasi, jabatan politik, maupun jatah proyek dan sejenisnya).
  3. Pemanfaatan kelompok voter floating mass (biasanya silent majority) yang cenderung abai (ignorance) tentang nilai demokrasi, juga mereka yang awam makna dan konsekuensi nilai demokrasi, pragmatis serta oportunistik.

Permainan politik praktis kekuasaan yang menyebabkan glaucoma demokrasi ini tentu merupakan tindakan illegal bila didasarkan ketentuan UU tentang demokrasi yang netral, jujur dan adil. Hal yang demikian tentu juga mengandung kecurangan dalam suatu proses kontestasi politik. Kecurangan dalam definisi apapun merupakan tindak pidana.

Persoalannya dalam suatu suksesi, kemenangan harus dilengkapi dengan legitimasi (pengakuan formal). Maka permainan politik praktis yang berisi kecurangan harus dibungkus dengan rapi dan apik sesuai ketentuan peraturan perUU suksesi demokrasi yang seharusnya.

Politik di Indonesia tidak bisa terlepas dari berbagai kepentingan dari dunia internasional, yang dalam millenium ke-3 dewasa ini kapitalisme makin mendominasi peradaban dunia global. Negara dan kapital atau pemerintah dan pasar adalah dua hal yang tidak sepenuhnya bisa dipisahkan.

Ayn Rand dalam Capitalism (1970) menyebutkan 3 asumsi dasar kapitalisme: kebebasan individu, kepentingan diri dan pasar bebas. Dalam perkembangan mazab kapitalisme dunia dewasa ini mendominasi hubungan dalam dua kutub. Pertama, ketergantungan kaum yang tidak berpunya kepada pemilik kapital, Kedua dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi kapital.

Maka ketika pemerintah diintervensi dan dikontrol oleh kaum kapital (pemodal kaya), itulah sejatinya “plutokrasi” (menurut definisi Merriam-Webster.

Akumulasi kapital cenderung bersifat serakah (greedy), dan bila berkolaborasi dengan kekuasaan, maka tidak bisa tidak harus “curang” (cheating/fraud). Menurut Jonathan Gash: “ Fraud is the daughter of greed”. Persoalannya “curang”nya harus disamarkan dalam prosesi suksesi demokrasi yang netral, jujur dan adil (sesuai UUD/UU yang berlaku di Indonesia).

Lebih lanjut Suzy Kassem mengatakan: “when plutocracy is disguised as a democracy, the system is beyond corrupt” (Ketika plutokrasi disamarkan sebagai demokrasi, sistemnya sudah sangat korup).

Dalam konteks suksesi presiden dalam Pilpres 2024 di Indonesia, issue kecurangan dan stigma plutokrasi sangat mewarnai perdebatan public. Siapa yang mau dituduh curang? Jawabnya tidak ada!. Siapa yang mau dicurangi? Jawabnya tidak ada! Lalu apa curang itu benar-benar ada?

Kalau harus diputuskan ada atau tidak ada, maka kembali ke prinsip negara hukum yang (konon katanya) berkadilan. Tetapi dengan berbagai preseden kasus hukum sebelum ini yang secara telanjang dipertontonkan, apakah masih ada lembaga hukum (dan maaf integritas hakim) yang masih menghormati etika hukum/moral?

Dalam suksesi politik kekuasaan, menang secara (dipaksakan) legal saja tidak cukup harus ada legitimasi (pengakuan secara ikhlas) dari rakyat. Tanpa legitimasi tidak akan ada kondusivitas pemerintahan, apalagi mampu membawa ke era Indonesia emas 204, karena legitimasi rakyatlah yang membangun partisipasi pembangunan.

Bagaimana mungkin kelas ekonomi menengah Indonesia yag lagi booming dalam bonus demografi dewasa ini, bisa melewati middle income trap, bila situasi pemerintahannya tidak kondusiv akibat plutokrasi yang disamarkan dalam demokrasi. Bagaimana Indonesia bisa maju bila silent majority tidak segera menyadari bahwa mereka sebagian besar sudah terkena glaukoma demokrasi yang makin akut.

Kalau kesadaran rakyat dalam bernegara dan berbangsa, dalam konteks glaucoma demokrasi, ibarat sudah rusak syaraf-syarafnya (baik individual maupaun kelembagaan) yang menghubungkan ke “otak” (baca hati hurani orang baik), maka kebutaan itu pasti dan masa depan mungkin tidak suram lagi tetapi gelap.

Pada akhirnya plutokrasi yang disamarkan sebagai demokrasi, serta kecurangan yang melahirkan kekecewaan dan delegitimasi yang makin besar, meluas dan masiv, akan melahirkan chaos, betapapun penguasa mampu memainkan manajemen konflik diantara rakyat.

Kekecewaan melahirkan kebencian. Dan kesombongan yang terus menerus dari kelompok plutokrasi, misal seperti kalimat: “Anda hebat bila bisa mengalahkan saya” atau misal seperti kalimat tweet “Cara menaklukkan anjing adalah dengan memberinya tulang. Ahai!”, akan melahirkan dendam kesumat.

Seperti kata Friedrich Nietzsche: It is imposible to suffer without making someone pay for it; every complaint already contains revenge.

Atau quote John Dryden: “Waspadalah terhadap kemarahan orang (rakyat) yang (kelihatannya) sabar”.

Dalam khasanah Jawa, tanpa pulung orang bisa menjadi raja, tetapi hanya sementara. Karena kekuasaan dan kedaulatan hanya milik Tuhan. Kebangkitan dan kejatuhan hanya soal waktu. Tetapi seburuk-buruknya kejatuhan seyogyanya yang soft landing, bahkan husnul khotimah. Bukan kejatuhan yang hina, yang dikenang sepanjang masa.

Saya membatin, yang dicari apa to pak? Jangan mainkan kekuasaan melampaui batas terluar (outer limit) karena batas itu menyentuh kedaulatan Tuhan.

*penulis adalah pemerhati sosial politik

No More Posts Available.

No more pages to load.