Jaran Goyang Jejak Mantra Santet

oleh -142 Dilihat
oleh
Ritual Jarang Goyang (ilustrasi)

MALANG, PETISI.CO – Jaran Goyang berakar dari budaya masyarakat Osing, kelompok etnik yang dianggap sebagai penduduk asli Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Etnis Osing saat ini mendiami sekitar 11 kecamatan dari 24 kecamatan di kabupaten paling ujung timur Pulau Jawa ini.

Di Jelaskan Oleh KRHT Gus Ripno Waluyo, SE, SPd, SH, (Spiritualis, Budayawan, Prajurit Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat), Jaran Goyang, setahun ini, sedang booming setelah menjadi lagu yang dibawakan penyanyi dangdut koplo, Nella Kharisma.

Lagu ciptaan Andi Mbendol itu berada di urutan ketiga video paling populer di YouTube pada 2017. Jumlah penikmatnya terus merangkak. Hingga 16 Februari 2018, video lagu Jaran Goyang di Youtube telah ditonton 140.601.207 kali, sejak dipublikasikan oleh DD Star Record pada 26 April 2017.

KRHT Gus Ripno Waluyo, SE, SPd, SH

Lagu tersebut menuai popularitas karena mengangkat kisah yang lekat dengan kultur masyarakat, terutama masyarakat pedesaan. Di Banyuwangi, jaran goyang telah masyhur sebagai mantra guna-guna.

Di tanah kelahirannya, Jaran Goyang juga menjadi mantra yang paling populer dibandingkan mantra lainnya. Namun, sebagai salah satu jenis santet, keberadaannya masih berselimut stigma hitam, pasca tragedi politik pembunuhan orang yang diduga dukun santet pada 1998-1999.

Dijelaskan KRHT Gus Ripno Waluyo, ritual Jaran Goyang, tidaklah mudah. Sebab prosesi ritual berupa pengucapan mantra harus dilakukan setiap tengah malam dan berpuasa selama 40 hari. Selain mantra sebagai sarana verbal, dibutuhkan media lain seperti foto, rokok atau merica.

Pelaku kesenian tradisional yang lekat dengan tradisi bermantra. Dalam kesenian Banyuwangi mantra seringkali dipakai saat pertunjukan untuk menarik perhatian dari penonton.

Keberadaan dukun yang memakai mantra Jaran Goyang saat ini tak sebanyak 15 atau 20 tahun lalu. Sekitar 2001-2002, misalnya, dia masih menjumpai 10an lebih dukun yang mengunakan mantra Jaran Goyang yang tersebar di sejumlah desa di Banyuwangi dan sekitarnya.

“Kini, sebagian besar dukun itu telah tutup usia. Modernitas dan trauma tragedi 1998 juga membuat para dukun tidak mewariskan kemampuan kepada anak-anaknya. Sekarang zaman sudah berubah, orang-orang mulai jarang memakai Jaran Goyang,” tutur Gus Ripno.

Ragam mantra bermagi kuning di Banyuwangi sebenarnya cukup banyak, tapi Sabuk Mangir adalah yang paling populer. Demikian juga Jaran Goyang, merupakan yang paling terkenal dari sekian banyak mantra bermagi merah. Beberapa desa seperti Desa Kemiren, Olehsari, Mojopanggung, Glagah, Watukebo dan Mangir, dianggap yang memanfaatkan mantra Jaran Goyang.

Jaran Goyang populer karena tidak hanya dimiliki oleh dukun, tetapi dapat digunakan oleh masyarakat Osing pada umumnya. “Berbeda dengan mantra bermagi putih dan hitam yang hanya digunakan oleh dukun,” tambah Gus Ripno.

Mantra bermagi merah, cenderung lebih kasar dan buruk ketimbang magi kuning. Orang yang terkena Jaran Goyang seringkali menjadi tergila-gila dengan berteriak-teriak memanggil nama pemantranya. Mantra pengasihan tersebut lebih dikenal dengan santet. Istilah ini juga berasal dari bahasa Osing, yakni, akronim dari frasa mesisan kanthet (biar terikut) atau mesisan benthet (biar retak).

Menurut Gus Ripno Waluyo ,esensi utama dari santet adalah pengasihan, baik antar sesama mahluk hidup termasuk binatang dan tumbuhan maupun antara laki-laki dan perempuan.

Orientasi akhir dari penggunaan santet sebenarnya adalah terbentuknya perkawinan harmonis yang dilandasi kasih sayang. Termasuk juga merekatkan kembali hubungan kekeluargaan termasuk hubungan suami-istri.

“Jadi santet sangat berbeda dengan sihir. Santet merupakan ngelmu pengasihan, sedangkan sihir ngelmu untuk mencelakakan atau membunuh,” pungkas Gus Ripno. (grw/cah)