Kenaikan Angka Perkawinan Anak di Ponorogo Bisa Saja Disebabkan Pendidikan Yang Rendah

oleh -78 Dilihat
oleh
Dosen Bidang Kependudukan dan Kesehatan Reproduksi FKM UNAIR, Dr Lutfi Agus Salim SKM MSi

SURABAYA, PETISI.CO – Kenaikan angka perkawinan anak di Ponorogo bisa saja disebabkan oleh pendidikan yang rendah. Hal itu setelah Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, mencatat pada tahun 2022 terdapat 198 permohonan pengajuan dispensasi kawin usia anak. Pengajuan dispensasi pernikahan (Diska) tersebut didominasi oleh hamil di luar nikah.

Dosen Bidang Kependudukan dan Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR), Dr Lutfi Agus Salim SKM MSi menanggapi permasalahan itu.

Lutfi menjelaskan, perkawinan anak terjadi bisa disebabkan oleh empat faktor utama. Di antaranya faktor pendidikan, pemahaman agama yang sempit, ekonomi, dan sosial budaya.

Remaja mencoba melakukan aktivitas seksual di masa berpacaran dengan pasangannya, sehingga mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan akhirnya terpaksa terjadi pernikahan anak.

Perkawinan anak cenderung berdampak pada pihak perempuan. Secara umum, dampak yang timbul antara lain dampak pendidikan, ekonomi, psikologi, dan kesehatan. Terlebih jika melihat kasus yang ada di Ponorogo yang disebabkan kehamilan yang tidak diinginkan tentu akan berdampak pada segi kesehatan.

“Menikah muda berisiko tidak siap melahirkan dan merawat anak, berisiko kelahiran prematur, anak yang dilahirkan stunting, dan bisa membahayakan keselamatan bayi dan ibunya sampai pada kematian. Perkawinan anak juga mempunyai potensi terjadinya kekerasan seksual dan gangguan kesehatan reproduksi,” jelas Lutfi.

Menurut Lutfi, diperlukan penegakan UU Nomor 16 tahun 2019 tentang batasan usia minimum pernikahan, yaitu 19 tahun dengan tindakan serius seperti penyediaan akses yang sama ke pendidikan dasar dan menengah yang berkualitas untuk anak perempuan dan laki-laki terutama dalam membahas edukasi seks sejak dini.

“Pemberdayaan anak perempuan secara komprehensif melalui sumber daya pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Termasuk dengan memungkinkan penyediaan informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi,” jelas Lutfi. (cah)