Oleh : Hadi Prasetya*
Prolog
Sekitar setahun lalu ada podcast Akbar Faisal bersama sejarawan terkemuka Arhan Gonggong bertema sejarah korupsi politik Indonesia. Ada satu kalimat menarik yang diungkapkan Arhan, bahwa kata kunci korupsi politik adalah “terdidik tetapi tidak tercerahkan”.
Sedikit mencuplik dialog tersebut, Arhan menyampaikan fakta sejarah ketika M Natsir sebagai Menteri Penerangan saat itu disorot peneliti asing karena jas-nya ada tambalannya.
Juga fakta sejarah dari dokumen yang ditemukan puteri alm Hatta sebagai Wakil Presiden, bahwa pak Hatta ingin beli sepatu Bally tetapi tidak mampu membeli. Masih banyak lagi cerita tentang Syahrir Soekarno dan sebagainya. Saya rasa wajib ditonton.
Yang mengharukan, terungkap bahwa ada masa-masa yang luar biasa ketika negeri ini dikelola oleh orang-orang yang “baik”. Mereka yang terdidik dan tercerahkan. Bukannya waktu itu Indonesia masih miskin (setelah masa kemerdekaan) sehingga tidak ada yang di korupsi?
Jawabannya bukan!
Hampir tidak ada karena memang tokoh-tokoh nasional saat itu terdidik, berdedikasi, berkorban. Mereka memaknai keterdidikannya dengan perjuangan untuk negeri, bukan dengan korupsi dan mempertahankan kekuasaannya dengan ‘membunuhi’ lawan-lawan politiknya.
Bravo Indonesia (saat itu)!
Enam puluh tahun kemudian, masa-masa luar biasa itu sudah hilang ditelan “gelap”. Semakin langka memilih kaum terdidik yang tercerahkan. Hari-hari ini seakan semakin biasa, ada saja tokoh-tokoh dengan gelar sarjana S1, S2, S3 bahkan guru besar yang terlibat korupsi.
Dimasa lalu korupsi bersifat personal; hari-hari ini korupsi sudah melembaga (bahkan ke partai-partai), ke birokrasi (di ke-tiga trias politica), dan sistemik, seakan sudah terbentuk “ekosistem” korupsi yang mapan, dari atas sampai ke bawah ke desa-desa.
Bahkan makin banyak saja kerugian negara yang jumlahnya trilyun dan trilyun.
Paradox Kehidupan 360o
Kegagalan pencerahan sudah merasuki hampir di seluruh kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Paradoks yang muncul dimana masyarakat beragama dan terdidik justru gagal menciptakan kesejahteraan kolektif, dan merupakan cerminan kompleksitas interaksi antara nilai ideal, praktik sosial, dan struktur sistemik.
Mengapa tragedi bangsa ini bisa terjadi? Ada beberapa faktor.
Faktor Agama dalam Praktik Sosial
Jarak antara Doktrin dan Realitas Ritualisasi tanpa Substansi. Agama sering direduksi menjadi serangkaian ritual atau simbol, bukan prinsip etis yang hidup. Ada beberapa contoh dimana elit politik yang rajin beribadah tetapi korup, atau masyarakat yang mengutuk kemiskinan namun enggan mendorong keadilan distributif. Faktor eksklusivisme dan politisasi mungkin juga menjadi penyebab. Nilai universal agama (kasih sayang, keadilan dsb.) terkalahkan oleh kepentingan identitas kelompok.
Faktor Pendidikan yang Tidak Membebaskan
Pendidikan nampaknya makin menjadi alat reproduksi sistem. Sistem pendidikan sering mencetak tenaga kerja untuk pasar, bukan menumbuhkan kesadaran kritis (ref. Paulo Freire: “pendidikan bank”).
Hasilnya, individu terdidik tetapi tidak tercerahkan, mereka mampu bekerja dalam sistem, tetapi tidak pernah mempertanyakannya. Kurangnya pendidikan etika terapan (yang jaman ORLA disebut budi pekerti) sudah pudar dan menghilang.
Pendidikan jarang mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan dengan tantangan nyata (kapitalisme, lingkungan, ketimpangan). Akibatnya, ilmuwan atau profesional terdidik bisa terjerumus dalam mendukung industri yang merusak lingkungan demi profit.
Faktor Demokrasi dan “Kebenaran Baru” yang Menyesatkan
Tirani Mayoritas dan Populisme telah menginfiltrasi demokrasi. Demokrasi memungkinkan “kebenaran” baru (seperti konsumerisme, intoleransi) yang menjadi norma jika didukung suara mayoritas. Contoh: kebijakan populis yang mengorbankan lingkungan atau HAM demi popularitas.
Faktor Korporatokrasi
Kekuatan oligarki dan korporasi telah berlangsung lama membajak proses demokrasi melalui lobi dan pendanaan politik. Kebijakan publik pun banyak yang disusupi semacam ‘malware” yang memfasilitasi elit daripada kesejahteraan umum.
Faktor Peradaban yang Menyimpang
Ada semacam siklus kegagalan moral yang tengah berlangsung dan dibiarkan. Menunjuk Hukum Besi Oligarki (ref. Robert Michels) setiap peradaban cenderung dikuasai oleh elit yang perlahan menjauh dari tujuan awal. Misalnya pada Revolusi Prancis yang awalnya bertujuan egalité justru melahirkan Napoleon.
Faktor Normalisasi Penyimpangan
Penyimpangan nilai (misal korupsi, ketimpangan, ketidak adilan) dinormalisasi melalui budaya dan media. Misal gaya hidup mewah makin dianggap sebagai simbol sukses, meski bertentangan dengan ajaran agama atau prinsip keadilan.
Faktor Pencerahan Semu
Mengapa manusia beragama dan terdidik tidak “tercerahkan”? Pencerahan sejati memerlukan kesadaran kritis untuk melampaui doktrin dan struktur opresif. Banyak orang terjebak dalam “pencerahan palsu” merasa benar karena keyakinan atau gelar, tetapi tidak berani mengkritik sistem yang menindas.
Faktor Keterpisahan Identitas dan Aksi
Manusia modern mudah mengalami “split morality” beribadah di satu sisi, tetapi mendukung kebijakan eksploitatif di sisi lain. Hal ini diperparah oleh algoritma media yang berpotensi mengukuhkan bias (filter bubble).
Mencari Jalan Keluar
Seusai kemerdekaan, Bung Karno menegaskan perlunya kemerdekaan diiringi dengan pembangunan karakter bangsa (Nation Character Building). Pemikiran Bung Karno menunjuk kepada perlunya investasi ketrampilan SDM, investasi material dan investasi mental.
Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah, para wakil rakyat dan masyarakat berbagai elemen pembangunan.
Menyatukan Nilai, Pendidikan Kritis, dan Reformasi Sistemik
Pendidikan Transformatif perlu dikembangkan untuk mengintegrasikan etika, ekologi, dan keadilan sosial ke dalam kurikulum, serta mendorong pembelajaran berbasis realitas (contoh: diskusi tentang dampak kapitalisme global).
Partisipasi Agensi Kolektif
Membangun gerakan sosial yang mengaitkan nilai agama/etika dengan isu konkret (misal perlawanan terhadap oligarki, advokasi lingkungan).
Demokratisasi Substansial
Perlu gerakan kesadaran nasional untuk membatasi pengaruh korporasi dalam politik, memperkuat transparansi, dan mengembalikan demokrasi sebagai alat deliberasi publik, bukan sekadar pemilu.
Spiritualitas Kritis.
Menafsirkan agama sebagai kekuatan pembebasan (Teologi Pembebasan), bukan alat kontrol.
Epilog
Paradoks ini bukan akhir cerita, melainkan tantangan untuk merekonstruksi tatanan yang lebih manusiawi. Pencerahan sejati lahir ketika agama, pendidikan, dan demokrasi tidak lagi menjadi topeng, tetapi alat untuk membongkar ketidakadilan dan menciptakan solidaritas global.
Mengutip pidato Bung Karno (yang bisa dipandang mewakili hati dan pikiran para tokoh bangsa masa kemerdekaan yang terdidik dan tercerahkan):
“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”
“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”
Isi pidato yang mestinya menggugah kita semua dari kantuk dan ketidakpedulian ketika ternyata beberapa tahun terakhir Indonesia menjadi gelap (dan digelapkan). Para penggelap diyakini masyarakat masih bercokol di sistem kekuasaan.
Penggelap yang terdidik dan tidak tercerahkan, bahkan penggelap yang (oleh masyarakat luas dianggap) membangun dinasti dan konspirasi besar, yang berujung tidak saja eksploitasi kekayaan negeri, tetapi juga eksploitasi rakyat untuk menjadi rakyat terjajah.
Terjajah oleh siapa? Ya terjajah oleh karakusan dunia melalui oknum tokoh-tokoh bangsa sendiri yang terdidik tapi tidak tercerahkan karena terperangkap sangat di dalam kemunafikan sejati; yang tidak pernah tahu malu lagi. No “kemaluan” at all!
Para mahasiswa dan pemuda Indonesia yang masih murni dan tidak terpapar virus kemunafikan, tantangan Indonesia gelap gulita makin besar dan menggurita. Bangkitlah! Jangan hanya jadi 10 pemuda, jadilah berjuta-juta pemuda yang menyelamatkan negara dan bangsa ini, sebelum tanah air beta dijual belikan oleh para penggelap. Wallahualam.(#)
*) penulis adalah pemerhati soasial dan politik