Komisi A Soroti Perda Percepatan Pengentasan Kemiskinan

oleh -188 Dilihat
oleh
Drs. Imam Sjafi'i, SH.MH

SURABAYA, PETISI.CO – Wawancara eksklusif bersama, Drs. Imam Sjafi’i, SH.MH, anggota DPRD Kota Surabaya dari komisi A yang juga Fraksi Demokrat Nasdem mengungkapkan pandangannya mengenai upaya percepatan pengentasan kemiskinan dan membahas perbedaan kriteria kemiskinan di Surabaya dengan gambaran nasional, Rabu (9/5/2024).

Pemerintah Kota Surabaya telah menetapkan kriteria Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sebagai kelompok masyarakat miskin yang berhak mendapatkan intervensi. Pada masa puncak pandemi Covid-19, jumlah warga MBR di Surabaya mencapai 1,3 juta jiwa. Namun, melalui verifikasi ulang berdasarkan kriteria Gamis yang diadopsi dari Badan Pusat Statistik (BPS), ternyata hanya sekitar 300 ribu jiwa yang tercatat sebagai warga miskin. Hal ini berarti ada sekitar 1 juta orang yang tidak terdaftar dalam kriteria tersebut.

Drs Imam Sjafi’i menjelaskan bahwa menentukan status kemiskinan bisa menjadi permasalahan yang rumit. Kadang-kadang, memiliki aset seperti sepeda motor atau tinggal di rumah dengan lantai keramik bisa mengakibatkan seseorang dianggap tidak miskin, meskipun aset tersebut merupakan bagian dari keberlangsungan pekerjaan atau merupakan warisan keluarga.

Dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang sedang dibahas, penentuan status kemiskinan akan dilakukan melalui musyawarah di tingkat RT/RW atau kelurahan. Fakta di lapangan, banyak warga yang sebenarnya hidup dalam kemiskinan tetapi tidak tercatat dalam kriteria formal.

“Hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah Kota Surabaya, dan meminta agar proses penentuan status kemiskinan tidak hanya mengacu pada BPS, tetapi juga mengambil referensi dari lembaga seperti World Bank,” jelas Imam Sjafi’i.

Anggota Fraksi NasDem ini juga menyoroti pentingnya pembaruan data kemiskinan secara berkala. Proses kemiskinan dapat terjadi sewaktu-waktu, seperti ketika kepala keluarga meninggal dunia, sakit, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), yang menyebabkan kondisi keluarga jatuh dalam kemiskinan.

Diingatkan pula bahwa memiliki aset seperti sepeda motor atau tinggal di rumah dari hasil peninggalan tidak boleh menjadi faktor utama dalam menentukan status kemiskinan.

Selain itu, Imam Sjafi’i menyoroti metode perhitungan Upah Minimum Kota (UMK) yang menggunakan koefisien konsumsi. Ia berpendapat bahwa penentuan status kemiskinan seharusnya lebih didasarkan pada pendapatan dan pengeluaran tetap. Jika pendapatan tetap tidak mencukupi, maka dapat dikategorikan sebagai miskin.

Imam Sjafi’i menegaskan pentingnya pengawalan terhadap pelaksanaan peraturan daerah ini. Ke depan Perda mengenai percepatan pengentasan kemiskinan ini dapat memberikan payung hukum untuk meningkatkan alokasi anggaran yang diperlukan. Selain itu, pentingnya evaluasi yang berkelanjutan untuk memastikan bahwa upaya pengentasan kemiskinan benar-benar efektif.

“Diharapkan Pemerintah Kota Surabaya menerima masukan dan kritik yang membangun dalam rangka meningkatkan upaya pengentasan kemiskinan, dan perda baru ini akan memberikan dampak yang nyata dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Kota Surabaya,” pungkas Imam Sjafi’i. (joe)

No More Posts Available.

No more pages to load.