Oleh: Mudjaeri*
Kasus korupsi Eleketronik Kartu Tanda Penduduk (E-KTP) memang seru. Bikin heboh. Maklum, bisa dibilang inilah kasus korupsi “raksasa”. Sebab, diduga melibatkan banyak orang. Mereka bukan orang biasa, tapi memiliki kekuasaan. Raksasa karena uang negara yang raib menurut perhitungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekitar Rp 2,3 triliun.
Pokok perkaranya yang telah finis di tingkat Pengadilan Tipikor Jakarta, Irman dan Sugiharto masing-masing divonis 7 tahun dan 5 tahun penjara. Kedua mantan petinggi Ditjen Dispenduk Capil Depdagri ni juga didenda masing-masing Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.
Vonis tersebut dijatuhkan majelis hakim setempat lantaran keduanya terbukti bersalah, yakni melanggar Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keduanya terbukti memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, sehingga menyebabkan negara rugi Rp 2,3 triliun.
Meski sudah finish, namun bukan berarti berakhir. Masih ada tiga tersangka lain yang telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain sang pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, juga Ketua DPR RI Setya Novanto. Awak Senayan lainnya yang juga politisi adalah Markus Nari.
Tentu saja kasus korupsi E-KTP menambah deret kehebohan negeri ini, selain isu terorisme, heboh Perpu ‘’menyapu’’ Ormas dan Pansus KPK. Heboh lantaran orang-orang yang telah dan akan memberikan kesaksian adalah mereka yang memiliki kekuasaan. Minimal bukan orang pinggiran di pusaran kekuasaan.
Selain dari jajaran eksekutif, mereka adalah orang-orang terhormat karena jabatannya sebagai anggota DPR.
Bagi saya dan sebagian masyarakat awam, inilah tontonan gratis yang cukup menyenangkan. Tapi bukan tontonan pelipur lara atas seretnya ekonomi. Bukan pula penghapus dahaga atas ‘’demokrasi’’ ekonomi yang tak melarang penumpukan modal. Tidak juga tontonan yang sejuk.
Ibarat menonton pertandingan sepak bola, berbagai rasa berkecamuk ketika mencermati berita persidangan korupsi E-KTP. Aksi-aksi psikologis susah dikompromi. Marah, cemas, gemas atau gregeten, bahwa kasus korupsi E-KTP adalah potret nyata realitas pengelolaan keuangan negara di Indonesia.
Memang, ada beberapa kalangan mencemooh KPK karena dianggap telah merusak ‘’pakem’’ politik. Resistensi juga terjadi di kalangan politisi yang menganut aliran ‘’komunikasi-kreatif budgeting’’.
Persidangan kasus korupsi E-KTP dinilai telah mempertontonkan secara telanjang kedasyatan lobi antara eksekutif dan legislatif dalam kerangka pengelolaan keuangan negara.
Pertaruhan Eksistensi
Ini kontroversi yang tidak perlu dijawab. Tidak pula untuk diperdebatkan. Ahli sosial, Robert Redfield menjelaskan, kebocoran korupsi dari pusat budaya terbagi dalam dua sekat, yakni budaya kraton atau elit kekuasaan (great culture) dan budaya wong cilik (little culture). Dikotomi ini selalu ada. Sebab, selain dominasi subyektifitas, elit kekuasaan menempatkan diri sebagai pusat budaya. Jika terdapat pusat budaya lain di luar sekatnya, tentu dianggap lebih rendah.
Namun, tidak dapat dipungkiri jika dibalik dominasi budaya terdapat kebocoran-kebocoran. Sikap masa bodoh, kerahasiaan, pengkhianatan dan penipuan adalah bentuk-bentuk kebocoran.
Sulit dipungkiri, bahwa kasus korupsi E-KTP merupakan produk kebocoran budaya. Sebab, yang sesungguhnya terjadi adalah pertaruhan eksistensi politik dalam pengelolaan keuangan negara.
Sesungguhnya Indonesia telah memiliki alat pengaman pengelolaan keuangan negara, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Proteksi tersebut dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Persolannya, mengapa program nasional E-KTP mampu merontokkan tembok pengaman tersebut? Jawabnya, tersedianya celah pada sistem pengelolaan keuangan negara. Belum lagi kentalnya kolusi, terutama lobi-lobi penganggaran. Kondisi menguntungkan ini diperkuat dengan belum maksimalnya fungsi sistem informasi akuntansi perintahan.
Ketiga paket undang-undang keuangan negara memang tidak mengatur ruang lobi. Ruang itu menjadi ada ketika budgeting dibicarakan antara pemerintah dan DPR. Eksekutif memiliki ‘’kepentingan’’. Demikian pula dengan DPR, memiliki agenda serupa.
Di ruang tersebunyi, pintu transaksional memungkinkan dibuka untuk menegosiasikan beragam proyek berikut skema anggarannya. Lihat, bagaimana proyek pembangunan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang didiskusikan di ruang tersebut. Bukankah proyek E-KTP juga terkomunikan pada ruang itu?
Memang, DPR tak berwenang menyusun dan melaksanakan anggaran. Tupoksi itu ada di tangan eksekutif. Tapi di ranah penganggaran, kepentingan pribadi, kelompok maupun politik mampu mengalahkan komitmen mengelola keuangan negara secara tertib, taat peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan serta manfaat untuk masyarakat.
Tentu, perbuatan tersebut menyimpang sebagaimana dikemukakan Huntington. Karena itu, beberapa kalangan berpendapat bahwa korupsi di Indonesia berlangsung masif dan sistemik. Sebab, korupsi di mata sosiolog Hussein Alatas, merupakan subordinasi kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi dan kelompoknya dengan melanggar norma dan kesejahteraan masyarakat.
Fungsi Akuntasi Belum Maksimal
Keberadaan akuntansi dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia mulai menggeliat sejak diberlakukannya UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Ketiga konstitusi ini memberikan perubahan mendasar dalam pengelolaan keuangan negara.
Kehadiran akuntansi dalam penyelenggaraan pemerintahan memang memberikan angin segar. Meski itu terkadang lewat. Ini bisa dilihat, bahwa 13 tahun sudah harapan atas berfungsinya akuntansi sebagai piranti memperkuat membangun negara (state building) dan membangun bangsa (nation building) masih belum maksimal. Sistem informasi akuntansi belum membuat birokrasi pemerintahan menjadi profesional dan kuat terhadap pengaruh politik, kelompok dan pribadi. .
Artinya, tembok birokrasi kita sebagai state building masih bisa ditembus dengan lobi politik. Atas mandat rakyat melalui pemilihan umum (pemilu), DPR dengan mudah abaikan pengawasan penganggaran. Kasus korupsi E-KTP merupakan fenomena bahwa akuntansi sebagai alat perencanaan, pengendalian dan dasar pengambilan keputusan belum difungsikan secara maksimal.
Bisa jadi benar, program nasional E-KTP terekam dalam sistem akuntansi pemerintah di Ditjen Kependudukan dan Cacatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Tapi, apakah penyusunannya didasarkan pada informasi yang benar, realistik dan objektif? Apakah informasi yang disusun telah mempertimbangkan aspek biaya, ketersediaan sumber daya dan asas kemanfaatan bagi masyarakat?
Fakta menyatakan, bahwa KPK menemukan indikasi ketidakefisienan dan ketidakefektifan anggaran program E-KTP. Patut diduga terjadi penyimpangan anggaran, yakni negara dirugikan sekitar Rp 2,3 triliun yang pembuktiannya sedang berlangsung di PN Tipikor Jakarta. Pada tataran pelaksanaan program tersebut juga menemui kendala. Selain terhenti, masih jutaan rakyat Indonesia belum terlayani administrasi kependudukannya.
Hal itu mengindikasikan bahwa fungsi akuntansi yang dapat berperan mengefektifkan setiap tahapan pengelolaan keuangan negara, ternyata belum maksimal. Apalagi yang terkait program skala prioritas berikut skema pendanaan yang terumuskan secara tegas dalam proses pengelolaan keuangan publik.
Akibatnya, pengelolaan keuangan negara tidak efisiensi dan tidak efektif. Transparansi dan akuntabilitas menjadi barang mahal. Ketidakefektifan berorientasi pada pencapaian hasil, yakni adanya kegiatan yang tidak memberi manfaat sehingga fungsi pemerintahan tidak optimal. Ketidakefisienan merupakan penggunaan input dengan harga yang melebihi kebutuhan. Berarti korupsi masih marak. Sebab, korupsi pada pusat budaya masih bocor.(#)
* penulis adalah pengamat politik anggaran)