Krisis Etika & Teror Pers

oleh -123 Dilihat
oleh

Oleh: Najmah Rindu*

Dalam sistem demokrasi, kebebasan pers adalah elemen fundamental yang menjamin transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.

Namun, baru-baru ini, kebebasan tersebut kembali mendapat ancaman serius, tidak hanya dari tindakan teror fisik, tetapi juga dari pernyataan pejabat publik yang seharusnya berperan dalam menjaga stabilitas demokrasi.

Pernyataan kontroversial yang dilontarkan oleh Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi terkait teror kepala babi di Kantor Tempo merupakan bukti nyata dari krisis etika yang mengakar di lingkar kekuasaan.

Ketika sebuah institusi pers mengalami ancaman berupa pengiriman kepala babi, reaksi yang diharapkan dari pemerintah adalah kecaman dan langkah konkrit untuk mengusut tuntas pelaku.

Namun, alih-alih membela kebebasan pers, juru bicara pemerintah justru melemparkan kalimat yang terlihat bercanda dan seolah-olah menganggap sepele perihal teror ini.

Pernyataan ini bukan hanya mencerminkan kelalaian dalam memahami esensi demokrasi, tetapi juga menormalisasi aksi teror terhadap media.

Delegitimasi media dengan narasi konspiratif seperti ini sangat berbahaya. Sebuah negara yang membiarkan pejabatnya meremehkan ancaman terhadap pers justru memberi ruang bagi pelaku teror untuk terus beraksi tanpa rasa takut.

Jika opini publik diarahkan untuk percaya bahwa ancaman terhadap pers hanyalah rekayasa belaka, maka peran media sebagai pilar demokrasi akan semakin terkikis.

Seorang pejabat publik, khususnya yang memiliki akses langsung terhadap kebijakan negara, seharusnya memahami bahwa komunikasi politik bukan sekadar soal berbicara, tetapi juga soal tanggung jawab moral dan intelektual.

Pernyataan sembrono seperti ini menunjukkan rendahnya standar etika dalam komunikasi politik pemerintah saat ini.

Ketidakmampuan dalam menanggapi isu serius dengan wacana yang berlandaskan fakta dan empati adalah refleksi dari erosi kepemimpinan yang berintegritas..

Ketika ancaman terhadap pers dianggap enteng oleh pemerintah, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh jurnalis, tetapi juga oleh seluruh masyarakat. Pers yang independen adalah jembatan antara rakyat dan kekuasaan, memastikan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah tetap berada dalam koridor kepentingan publik.

Jika media dipaksa bekerja di bawah bayang-bayang ancaman, maka yang terjadi adalah lahirnya otoritarianisme terselubung di mana informasi dikendalikan oleh pihak yang berkuasa.

Krisis etika di lingkar kekuasaan bukan hanya soal pernyataan juru bicara pemerintah yang meremehkan teror terhadap Tempo. Ini adalah cerminan dari pola komunikasi politik yang semakin jauh dari prinsip demokrasi dan transparansi.

Jika pemerintah tidak segera melakukan koreksi terhadap cara pandangnya terhadap kebebasan pers, maka masa depan demokrasi Indonesia akan semakin buram.

Kebebasan pers bukan sekadar hak media, tetapi hak seluruh rakyat untuk mendapatkan informasi yang jujur dan objektif. Oleh karena itu, pejabat publik harus memahami bahwa setiap kata yang mereka ucapkan memiliki konsekuensi terhadap arah demokrasi bangsa ini.(#)

*)penulis sekretaris redaksi media siber petisi.co

No More Posts Available.

No more pages to load.